Jumat, April 19, 2024

Daripada Tsamara, Lebih Baik Gus Nadir Jadi Menteri Agama

Muis Sunarya
Muis Sunarya
Santri Daar el-Qolam (1988) dan Alumnus IAIN Ciputat.

Tsamara Amany, politisi muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI), digadang-gadang untuk menjadi salah satu menteri di Kabinet Indonesia Kerja Jilid II. Alasannya, karena ia dianggap mewakili kaum milenial, masih muda, populer, berani (tampil), dan perempuan pula.

Hanya saja, seperti juga dalam tulisan Ibrahim Ali-Fauzi dan Ridwan Situmorang, masih menakar dan bahkan lebih pada meragukan pantasnya Tsamara kira-kira menjadi menteri apa. Itu masalahnya.

Disodorkanlah (lebih ke memaksakan) beberapa kementerian untuk Tsamara menjadi menteri. Sempat disebut misalnya, dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sampai yang terakhir Kementerian Agama.

Semuanya itu, bagi saya, Tsamara tidak ada yang cocok dan tidak kompeten sama sekali. Tepatnya dia belum aman dan layak untuk memimpin kementerian apa pun. Apalagi jadi Menteri Agama? Nggak salah? Bahkan suatu hal yang mustahil. Kenapa?

Tidak sedikit faktor, seperti juga faktor-faktor lain, yang belum memadai di kementerian apa pun, apalagi Kementerian Agama, seperti ditulis Ibrahim Ali-Fauzi.

Faktor paling utama untuk kementerian ini, dan menutup pintu rapat-rapat alias mustahil, walaupun ini tadi salah satu kelebihannya, berkaitan soal gender, yang jelas karena Tsamara adalah seorang perempuan.

Benar, faktor gender kerap menjadi perhatian dan penting di ranah politik dan birokrasi kita. Bisa dibilang masih agak jarang perempuan yang berani tampil mempesona dibarengi kepercayaan diri bicara dan terjun ke dunia politik.

Dalam hal, paling tidak, Tsamara sudah melakukannya, walaupun (maaf) jatuhnya cenderung lebih ke selebritas, ketimbang politisi.

Jangan harap untuk semua perempuan, termasuk Tsamara, menjadi Menteri Agama di negeri ini. Ini tampaknya sudah menjadi konsensus hukum tak tertulis bagi bangsa Indonesia, khusus untuk Kementerian Agama ini, seorang perempuan tidak boleh (bahkan haram) menjadi Menteri Agama.

Alasan paling pokok, baik dari bagi segi hukum Islam (Fikih) dan peraturan perundang-undangan, terutama kaitan hukum munakahat (undang-undang perkawinan), bahwa salah satu syarat yang wajib hukumnya untuk menjadi wali hakim bagi seorang calon mempelai perempuan yang notabene tidak punya wali nasab, atau secara hukum ada halangan untuk tidak boleh menjadi wali nikah, adalah laki-laki.

Dan secara hukum  dan sesuai peraturan yang berlaku, Menteri Agama itu adalah wali hakim, yang dalam praktiknya adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan atas nama Menteri Agama bertugas sebagai wali hakim itu.

Selain itu, akhirnya tentu kaitan konsesus hukum tak tertulis tadi di kalangan umat Islam, bahwa Menteri Agama tidak boleh dijabat oleh seorang perempuan.

Kesimpulannya, khusus untuk mengisi posisi Menteri Agama itu harus seorang laki-laki (bahkan dari segi agama, belum bisa non-Muslim). Ini bukan diskriminasi gender atau SARA. Tetapi ini adalah kenyataan hukum dan politik di negeri kita.

Oleh karena itu, yang menarik masalahnya bukan menakar Tsamara, tapi menjawab pertanyaan, dengan mengandaikan Menteri Lukman Hakim Saifuddin, karena satu dan lain hal, tidak ditunjuk lagi menjadi Menteri Agama, lantas siapa yang layak dan pantas untuk menjadi Menteri Agama saat ini?

Bram (panggilan akrab Ibrahim Ali-Fauzi) sempat menyebut Prof. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir). Tentu harus dipahami bahwa ini bukan berarti membandingkan Gus Nadir dengan Tsamara. Bukan. Gus Nadir jelas sekali tidak sepadan dan sudah pasti jauh di atas segala-galanya dari Tsamara dari berbagai aspek.

Nah, kalau Gus Nadir, betul seperti Bram tulis, lebih layak dan kompeten untuk menjadi Menteri Agama. Bahkan bisa jadi lebih besar peluangnya. Karena kompetensi dan kelebihannya yang tidak perlu diragukan lagi untuk menjadi orang nomor satu di Kementerian Agama.

Prof. Nadirsyah Hosen adalah dosen senior Ilmu Hukum satu-satunya orang Indonesia di Monash Law School, Monash University, Australia. Salah satu universitas terbaik di dunia dalam bidang hukum.

