Realitas menyebut, ada sebagian yang tidak bersetuju dengan gaya kepemimpinan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah sekarang, Sunanto atau Cak Nanto, hanya karena tidak mengikuti pendahulunya yang masuk dalam ranah politik praktis mendukung salah satu calon presiden. Maka ikhtiar untuk membawa pemuda ke jalan tengah dianggap melawan logika politik sebagian yang sudah kadung masuk pada wilayah politik praktis.
Setiap pemimpin punya era. Termasuk bang Dahnil Simanjutak yang sukses membangun ghirah Pemuda Muhammadiyah dikala pergerakan pemuda Indoenesia mati suri. Bahkan gerakan mahasiswa di kampus-kampus juga mengalami kebekuan akut. Hilang spirit tanpa ruh.
Di bawah Dahnil, Pemuda Muhammadiyah menemukan bentuknya sebagai organisasi yang solid, terbuka dan tegas melawan kemapanan. Dahnil menjadi simbol perlawanan kaum muda, meski masih begerak masif di internal Muhammadiyah, setidaknya saat itu, menjadi ikon yang menginspirasi perubahan dan orientasi gerakan yang idealis. Khas gaya anak muda.
Namun, Dahnil menerabas tabu. Terseret jauh gelombang arus politik praktis. Daya kritis nya menjadikannya sebagai oposan. Dan kemudian dibuktikan dengan menjadi juru bicara Tim Kampanye salah satu capres di saat masih aktif sebagai Ketua Pemuda hal yang masih belum lazim di Persyarikatan. Pro-kontra terjadi dan puncaknya adalah pada saat muktamar pemuda di Jogja. Dua arus besar bertemu dalam gelombang persaingan yang alot, tapi tetap elegan.
Sunanto adalah jawaban kegelisahan itu. Sebab tak dipungkiri ada sebagian yang kurang suka dengan gaya bang Dahnil yang jauh menyeret ke ranah politik praktis. Di sinilah rumitnya sebab ada yang berpendapat bahwa yang dilakukan bang Dahnil semata ijtihad politik untuk menerabas tabu, dan memecah beku. Lantas dimana salahnya.
Tidak perlu dicari salah. Dan tak perlu membandingkan gaya kepemimpinan keduanya. Apalagi menjadikan sikap dukungan terhadap salah satu capres sebagai indikatornya, ini lebih naif lagi. Apakah karena tidak menunjukkan sikap tegas mendukung salah satu capres lantas kita sentakkan gaya Sunanto lembek atau sebaliknya. Apakah Sunanto harus mengikuti jejak dan sikap kepolitikan seniornya agar bisa dianggap benar seluruhnya.
Sunanto mungkin sedang berikhitiar menjadikan pendulum pemuda kembali ke tengah setelah sebelumnya bergerak terlalu ke kanan. Membangun keseimbangan dan merujuk pada Khittah bahwa Pemuda Muhammadiyah bukan partisan salah satu partai. Ini pun juga perlu nyali, sebab tantangan pasti menghadang. Tapi Sunanto terus jalan dengan keyakinannya. Kokoh di jalan Khittah. Khas anak muda pemberani melawan arus dan logika kebanyakan.
Bagaimanapun keduanya saya suka. Dahnil dan Sunanto adalah representasi pemimpin Muhammadiyah masa depan. Kokoh pegang prinsip perjuangan Persyarikatan, dengan gaya, kekuatan dan potensi yang melekat.
Sekali lagi, tidak perlu membandingkan untuk mencari titik lemah diantara keduanya. Bukankah setiap pemimpin punya era. Era Dahnil telah lewat dengan penuh dinamika dan perkembangan yang menawan. Dijemput era Sunanto, ikhtiar kembali pada Khittah, kita dukung dan doakan semoga lebih baik dari era sebelumnya. Selamat Milad ke 88. Wallahu ta’ala a’lam