Jumat, Maret 29, 2024

Christchurch, Sri Lanka, Dua Tanggapan yang Berbeda

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.

Jumat, 15 Maret 2019, menjadi hari penuh darah di Christchurch, Selandia Baru. Saat ratusan umat Islam hendak menjalankan ibadah salat Jumat di Masjid Al-Noor, seorang laki-laki sinting datang dengan senapan otomatis, membrondongkan pelurunya ke orang-orang tak berdaya. Darah segera bersimpah, jiwa-jiwa segera melayang. Lantas masjid menjadi kubangan darah. Tak cukup membrondongkan peluru, pelakunya mendatangi orang-orang yang sedang meregang nyawa, lalu menembaknya dari jarak dekat. Pelaku biadab itu dengan bangga menyiarkan kekejiannya secara langsung di media sosial. Ia kemudian melanjutkan serangan ke Islamic Center. 50 orang tewas, dan puluhan lainnya terluka dalam serangan ini, termasuk di antaranya warga Indonesia.

Seluruh dunia mengutuk serangan itu. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern segera mengeluarkan pernyataan mengutuk, dan ia menyebut aksi itu sebagai aksi terorisme. Ia segera melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan simpatinya. Pesannya jelas, korbannya adalah warga negara Selandia Baru, yang berhak atas perlindungan negara. Tidak hanya itu. Korbannya adalah manusia yang sepatutnya mendapat perlindungan dan cinta kasih. Simpati dan solidaritas juga dinyatakan oleh warga Selandia Baru dalam berbagai bentuk. Demikian pula simpati dan solidaritas dari berbagai penjuru dunia.

Dari Indonesia pun sama. Kita semua berduka dan mengutuk kekejian itu. Tapi ada nada-nada suara yang berbeda. Ada yang mengaitkan serangan ini dengan “kebencian abadi” kaum Nasrani dan Yahudi kepada umat Islam. Orang Islam percaya bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani sangat membenci kaum muslim, dan selalu mencari cara untuk menyatakan permusuhan, dan mencelakakan umat Islam. Kejadian ini adalah contohnya. Padahal pelakunya seorang ateis. Tidak hanya pelaku serangan yang dikutuk. Ada nada seolah orang-orang yang bukan muslim di sana memang membenci umat Islam. Padahal, umat Islam yang menjadi korban itu diterima tinggal dan menjadi warga negara di Selandia Baru.

Ada pula yang masih saja mengeluhkan kurang adilnya perhatian dunia. Menurut sebagian orang, dunia cenderung memberi label terorisme kepada kejahatan penyerangan yang dilakukan oleh orang muslim. Kalau pelakunya bukan muslim, dunia tidak menyebutnya terorisme, dan pelakunya tidak disebut teroris. Dunia internasional melakukan semacam konspirasi untuk menjelekkan citra Islam.

Berhari-hari media massa maupun media sosial riuh oleh hal-hal itu. Kesan bahwa umat Islam dizalimi oleh kekuatan yang memang membenci Islam dan umat Islam terus didengungkan. Juga keluhan bahwa umat Islam terus menerus dipojokkan.

Dalam suasana perayaan Paskah, sejumlah serangan teror dilancarkan terhadap gereja dan hotel di Sri Lanka. Umat Kristen yang sedang melakukan ibadah dalam rangka Paskah, menjadi korban. Sejauh ini sudah ada 290 orang korban tewas. Dari sisi korban, jumlahnya hampir 6 kali lipat dibandingkan dengan korban serangan di Christchurch, Selandia Baru.

Bagaimana tanggapan orang Indonesia? Kekejian di Sri Lanka sejauh yang saya pantau, tidak mendapat sorotan sebesar sorotan terhadap peristiwa teror di Christchurch. Media massa maupun media sosial masih hiruk pikuk dengan suasana pemilihan umum yang baru saja berlangsung, dan masih berlanjut dengan berbagai drama. Lalu ada suara MUI yang meminta agar teror ini tidak dikaitkan dengan agama pelakunya.

Dalam serangan-serangan teroris sebelumnya malah muncul ungkapan-ungkapan yang seakan membenci korban, bukan pelakunya. Misalnya, ada petinggi partai yang mengatakan bahwa para korban teroris itu harus berempati kepada korban-korban kekejian di dunia Islam, seperti di Palestina dan Myanmar. Padahal sulit kita temukan hubungan antara berbagai kekejian tadi.

Masalahnya adalah, banyak orang yang masih melihat manusia dalam kotak-kotak agama. Ini kami, orang-orang dengan agama ini. Pihak sana adalah orang-orang dengan agama itu. Kami dan mereka berbeda. Mereka memusuhi kami. Mereka selalu mencari cara untuk menguasai, menzalimi, dan menindas kami. Cara pandang itu tidak berubah meski pihak yang dituding telah menunjukkan berbagai itikad dan tindakan baik dan ramah.

Ketika yang jatuh jadi korban adalah orang-orang yang seagama, mereka berteriak mengutuk. Tidak cukup sampai di situ. Mereka juga menuduh pihak-pihak lain, yang sebenarnya tidak terlibat sama sekali. Ketika yang jadi korban adalah orang-orang yang tidak seagama, maka sikapnya sama sekali berbeda.

Bahkan ketika yang jadi korban adalah orang-orang sebangsa yang beragama berbeda, seperti pada teror bom di gereja Surabaya, ada saja suara-suara tidak simpatik, yang bukan bersimpati pada korban, tapi malah menyalahkan pihak lain.

Ada masalah fundamental dalam cara pandang seperti itu, dan karena itu harus ditinggalkan. Yang jadi korban di Christchurch adalah manusia-manusia yang darahnya tidak boleh ditumpahkan dengan alasan apapun. Yang jadi korban di Sri Lanka pun demikian pula. Pelaku teror di Christchurch adalah manusia biadab yang tak boleh dipuji atau dibela. Demikian pula, pelaku teror di Sri Lanka adalah musuh kita bersama, tak peduli bahwa mereka memeluk agama yang sama dengan kita.

Teroris dan terorisme itu musuh bersama. Dalam konteks ini kotaknya hanya ada 2, yaitu teroris dan bukan teroris. Kita bukan teroris, maka kita harus berada dalam kotak atau kelompok yang sama dengan orang-orang lain yang bukan teroris, di seluruh dunia. Tidak perlu lagi ada pengelompokan tambahan di dalam kelompok itu, baik berdasar agama maupun suku bangsa. Sebaliknya, di kelompok sana ada teroris. Mereka adalah musuh kita. Tidak ada ruang simpati yang boleh disediakan untuk mereka. Tidak perlu pula ada pengelompokan teroris berdasar agama atau identitas lain.

Faktanya, para teroris memang tidak peduli soal agama. Saat teroris menyerang berbagai titik di Jakarta, serangan mereka menewaskan dan melukai banyak orang, termasuk orang-orang yang seagama dengan mereka. Teroris yang beragama Islam tak segan membunuh sesama muslim, menyerang masjid, bahkan menyerang kota suci Madinah.

Teroris adalah teroris dengan agenda dan kepentingan mereka. Mereka tidak membawa kepentingan Islam. Islam juga tidak membenarkan tindakan mereka. Jadi, tidak ada sedikit pun alasan untuk bersimpati pada mereka. Korban terorisme itu adalah manusia yang persis sama dengan kita. Juga tidak ada alasan untuk menyalahkan mereka.

Jadi tidak ada alasan untuk bersikap berbeda terhadap berbagai aksi teror.

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.