Ia tetap concern dan intens menyapa publik tanah air lewat berbagai media sosial (twitter, facebook, instagram) atau karya-karyanya berupa buku-buku dan tulisan-tulisannya, bahkan ia pun sering bersedia menghadiri undangan sebagai narasumber di berbagai seminar atau kajian di beberapa daerah di Indonesia.

Gus Nadir dengan rendah hati dan humble menyambangi semua orang tanpa pandang bulu untuk memberikan pencerahan, berbagi inspirasi dan membumikan pemikiran-pemikirannya.

Untuk mengenal lebih jauh pemikiran-pemikiran Gus Nadir itu yang mendalam dan luar biasa, silakan kunjungi rumah daringnya, https://nadirhosen.net/  atau bisa juga baca (beli) buku-bukunya yang best seller, antara lain, Islam Yes, Khilafah No Jilid 1 dan 2, Saring Sebelum Sharing, Kiai Ujang di Negeri Kanguru, dan lain-lain. Banyak masih kalau disebutkan karya-karyamya, baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris.

Dari sebagian pemikiran Gus Nadir yang sangat menarik dan viral adalah pemikirannya meng-counter dan membabat abis sampai akar-akar konsep khilafah (di Indonesia dianut oleh ormas terlarang, Hizbut Tahrir Indonesia/HTI) secara ilmiah-akademik lewat rujukan kitab-kitab klasik yang otoritatif. 

Pemikiran tentang kontra khilafah ini secara mendalam dibukukan dalam Islam Yes, Khilafah No Jilid 1 dan 2.

Kembali ke soal Menteri Agama. Kendalanya barangkali hanya satu, Gus Nadir bukan politisi atau orang partai politik. Tapi, justru ini menjadi peluang besar bagi Gus Nadir untuk memimpin Kementerian Agama yang punya motto “Ikhlas Beramal” saat ini.

Pertama, karena Kementerian Agama dalam dua periode terakhir ini dipimpin oleh kader salah satu partai politik. Dan Kementerian Agama dalam dua periode itu sama-sama tersandung kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaimanapun, kalau tidak bisa dibilang gagal, kedua Menteri Agama ini, langsung atau tidak langsung, menambah citra kurang baik Kementerian Agama dalam pandangan publik.

Label sarang korupsi sempat dialamatkan oleh publik untuk Kementerian Agama. Padahal, karena satu-dua orang oknum yang melakukan korupsi. Ibarat kain putih, sedikit saja kena bercak noda, akibatnya menjadi fatal dan membuat citra buruk instansi secara keseluruhan.

Begitulah keberadaan Kementerian Agama. Kementerian yang mengurusi agama dan bersinggungan dengan nilai-nilai moral. Logikanya, bagaimana mungkin kementerian yang urusannya berkaitan dengan agama dan moral, kok, justru melakukan perbuatan amoral, seperti kasus kejahatan korupsi.

Kedua, Kementerian Agama harus dipimpin oleh seorang yang netral dan jauh dari sikap dan perilaku vested interest dengan partai politik. Jangan sampai ada menteri yang merasa berhutang budi dan balas jasa dengan yang merekomendasikan atau partai politik di mana ia bernaung.

Atas dasar itu, Gus Nadir adalah layak memimpin Kementerian Agama saat ini.

Dari segi berorganisasi, kepemimpinan, manajemen, tidak rakus kekuasaan, rendah hati, keberanian, seorang yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan komitmen untuk pemerintahan yang baik dan bersih dari perilaku korup, wawasan dan keilmuannya, Gus Nadir insya Allah cukup mumpuni dan tidak diragukan lagi.

Dan ini juga penting untuk dicatat, Gus Nadir dilihat dari nasab dan kasabnya, sanad keilmuan dan kepemimpinannya (organisasi), terbilang luar biasa dan sangat kuat peluangnya untuk menjadi Menteri Agama saat ini.

Bukankah Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa akan memberi kesempatan bagi orang-orang muda, generasi milenial, untuk menjadi menteri di Kabinet Kerja Jilid 2 nanti?

Kalau nanti (semoga dikabulkan) Pak Jokowi memberi kepercayaan kepada Gus Nadir untuk memimpin Kementerian Agama, maka ucapan selamat seperti ini wajar disampaikan, “Ahlan wa sahlan wa marhaban, Menteri Agama Prof. Nadirsyah Hosen!”

Baca juga

Jika Tsamara Jadi Menteri

Tsamara Yes, Jadi Menteri No! [Sebuah Tanggapan]

Menteri Lukman dan Politik Takfir

The Dark and Bloody Side of Khilafah

Emilia Lisa, Tsamara Amany, dan Suara Politik Perempuan

Muis Sunarya
Muis Sunarya
Santri Daar el-Qolam (1988) dan Alumnus IAIN Ciputat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.