Jumat, April 26, 2024

Corona dan Degradasi Keagamaan

Amamur Rohman
Amamur Rohman
Koordinator wilayah DIY Jaringan Ulama Muda Nusantara (JUMAT)

Fenomena penyebaran virus corona menjadi perhatian dunia saat ini. Bagaimana tidak, virus yang bermula dari Wuhan, Cina ini membuat negara-negara yang warganya terkena COVID-19 membuat kebijakan yang memproteksi terhadap lanjutan penyebaran yang kian meluas.

Indonesia sendiri melalui Presiden Joko Widodo telah membuat kebijakan menghimbau warganya untuk berdiam diri di rumah atau bahasa lainnya dikenal dengan lock down. Akhirnya pemerintah-pemerintah daerah juga mengikuti instruksi Presiden tersebut untuk memberhentikan aktifitas sementara seperti meliburkan sekolah dan para buruh kerja.

Mungkin tujuan pemerintah adalah baik. Namun perlu diperhatikan imbas dari kebijakan tersebut. Alih-alih untuk menghambat laju penyebaran virus corona, kebijakan tersebut justru bisa memperkeruh suasana.

Selain itu malah bisa mempercepat laju corona kebijakan tersebut juga berdampak pada kemerosotan berbagai sektor, termasuk juga nilai-nilai keagamaan. Salah satu contoh konkrit dampak kebijakan tersebut adalah kebijakan pembatasan trayek Trans-Jakarta yang menimbulkan antrian yang amat panjang. Alih-alih mengurangi kerumunan masa kebijakan tersebut justru menambah permasalahan yang ada.

Kita tahu bahwa virus corona tidak mempunyai gejala yang jelas. Orang yang kelihatan sehat pun bisa menularkan virus corona. Bedanya imun tubuh yang kuat atau lemah yang nantinya menentukan virus corona tersebut bisa membuat si penderita sakit atau tidak.

Dengan antrian yang amat panjang tersebut bukan tidak mungkin salah satu dari mereka menempel di tubuhnya virus corona meskipun nampaknya kelihatan baik-baik saja. Melalui antrian yang berjubel virus corona justru mempunyai kemungkinan penyebaran yang cepat dari satu tubuh ke tubuh yang lain.

Selain sampel tersebut himbauan lock down juga berdampak ke berbagai sektor mulai dari ekonomi, budaya, politik, sosial bahkan keagamaan. Di sektor sosial misalnya orang-orang yang biasanya berkumpul untuk kepentingan tertentu tidak berani melakukannya. padahal tidak ada jaminan bahwa salah satu dari mereka terdampak corona dan belum tentu juga yang terdampak corona mengalami sakit.

Dari sini sektor aktifitas sosial berhenti yang tentunya mengakibatkan kerugian bagi beberapa pihak. Padahal bagi masyarakat aktifitas-aktifitas sosial seperti rapat, kerja bakti dan sebagainya adalah aktifitas yang perlu dilakukan sehari-hari.. Hal ini belum lagi dilihat dari segi ekonomi.

Produksi dan distribusi menjadi terhambat yang pada akhirnya membawa kelambatan laju ekonomi. Dengan kelambatan ini kebutuhan masyarakat menjadi terkendala termasuk kelambatan sandang pangan dan papan. Dalam hal ini yang mengalami kerugian bukan hanya para pelaku ekonomi saja. Melainkan para konsumen ekonomi juga akan mengalami kerugian dengan tidak tersedianya stok kebutuhan. Dampak yang bisa dilihat secara langsung adalah menurunnya nilai Rupiah melawan Dollar Amerika yang sudah mencapai 16 ribu per 1 Dollarnya.

Lock down juga menghambat proses demokrasi. Sebagaimana protes-protes terhadap omnibus law tidak terdengar lagi. Hal ini bisa juga dicurigai sebagai langkah pemerintah dalam mengambil “momentum” dengan adanya fenomena ini. Lock down juga bisa diartikan sebagai langkah preventif pemerintah terhadap gerakan-gerakan protes yang dilakukan masyarakat.

