Dari 37 surat pendek dalam Juz Amma, surat At Takasur diantara yang paling sering saya lafazkan dalam bacaan sembahyang. Selain karena pendeknya, pesan moral yang terkandung dalam tiap penggalan ayatnya menjadi semacam pengingat untuk menjalani hari-hari. Tentu banyak dari kita yang mengenali makna hakiki dari surat ini, sebagaimana pula kontroversi terutama menyangkut bermegah-megahan demikian pula harta dunia.
Dalam literatur Islam, kita mengenal watak zuhud sebagai representasi yang cocok untuk mewakili surat At Takasur itu. Sebuah karakter yang mampu menjaga jarak moderat atas segala godaan duniawi di saat hampir setiap sendi kehidupan itu sangat bergantung pada hal-hal yang materialistik. Menjadi pribadi yang zuhud di tengah kehidupan kota yang bising sudah barang pasti bukan perkara mudah. Zuhud dalam cara berkehidupan niscaya membutuhkan proses sepanjang hayat dengan berbekal ilmu agama, ilmu dunia, kearifan, serta cara pandang yang luas.
Melakoni hidup dapat dipastikan bahwa masing-masing kita memiliki tuntunan dan (sosok) teladan agar jalan itu menjadi tentu arah. Pada konteks zuhud itu, nama buya Syafii (Ahmad Syafii Maarif) yang baru saja berulang tahun ke-85, menjadi relevan untuk semua generasi terutama yang muda-muda. Meski buya sendiri telah banyak mengilhami banyak generasi terdahulu.
Laku keseharian yang bersahaja adalah kelangkaan baru di abad tidak menentu ini. Sebagai generasi muda yang hidup di perkotaan, dan mungkin juga saat ini di pedesaan, kiri kanan pandangan mata kita menunjukkan hal itu. Belum lagi status sosial yang menanjak seketika memperoleh akses ekonomi maupun politik, saat itu pula tidak sedikit orang dengan mudah mengubah kebiasaan sehari-harinya, dan ini seakan sudah menjadi hukum alam.
Sementara untuk Buya Syafii, tidak sedikit orang mengakui sifat zuhud itu dalam kesehariannya. Dengan segala previlege yang dimilikinya terutama semenjak memangku ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di samping figur guru bangsa yang melekat pada dirinya, tentu magnet-magnet kekuasaan mudah untuk digapai. Namun kenyataan terbukti sebaliknya. Buya Syafii teguh pada perannya menjaga nalar anak bangsa sebagai intelektual publik dengan tetap tampil sederhana. Sebagai analogi, dalam sebuah diskusi daring bulan Ramadan lalu, buya menyebutkan dirinya tidaklah orang yang kaya tapi juga tidak miskin.
Berkemajuan dalam pemikiran
Tidak sedikit keraguan dari saya untuk menjadikan Buya Syafii sebagai figur penunjuk arah. Saya yang lahir dari rahim Muhammadiyah boleh jadi mempengaruhi untuk itu. Akan tetapi alasan rasionalnya adalah pemikiran-pemikiran buya yang berkemajuan. Karya-karyanya baik buku mau artikel tersebar di berbagai media secara rutin dan serius. Satu lagi, kemampuan otentik buya dalam memainkan diksi begitu memukau banyak pendengar dan pembaca, yang kemudian dikutip di sana-sini.
Masih cukup mudah saya mengingat salah satu momen bersejarah yang mungkin juga berlaku untuk buya, di saat ia menggantikan posisi Amien Rais sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berkhidmat di jalur politik pada tahun 1998. Kemudian buya terpilih di muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta untuk periode berikutnya.
Mengapa ingatan itu cukup kuat dan berkesan, tidak lain karena masa kepemimpinan buya dalam rentang waktu 2000 hingga 2005 itu adalah masa-masa saya menempuh studi sarjana di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, di mana awal mula mengenal teori-teori sosial kiri hingga kanan. Di waktu itulah, sekaligus masa ketika perkembangan khazanah pemikiran Islam di tubuh Pimpinan Pusat Muhammadiyah tengah menggeliat.
Pada masa itu pula, tepatnya tahun 2003, berdirinya Maarif Institute, sebagai media syiar pemikiran-pemikiran buya Syafii di Jakarta turut mempengaruhi kelahiran anak kandung intelektual bernama Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Dan, di Jogjakarta, tak lama berselang juga lahir komunitas epistemik bernama Madrasah Intelektual Muhammadiyah (MIM). Dapat dikatakan, pengalaman personal ini tidak lepas dari figur utama yang pengaruhnya menginspirasi gerakan-gerakan kemahasiswaan untuk juga bergelut dalam dunia pemikiran yaitu buya.
Sebagai guru besar sejarah, Buya Syafii kerap meletakkan perspektif sejarah itu dalam setiap tulisan dan perkataannya. Pemahaman atas sejarah yang oleh Arnold Toynbee dimaknai sebagai keprihatinan dengan kehidupan masyarakat dan peradaban baik dalam aspek internal maupun eksternal sangat mempengaruhi corak pemikiran buya.
Tidak jarang pula Buya Syafii mengomentari kalau sejarah itu sebagai ilmu telah membantunya menemukan hikmah kemanusiaan. Bagi buya, sejarah, filsafat serta agama adalah tiga cabang ilmu yang menyita lebih banyak perhatiannya. Maka, lontaran pemikirannya pun tidak hanya jernih untuk disimak namun terutama membawa salah satu nafas berkemajuan yang mengedepankan pendekatan lintas disiplin ilmu.
Bagi generasi saat ini dan seterusnya, watak zuhud dan semangat pemikiran yang berkemajuan pada Buya Syafii layak menjadi catatan reflektif terkhusus bagi proses kaderisasi untuk melahirkan buya-buya baru di masa yang akan datang. Pandemi korona dan berbagai krisis kemanusiaan adalah quo vadis zaman yang membutuhkan nalar dan nafas berkemajuan.