Jumat, April 26, 2024

Beberapa Catatan untuk Martin Suryajaya dan Pendukung Jokowi

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.

Pada 6 September lalu Martin Suryajaya, penulis buku dan salah satu kolumnis Indoprogres, datang ke acara Klub Buku Jambu. Saat itu ia bersama Airlangga Pribadi berdikusi tentang posisi intelektual di Indonesia. Dalam kesempatan itu Martin menjelaskan gagasan dari Tesis Agustus yang ia tulis.

Tesis Agustus yang ditulis Martin melahirkan perdebatan, juga serangkaian meme lucu. Martin dianggap abai dengan membuat tulisan yang mendukung Joko Widodo padahal Jokowi melupakan janji nawacita, melakukan persekusi, dan merangkul jendral pelanggar HAM.

Saya pribadi tidak melihat bahwa tulisan Martin serta merta menganggap bahwa pilihan politiknya otomatis membenarkan semua itu. Ibaratnya dengan melakukan dukungan terbuka terhadap Jokowi bukan berarti Martin setuju dengan Perppu Ormas, kekerasan terhadap orang Papua, atau bersepakat dengan para jendral pelanggar HAM.

Dalam diskusi Klub Buku Jambu saya menangkap Martin sedang mengupayakan alternatif jalan gerakan. Ia melihat gerakan kiri di Indonesia susah untuk bersatu. Meski tidak merinci gerakan kiri apa atau siapa yang dimaksud, saya bersepakat dengan Martin. Ia berkata bahwa tiap-tiap dari orang kiri semestinya melakukan apapun yang ia bisa untuk mengubah keadaan.

Martin mencontohkan selama bekerja untuk pemerintah ia menghabiskan banyak waktunya untuk menelaah regulasi dan sistem birokrasi. Rezim datang silih berganti, tapi para pejabat yang membuat kebijakan ini yang akan menentukan cara kerja sistem. Di situ Martin sedang berusaha melakukan edukasi, pendekatan, dan juga menyusun kebijakan yang ia anggap “ideal”.

Apakah ia jatuh dalam kredo aktivis “Mengubah dari dalam sistem,” yang ujung-ujungnya malah jadi korup? Saya tidak tahu. Hanya saja selama diskusi berlangsung ia tidak berupaya jadi mesias yang bilang bisa mengubah segalanya. Martin menyebut bahwa cara terbaik yang bisa ia lakukan adalah bekerja dalam sistem, ia percaya bahwa di luar sistem akan ada yang mengawal dan bisa jadi lebih baik.

Saat ditanya apakah bekerja dari dalam itu lebih efektif daripada di luar. Martin menyebut bahwa selama ini kritik yang ada nyaris susah masuk dalam kepala birokrasi. Ia bicara bahwa semestinya pemikiran kritis diikuti dengan pemahaman cara kerja sistem. Atau dalam bahasanya “Melatih aktivis berkuasa”, melalui pembacaan terhadap regulasi dan aturan birokrasi.

Intinya, saat ini para intelektual dan aktivis diharapkan bisa berpikir jernih dalam melihat situasi. Martin meminta kita untuk melihat realitas sebagai realitas bukan kondisi ideal. Misalnya begini, kondisi ideal Direktorat Kebudayaan adalah menjadi lembaga yang menjamin pengarsipan, tapi realitasnya pengarsipan kebudayaan Indonesia kacau. Pilihan kita adalah mengkritik Direktorat Kebudayaan dengan benar, atau masuk ke dalamnya dan membantu birokrat membuat kebijakan yang tepat agar proses pengarsipan berjalan.

Martin beranggapan bahwa cara kerja perubahan sosial dilakukan dengan cara melihat realitas yang ada, lalu berusaha mengubahnya dengan cara yang paling efektif. Kondisi ini jelas tidak mudah, tapi sejauh ini jika lembaga itu bekerja dengan baik, rekomendasi dari intelektual dijalankan, dan target ideal yang diharapkan tercapai, mengapa tidak?

Tapi apakah itu berarti Martin Suryajaya benar? Saya kira tidak. Saya melihat bahwa seseorang tak harus masuk dalam sistem untuk bisa mengubah keadaan. Misalnya, aktivis bisa saja belajar tentang regulasi, sistem birokrasi, dan logika pemerintahan. Sehingga jika terjadi kasus atau sengketa ia bisa membela dengan baik. Tentu ini kemenangan kecil, tapi kemenangan kecil bisa jadi preseden baik bagi gerakan advokasi yang lain.

Catatan lainnya adalah untuk mengubah sistem tak harus masuk. Mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi bisa dilakukan. Dengan catatan orang-orang di MK itu bersih dan para penggugat mampu menghadirkan argumen yang baik sehingga bisa mengubah, atau memperbaiki regulasi yang ada.

Barangkali yang saya sesalkan adalah cara teman-teman mengkritik Martin. Sebagai orang yang bekerja di Dirjen Kebudayaan, ia tentu tak punya akses dalam menentukan regulasi Agraria yang menjadi sumber konflik di Rembang atau Kulonprogo, atau punya akses ke Kementerian Hukum dan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Ibarat meminta Bilven Sandalista membuat program lomba catur di Salihara, nyaris tidak mungkin.

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.