Sementara itu lebih jauh himbauan lock down ini berimbas kepada merosotnya nilai-nilai keagamaan. Indonesia sebagai negara yang penduduk muslimnya terbanyak di dunia seakan mengalami “terapi kejut”. Para pemeluk agama bagaikan bukan pelaku agama. Benar bahwa zaman Nabi sempat terjadi wabah yang merebak namun narasi-narasi yang mendukung lock down kurang tepat jika gambaran merebaknya wabah di zaman Nabi diasumsikan sebagai lock down.

Pada waktu itu merebak virus kusta. Nabi bukan melock down tapi Nabi hanya “membatasi” interaksi dengan orang-orang yang terkena wabah tersebut. Sebagaimana yang terekam dalam riwayat Bukhari laa tudiimuu an-Nadzara ila al-Majdzumin. Jangan kalian terus-menerus melihat kepada penderita kusta.

Dalam konteks ini jika dikaitkan dengan konteks sekarang kebijakan pemerintah merupakan kebijakan yang kurang tepat sebab kebijakan itu terlalu mengambil “jalan mudah” seakan menggambarakan bahwa pemerintah tidak mau repot-repot dalam mengatasi masalah ini.

Jika berkaca pada zaman Nabi yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mengisolasi para pengidap virus corona dan siapa saja yang pernah berinteraksi dengannya. Bukan menggeneralisir kepada seluruh masyarakat untuk tidak beraktifitas di luar rumah karena itu akan menyebabkan mudarat yang lebih besar yakni ketidakstabilan kehidupan.

Melihat sifat-sifat corona sebenarnya ia merupakan virus yang biasa saja. Orang yang terinfeksi pun belum tentu merasakan sakit. Dengan kata lain hanya orang yang lemah imun tubuhnya yang bisa mengalami sakit corona.

Melihat fakta ini negara seharusnya mencerdaskan masyarakatnya. Bukan malah membuat teror kepanikan sebab teror kepanikan tersebut telah berpotensi menjadikan pemurtadan masal. Hal ini bukan tanpa alasan sebab kepanikan-kepanikan yang terus timbul menjadikan manusia bergantung kepada mahkluk bukan kepada Tuhan lagi.

Manusia percaya bahwa corona yang mempunyai kekuatan untuk membunuh mereka. Padahal dalam istilah esketis agama percaya kepada sebuah benda saja bisa menyebabkan kesyirikan. Lalu bagaimana dengan kepanikan yang seakan tidak percaya pada kebajikan dan kebijakan Tuhan?

Poin pentingnya negara sebagai penanggungjawab warganya seharusnya memberikan ketenangan bukan memberikan sumbangsih kepanikan. Mencerdaskan warganya dengan cara memberikan edukasi tentang pengetahuan corona dan cara-cara mengatasinya seperti menjaga kebersihan, mencuci tangan dan sebagainya.

Bahkan Yurianto sebagai juru bicara pemerintah pernah mengatakan bahwa lock down justru berpotensi mempercepat penyebaran virus sebab orang yang terinfeksi berkumpul dengan orang yang tidak terinfeksi.

Negara harus mengambil “jalan terjal” bukan mengambil “jalur alternatif” agar pertimbangan usul fikih “ketika ada dua mafsadat maka yang dipilih adalah yang paling sedikit resikonya” bisa diaplikasikan sebagai virus corona yang tidak begitu berdampak serius harus dipilih daripada harus membuat ketidakstabilan berbagai sektor yang pada akhirnya memandegkan eksistensi manusia sebab himbauan lock down tersebut.

Amamur Rohman
Amamur Rohman
Koordinator wilayah DIY Jaringan Ulama Muda Nusantara (JUMAT)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.