Membaca tulisan di Kompas.com (02/03/2020), berjudul “Politik Kelabu Malaysia dan Kisah Operasi Senyap Jusuf Kalla”, seolah menyingkap tabir asap yang selama ini telah tersembunyi sejak lama. Persiteruan politik di Negeri Jiran yang mengemuka sejak pemilihan PM Malaysia tahun 2013, antara petahana Najib Razak dengan Anwar Ibrahim.
Rupanya menyeruakkan tiga tokoh Indonesia yang bekerja dalam senyap sebagai mediator di antara keduanya. Mereka adalah Jusuf Kalla, Prof. Yuzril Ihza Mahendra, dan Hamid Awaludin. Yang turut membuka dialog dan draft perjanjian untuk mendamaikan keduanya dalam berkontestasi. Yaitu kesepatan power sharing, yakni siapa yang kalah harus mengakuinya. sementara yang menang, harus merangkul, dengan menjadikannya sebagai Timbalan Perdana Menteri.
Bagai guntur menggelegar ke daratan, kesepakatan itu ditolak Anwar Ibrahim ketika pemilihan menunjukkan Najib Razak terpilih. Anwar menuduh Najib telah bermain curang dengan menggunakan kekuasaannya sewaktu pemilihan. Namun apa dikata, nasi sudah menjadi bubur. Najib Razak terpilih lagi sebagai PM Malaysia. Setahun berselang, tahun 2015, Anwar Ibrahim masuk bui karena masalah sodomi. Sejak saat itu, Anwar mendekam di penjara dengan vonis 5 tahun.
Awal tahun 2018, angin berubah. Tuduhan korupsi di 1MDB yang disasarkan ke PM Najib Razak berhembus kencang. Masalah itu menjadi bumbu kontestasi pemilihan PM Malaysia, yang mencuatkan nama Mahathir, sang legenda yang disinyalir didukung kekuatan rakyat untuk menyelamatkan Malaysia dari rezim Najib Razak.
Benar saja, dengan banyaknya dukungan, Mahathir yang saat itu berusia 92 tahun, berhasil memenangkan kontestasi dan terpilih “kembali” sebagai Perdana Menteri Malaysia, sekaligus menjadi PM tertua di dunia yang tercatat dalam sejarah.
Namun, Mahathir mengatakan jika dirinya hanya memimpin selama 2 tahun. Sisanya, Mahathir berencana menyerahkan kekuasaannya kepada Anwar Ibrahim, tahanan yang dibebaskan karena keringanan politik. Dan yang telah berjasa mendukung penuh oposisi melawan rezim Najib Razak yang dituduh korup.
Waktu bergulir, tepat di seperempat tahun awal 2020, Mahathir mundur sebagai PM Malaysia. Diadakan pemilihan, namun tak disangka, bukan Anwar Ibrahim yang jadi, melainkan Muhyiddin yang ditunjuk oleh Yang Dipertuan Agung Abdullah Shah sebagai PM Malaysia. Mahathir kecewa, Anwar Ibrahim pun juga sama, kecewa. Tapi itulah politik, yang penuh intrik dan kepentingan untuk berkuasa. Siapa yang menang akan senang, sementara yang kalah akan dipenuhi rasa kecewa.
Dilema Melayu
Berbicara tentang kekecewaan, hal itu mengingatkan saya untuk flashback tahun 1969. Dimana Mahathir yang waktu itu belum berpengalaman, melakukan perlawanan terhadap PM Abdul Rahman, dengan dalih “menyelamatkan” kepentingan orang Melayu yang menjadi mayoritas di Malaysia. Itu terungkap lewat buku terbitan tahun 1987, yang ditulis oleh Syahbuddin Mangandaralam, berjudul “Mengenal Lebih Dekat Malaysia, Negara Tetangga dalam ASEAN” yang disalah satu babnya mengulas tentang persiteruan Mahathir dengan Abdul Rahman lewat buku.
Mahathir menulis buku fenomenal berjudul The Malay Dilemma atau Dilema Melayu. Buku itu berusaha menguliti berbagai masalah yang dihadapi oleh orang Melayu di Malaysia. Dalam bukunya, Mahathir mengkritik keras kepemimpinan Perdana Menteri Malaysia pertama, Tengku Abdul Rahman, yang dianggapnya merugikan orang Melayu karena berpihak pada warisan peninggalan Kolonial Inggris, yakni membela kepentingan ekonomi keturunan China. Secara cepat, Pemerintah Malaysia melarang peradaran buku itu pada tahun 1970 karena dianggap membahayakan persatuan di Malaysia, yakni keturunan China.
Kenapa buku itu dilarang? Kurang lebih, buku itu menceritakan tentang pemikiran pribadi Mahathir tentang masa depan orang-orang Melayu sebagai bangsa mayoritas, selain China, India, dan Dayak Borneo. Mahathir menilai, sebagai etnis terbesar, yakni 50% dari jumlah penduduk Malaysia, seharusnya Etnis Melayu bisa berkembang maju. Karena itu, menurut Mahathir, orang Melayu memerlukan kebijakan khusus dari negara untuk mengangkat ekonominya agar terangkat dari kemiskinan.
Alasan Mahathir menulis, karena secara politik, kebudayaan, dan sosial. Etnis Melayu telah “terhambat” dalam memegang berbagai peranan di negara. Di tambah catatan historis, yang mengungkap bahwa kebijakan Kolonial Inggris tentang imigran China yang tiba di Malaya telah membuat etnis itu berkembang dan lebih berhasil secara ekonomi di banding etnis mayoritas Melayu. Dampak kebijakan imigran itu, lambat laun, mengakibatkan pemisahan antara orang-orang China dan Melayu baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Mahathir tidak mau dituduh sebagai anti-China, namun ia beralasan untuk memberikan hak setara kepada bangsa Melayu. Karenanya ia menekankan perlunya revolusi dalam cara berpikir orang Melayu, dan melepaskan kebiasaan lama seperti mengangkat martabat lewat pendidikan. Pada tahun 1980-an, ketika Mahathir menjabat sebagai PM Malaysia, larangan peredaran buku itu dicabut.
Untuk meningkatkan taraf hidup golongan Melayu, Pemerintah Malaysia membuka kran sebesar-besarnya dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Para pemudanya juga dikirim ke berbagai negara seperti Inggris, Jepang, Thailand dan tak terkecuali Ke Indonesia untuk belajar ilmu di berbagai bidang.
Menginjak tahun millenium 2000-an, Malaysia beranjak sebagai negara yang bergerak maju. Malaysia berguru, dan akhirnya mendapati buah besar dari perguruannya. Inilah tulisan sejarah dari saya tentang negara tetangga Malaysia.
Sebagai bangsa lebih beragam, Pemerintah Indonesia tentunya dapat belajar sekaligus berjuang untuk memajukan rakyatnya. Indonesia lebih kaya sumber daya alam dan manusianya, maka bukan tidak mungkin disuatu saat, Indonesia bisa lebih maju dari Malaysia dan tetangga lain, sebagai mana kejayaan Nusantara di masa lalu.