Sebuah tembang era 90-an menyitir bahwa dunia ini panggung sandiwara. “Setiap kita dapat satu peranan yang harus kita mainkan. Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura…”
Rupanya, peran berpura-pura itu sejauh ini melekat pada karakter politisi. Kendati politisi yang wajar, alias mereka yang tulus memperjuangkan hak-hak rakyat yang dia wakili juga cukup banyak, harus disadari pula bahwa yang berlaku sebaliknya pun tidak kalah banyak.
Contoh tentang hal ini mudah sekali kita jumpai setiap satu lustruman. Dan, dari sekian kepura-puraan yang ada, yang paling paripurna adalah koruptor. Mengapa? Tentu saja, karena mereka tidak hanya mengkhianati janji-janjinya sendiri sebagai wakil rakyat, tetapi juga sangat merugikan banyak orang.
Sejak dulu koruptor sudah ada, bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamirkan. Meski begitu, sejarah mencatat bahwa perang melawan koruptor ini tidak pernah surut.
Di Indonesia, masyarakat hampir tak pernah luput meneropong komitmen apa yang diberikan oleh calon kepala negara untuk memberantas korupsi di setiap momentum pemilu.
Komitmen pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, barangkali masih hangat dalam ingatan kita gaya bahasa dan pidatonya yang, konon, akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi.
Komitmen serupa juga pernah diserukan oleh Soeharto, medio 1970 bersamaan dengan HUT RI, yang kira-kira menegaskan bilamana dirinya akan berkomitmen memberantas korupsi dan bahkan akan dia pimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini.
Dalam perjalanannya, Orde Baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena ia memang berumur panjang. Sayangnya, dari sekian banyak peraturan yang dibuat itu, alih-alih berlaku efektif, bahkan membuat korupsi berkurang sedikit pun tidak.
Menyambung pidatonya di HUT RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto lalu mengeluarkan UU Nomor3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Sialnya, dalam tataran praktik ada begitu banyak kecurangan, kebocoran anggaran negara, dan masih banyak lagi ironi tanpa ada kontrol sama sekali. Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah.
Kekuatan sipil pun dimandulkan oleh penguasa, sehingga pada puncaknya tak ada kekuatan yang tersisa untuk mengadili kasus-kasus korupsi secara independen.
Maka, cukup masuk akal ketika awal sekali Soeharto memimpin, seperti dicatat seorang sejarawan JJ Rizal bahwa mantan wakil presiden pertama RI, Moh Hatta, merasa bilamana korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, kendati usia pemerintahannya masih terhitung muda.
Ganti rezim, ganti pula garapan masyarakat untuk mengenyahkan para koruptor. Setelah Orde Baru tumbang, muncul pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi 1998.
Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, lahirlah Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur ini kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Pada masa itu, sejarah mencatat langkah radikal pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, Gus Dur sempat membuat kebijakan fenomenal soal pembubaran Departemen Sosial, saat itu. Bukan apa-apa, hal ini seperti diungkapkan sendiri oleh Gus Dur dalam sebuah talk show, “karena Departemen itu yang mestinya mengayomi rakyat, ternyata korupsinya gede-gedean”.
Tak berhenti di situ, di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi juga semakin menguap dan malah berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Lalu, di tengah krisis kepercayaan itu dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang kini kita kenal KPK.
Masalahnya, jalan terjal KPK tampaknya kian hari kian parah saja. Keberadaan KPK seolah-olah semakin nestapa. Ia diperlemah dari berbagai penjuru mata angin. Cicak Versus Buaya berjilid-jilid, “hilangnya” sebelah mata Novel Baswedan, dan masih banyak lagi ukuran-ukuran lain yang semestinya menjadi alarm serius bahwa KPK memang berada dalam situasi genting.
Benar bahwa Presiden Joko Widodo memulai pemerintahan periode pertamanya dengan citra yang cukup bersih. Benar pula bahwa Jokowi menginginkan pemerintahan yang bersih. Bahkan, konon, Jokowi meminta pandangan KPK tentang rekam jejak orang-orang yang akan dia angkat sebagai menteri. Jokowi ingin kabinetnya diisi oleh mereka-mereka yang bukan amatiran atau penuh kepura-puraan.
Tapi, sekali lagi, itu di awal sekali periode pertamanya. Lalu, bagaimana dengan hari ini? Bagaimana dengan akhir dari periode pertamanya?
Ya, manuver politik Presiden Jokowi menyetujui RUU KPK justru disesalkan banyak pihak. Persetujuan itu dinilai oleh publik sebagai pengkhianatan janji politiknya sendiri, sewaktu kampanye pemilihan presiden 2014 silam. Selain itu, dalam draf awal revisi juga terdapat sejumlah poin yang dianggap bisa melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Mulai dari pemberian kewenangan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) hingga keberadaan Dewan Pengawas menjadi hal yang dikhawatirkan mematikan api pemberantasan korupsi. Maka, cukup wajar jika majalah Tempo mengangkat cover ilustrasi bayangan Jokowi berhidung panjang. Sayang, kritik artistik ini justru dianggap sebagai pelecehan simbol negara.
Tapi, apa pun itu, kini RUU KPK telah disahkan pada Selasa, 17/9/2019. Padahal, sebelumnya pimpinan KPK menegaskan tidak ada urgensi revisi UU KPK. Para pengamat, guru besar, dan akademisi menyebut UU KPK tidak perlu direvisi. Masyarakat sipil memprotes upaya revisi UU KPK.
Lalu, muncul pertanyaan, mengapa Presiden Jokowi malah memberi lampu hijau pada RUU KPK?
Ah, saya jadi teringat serial The Game of Thrones. Bahwa dalam sebuah drama, sosok terjahat biasanya berumur panjang. Tentu saja, saya tidak mau menuduh kalau Presiden Jokowi adalah sosok itu.
Sebab, karakter terjahat itu lebih tepat disematkan pada seorang koruptor—tidak peduli apa pun bentuk dan latar belakangnya—yang, sekali lagi, penuh kepura-puraan dan telah ada sejak dulu. Dengan kata lain, pengesahan RUU KPK itu semakin menegaskan bahwa memang the game has not been over!!
Artinya, perang melawan koruptor tentu masih tetap berlanjut, meski entah dalam bentuk apa. Yang pasti, seperti dikatakan Cersei Lannister, bahwa dalam sebuah pertarungan kekuasaan, hanya ada dua pilihan: you win or you die. Selamat jalan KPK.
Bacaan terkait
Ternyata Begini Rasanya Dituduh Taliban Karena Mendukung KPK