Dalam pikiran kita, berkunjung melulu lekat dengan plesiran. Berkunjung masih menjadi aktivitas yang lazim dilakukan oleh banyak orang ketika musim libur lebaran atau sekolah. Pilihan ke pantai, mall, supermarket, hotel, ke rumah sanak keluarga menjadi prioritas. Berkunjung belum dapat pemaknaan, selain hiburan, tertawa, dan melepas penat.
Pemaknaan baru ihwal berkunjung dapat kita temui belakangan ini pada Koran Kedaulatan Rakyat, 28 Agustus 2021 berjudul “Kunjungan ke Perpusda Meningkat”. Warta itu sulit membuat kita kagum. Sebab perpustakaan mungkin belum pernah masuk jajaran tempat yang patut untuk dikunjungi, pengecualian jika memang ada keperluan yang mendesak. Karena mendesak, maka dugaan durasi kunjungan bisa ditebak tidak sampai seharian.
Sejak puluhan tahun lalu, kunjungan ke perpustakaan memang belum pernah seramai kunjungan ke pantai, mall, bioskop, dan tempat penyedia hiburan lainnya. Maka menjadi wajar jika dalam satu daerah, perpustakaan yang diadakan hanya satu dengan koleksi terbatas dan hanya itu-itu saja. Buat apa membangun perpustakaan lagi jika satu saja jarang dikunjungi? Buat apa juga menambah koleksi jika yang datang setiap harinya tidak lebih dari seratus orang dari total populasi di daerah yang mencapai puluhan bahkan ratusan ribu jiwa? Perpustakaan perlu cemburu.
Warta itu berbicara tentang pelayanan perpustakaan daerah selama pandemi terjadi. Jam buka yang mulanya sampai malam, sejak pandemi, jam tutupnya dimajukan. Jam buka perpustakaan perlu peroleh apresiasi.
Kutipan dari warta itu: “Di kabupaten/kota lain itu sudah penutupan, kita masih tetap pelayanan waktu itu, cuma pelayanan kita batasi jam kerja kantor, jadi jam delapan sampai jam empat”. Apresiasi tetap bukanya perpustakaan ternyata tidak lantas memicu rasa sedih masyarakat, karena jam berkunjung dikurangi selama pandemi. Sebab perpustakaan yang di dalamnya penuh dengan buku-buku, belum membuat masyarakat kenyang dan hidup sejahtera.
Padahal jika menilik sejarah di masa silam, tokoh, peradaban, dan pemajuan dimulai dari keranjingan buku. Kita tentu kerap mendengar bahwa para pendiri bangsa ini merupakan kutu buku. Mereka tidak segan-segan membeli dan menyulap rumahnya menjadi perpustakaan pribadi. Perpustakaan menjadi kantor, dan buku menjadi penyokongnya. Mereka membacanya setiap hari lantas menyuarakannya di tulisan dan orasi.
Peradaban Islam pun juga demikian. Kejayaan Dinasti Abbasiyah yang banyak tercatat oleh intelektual muslim sejak dulu sampai hari ini salah satunya adalah keberhasilannya menyalin dan menerjemahkan beragam buku-buku dari bahasa lain. Buku di situ malah menjadi senjata untuk pemajuan peradaban. Sekian buku diterbitkan dan bebas dikonsumsi publik di Baitul Hikmah, perpustakaan di masa itu. Bahkan konon, orang yang berhasil membuatnya akan dihadiahi emas seberat bobot buku atau kitab itu.
Dua contoh itu menjadi bukti bahwa berkunjung ke perpustakaan dengan buku-bukunya malah membuat manusia berdaya. Tidak hanya karena ilmu pengetahuan di dalamnya, tapi juga kecakapan dan kebajikan pengambilan keputusan guna menghadapi realitas hidup yang keras juga diperoleh dari bacaan-bacaan buku di perpustakaan.
Kita kembali ke warta itu. Kunjungan di perpustakaan itu dibatasi hanya 50 orang. Loker, masker, dan hand sanitizer telah disediakan. Sebelum masuk, suhu badan diperiksa terlebih dahulu. Pengunjung perpustakaan itu patut bersyukur, sebab surat vaksin dan surat RT setempat tidak menjadi syarat boleh dan tidaknya untuk masuk. Prokes yang diterapkan masih umum, demi mempermudah dan menarik lebih banyak pengunjung perpustakaan.
Namun di warta itu peningkatan tidak hanya berkaitan dengan pengunjung, tapi juga akses. Perpustakaan bertransformasi dan memodernkan diri. Sekian ikhtiar ditunaikan, salah satunya dengan membuat aplikasi yang bisa dan boleh diakses siapa saja. “Untuk buku digital, dapat diakses melalui aplikasi perpustakaan digital iBoyolali yang dilengkapi dengan fitur media sosial dan bisa diakses melalui telepon pintar, tablet, laptop, dan dekstop. Aplikasi ini bisa diunduh di Playstore telepon pintar Android atau bisa melalui dekstop www.iboyolali.id”, tulis di warta itu.
Perpustakaan tetap ada, tapi ruangnya dialihkan ke digital. Pelan-pelan dalam kurun beberapa tahun ke depan, kita boleh menduga-duga bahwa bangunan perpustakaan mungkin bisa beralih fungsi bukan sebagai tempat yang patut dikunjungi karena menyediakan ilmu pengetahuan, melainkan sebagai gudang tumpukan buku-buku. Di situ sekian buku dibiarkan tidak dibuka setelah didigitalisasi. Merawat buku dan menarik pembaca kini dilakukan dengan menyediakan akses mudah di telepon pintar dengan sokongan internet.
Peralihan itu boleh kita semogakan kunjungan ke perpustakaan baik ke bangunan maupun aplikasi berlangsung ramai. Perpustakaan patut mendapatkan pembaruan dari sisi keberadaan fisik, jumlah koleksi buku, dan pembuatan aplikasi digital. Hal itu supaya perpustakaan bisa masuk dalam daftar yang minimal perlu untuk dikunjungi, dilihat, dan dipotret di musim liburan.