Percobaan pembunuhan dengan sebilah pisau yang menimpa Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto (10/10/2019), menjadi topik pembicaraan hangat hari-hari ini. Tersangka pelaku penusukan yang dipanggil Abu Rara beserta sang istri disinyalir anggota jaringan Islamic State of Iraq and Syam (ISIS).
Merespon hal itu Presiden Jokowi dengan segera menyerukan perang melawan radikalisme. Respon warganet terbelah terkait insiden yang menimpa purnawirawan TNI tersebut. Ada yang berduka dan mengecam pelaku penusukan, sembari mengamini seruan presiden untuk memerangi radikalisme. Namun ada juga yang malah menganggap bahwa insiden ini hanya rekayasa dan drama. Ada juga yang membandingkan apa yang dialami Wiranto dengan kejadian di Wamena Papua.
Bagi kelompok kedua, mereka tidak terlalu simpatik dengan seruan perang melawan radikalisme yang diserukan presiden. Mereka lebih fokus melihat hal lain semisal ketidakadilan pemerintah. Mereka juga menolak jika pelaku penusukan dikaitkan dengan satu agama. Misalnya dalam akun twitternya Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid membagikan berita bahwa pelaku penusukan ternyata tidak religius.
Nah, di sini penulis ingin mencoba menguraikan benang kusut mengenai isu radikalisme yang kembali mencuat pasca insiden ini. Radikalisme bukan hal yang baru diperbincangkan, namun isu ini kerap menjadi bola liar yang menggelinding. Perlu ada pihak yang menjernihkan seputar radikalisme agar bisa ditangani secara benar dan juga tidak disalahgunakan oleh kelompok tertentu.
Kita mulai dari definisi radikalisme itu sendiri. Sudahkan seluruh komponen bangsa sepakat dengan apa yang dimaksud dengan radikalisme? Harus kita akui bahwa secara bahasa radikal diambil dari kata radix yang berarti akar. Filsafat berarti berfikir secara radikal, yakni mengakar dan mendalam. Jika menggunakan pendekatan etimologis maka radikalisme sama sekali tak masalah, malah bagus.
Namun tentu yang dimaksud radikalisme di sini bukanlah pengertian secara bahasa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, radikalisme didefinisikan sebagai : 1 paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2 paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik.
Ada dua kata kunci yang kita dapat dari definisi radikalisme menurut KBBI, yakni cara kekerasan dan sikap ekstrem. Dua hal tersebut yang menjadikan radikalisme menjadi sebuah masalah. Artinya seseorang bisa disebut radikal tidak dilihat dari pandangan politiknya, namun dari caranya memperjuangkan pandangannya.
Realitasnya di lapangan banyak kelompok Islamis yang terkena stempel radikal hanya karena mengekspresikan pandangan politiknya, bukan karena melakukan kekerasan. Bahkan yang lebih parah ada juga yang dituduh radikal hanya karena penampilan lahirnya saja, misalnya bercadar, berjenggot lebat atau bercelana cingkrang.
Bahkan sekarang mulai trend sebutan kadal gurun, yang merupakan ejekan terhadap kelompok Islamis. Penulis lebih setuju kelompok yang memang menganut Islam politik disebut sebagai Islamis saja agar objektif. Jika diantara mereka ada yang melakukan kekerasan barulah disebut radikal.
Ada paradoks yang cukup menarik penulis amati. Ada kelompok Islam yang bernama salafi, salah satu varian dari kelompok ini mengharamkan demonstrasi dan mewajibkan taat kepada pemerintah selama masih mengizinkan beribadah. Bagi kelompok ini yang kritis dengan pemerintah adalah khawarij.
Namun tetap saja kelompok ini kena tuduhan radikal oleh pihak yang menganggap salafi ini suka membid’ah-bid’ahkan amalannya. Selain itu karena memang pemahamannya sangat tekstual yang diaplikasikan ke dalam penampilan seperti yang penulis sebutkan di atas.
Tentu penulis juga mengajak kepada kawan-kawan Islamis agar tak mudah mengumbar label-label seperti anti Islam, munafik, liberal, antek dajjal kepada yang bukan Islamis. Alquran melarang kita untuk “tanaabuz bil alqaab” saling mengejek dengan gelar-gelar yang jelek. Jika mau beradu argumen ya adu saja argumen tanpa harus lahir sebutan-sebutan semacam itu.
Seharusnya persoalan definisi ini bisa didudukkan dan disepakati bersama. Pemerintah dapat mengundang seluruh komponen masyarakat baik yang dalam posisi mendukung pemerintah maupun oposisi, baik yang nasionalis sekuler maupun Islamis untuk menyepakati hal ini.
Mudah-mudahan jika definisi radikalisme disepakati maka saat ada tindakan radikal dan teroris semua pihak akan satu suara, tak ada lagi suara-suara membela diri karena merasa tertuduh teroris juga.
Kelompok Islamis juga harus lapang dada jika memang ada oknum Islamis yang melakukan tindakan radikal. Serahkan kepada hukum yang berlaku dan tak perlu berjiwa korsa terhadapnya. Karena Islam memang tidak mengajarkan sikap ekstrem dan kekerasan dalam kondisi normal. Pelaku terror itu justru yang merusak Islam dari dalam.
Selanjutnya adalah perang melawan radikalisme akan menimbulkan perlawanan bahkan dari yang tidak radikal jika masih ada ketidakadilan. Sikap tidak simpatik kepada Wiranto oleh sebagian warganet bukanlah tanpa alasan. Ada yang mempertanyakan bagaimana kejelasan kasus kematian para demonstran, misalnya Randi dan Yusuf di Sulawesi Tenggara terakhir Akbar Alamsyah yang menurut pengakuan ibunya telah mengalami penyiksaan.
Kemudian kasus Wamena dimana telah terjadi pembunuhan secara sadis terhadap penduduk Minang dan Bugis. Narasi yang dikeluarkan pemerintah lebih banyak meredam agar tidak menjadi konflik SARA. Penulis setuju dengan hal ini, kita tak boleh mengulangi tragedi Ambon atau Sampit. Namun pemerintah tak boleh lupa dengan keadilan, bagaimana proses hukum kepada para kelompok bersenjata tersebut.
Jika pemerintah mau terbuka dan berkomunikasi secara aktif kepada rakyat terkait proses hukum pelaku pembunuhan mahasiswa dan pembantaian di Wamena penulis pikir rakyat bisa simpatik dengan pemerintah. Namun jika masih ada ketidakadilan dalam penanganan kasus hukum antara satu dengan lainnya penulis justru khawatir radikalisme semakin sulit ditangani.