Rabu, April 24, 2024

Benarkah Presiden Jokowi Pro-Lingkungan Danau Toba?

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Saya masih ingat betul. Waktu itu saya masih SD. Hampir semua warga kampung kami pergi. Mereka meninggalkan sawah dan ladang hanya untuk sebuah alasan yang unik: Presiden datang. Padahal, pada masa itu, sangat rugi rasanya meninggalkan sawah dan ladang. Benar-benar rugi.

Bahkan semua kanak-kanak tak dibiarkan belajar siang, apalagi istirahat siang. Semua kanak-kanak harus bekerja ke sawah atau ladang, mau matahari terik ataupun hujan lebat. Itulah salah satu bukti betapa berharganya sebuah siang bagi warga kampung kami.

Namun, hari itu sungguh sangat berbeda. Warga kampung kami rela antre dan bertumpuk-tumpuk di bus rongsokan. Mereka pergi ke sebuah tempat yang jauh dari kampung: lebih dari 40 km. Semua itu hanya untuk berjumpa seorang Presiden. Saat itu, masih Bu Megawati. Kerelaan warga kampung menempuh perjalanan jauh ini tentu menjadi pertanda sebuah kerinduan yang mendalam.

Di samping itu, warga kampung tentu juga berharap, semoga dengan kedatangan Presiden ke Tanah Batak akan membawa perubahan atau kado.

Adakah perubahan atau kado itu? Tentu saja ada. Sejak kedatangan Megawati, misalnya, Danau Toba paling tidak melimpah dengan ikan-ikan. Warga senang. Saban pagi ikan itu dijual murah hingga ke pelosok. Kini, ikan itu sudah nyaris tidak ada lagi.

Selain itu, terjadi juga pemekaran beberapa kabupaten di Tanah Batak. Intinya, ada beberapa kemajuan dan kado atas kehadiran Presiden, meski beberapa dari Presiden itu cenderung memusatkan sebuah titik di mana harus berkumpul. Nah, inilah yang agak membedakan Presiden Jokowi dengan presiden-presiden sebelumnya.

Meski Tanah Batak pernah didatangi presiden-presiden, kabupaten kami, Humbang Hasundutan, tak pernah dikunjungi karena selalu dipusatkan di daerah-daerah lain. Seumur-umur dan sependek pengetahuan saya, dari Bung Karno hingga Jokowi, presiden yang pernah memijakkan kaki di Humbang Hasundutan masih hanya Jokowi, bahkan sangat ajaib. Betapa tidak, dalam satu periode pemerintahannya, ia sudah mengunjungi Humbang Hasundutan sebanyak tiga kali. Pencapaian yang sangat luar biasa.

Pertanyaannya, apakah kunjungan itu berdampak pada kemajuan daerah pinggiran, seperti Humbang Hasundutan, misalnya? Atau, sedang apa sebenarnya Jokowi hadir ke sekitar Danau Toba, seperti Humbang Hasundutan sehingga kelihatan lebih sering?

Apa benar membangun dari pinggiran, atau dalam hal ini, memperbaiki Danau Toba? Ya, boleh jadi. Apalagi, konon, Jokowi sedang membuat mimpi yang heroik: mencetak 10 Bali baru dalam empat tahun untuk target 20 juta wisatawan mancanegara di 2019. Danau Toba termasuk di dalamnya.

Dan, memang, hal itu benar adanya. Paling tidak, kini, pembangunan sedang marak digalakkan di sekitar danau. Ada jalan tol dari Medan ke arah danau, ada pelebaran dan perbaikan jalan di sekitar danau, ada penggalian di Tano Ponggol dengan rancangan jembatan mahacanggihnya, dan sebagainya. Presiden Jokowi bahkan sempat membentuk sebuah otorita khusus Danau Toba, yaitu Badan Otorita Danan Toba (BODT). Hanya saja, kinerja BODT kurang greget sehingga otorita ini kemudian “dikerdilkan”.

Kedatangan teranyar, Jokowi membawa kado mahaindah: restorasi Danau Toba secara total. Itu pesannya kemarin (29/07/2019). Niat ini sungguh luar biasa dan visioner. Tetapi, sayangnya, saya lihat pembangunan ala Jokowi seperti tak punya visi, apalagi isi. Ya, niat memang mewah: Danau Toba sebagai Bali Baru hingga pembangunan total. Tetapi, sekali lagi, pembangunan ini seperti tak berisi. Bukti sahihnya, perambahan di sekitar danau masih marak, pencemaran air danau juga tak kunjung berhenti.

Sebaliknya, perusahaan-perusahaan “perusak” ekosistem di sekitar danau terkesan semakin marak dan besar. Ini tentu menjadi sangat bertolak belakang dengan visi Jokowi untuk mencetak wisatawan. Bagaimana mungkin Danau Toba bisa dijual mewah jika fisiknya saja diabaikan?

Memang, Jokowi dalam kunjungannya kemarin di Sipinsur (salah satu pilot projects wisata di Humbang Hasundutan) dengan tegas mengatakan kurang lebih begini: apabila ditemukan perusahaan yang merusak lingkungan akan dicabut izinnya.

Demikian juga dengan keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba. Keramba akan ditertibkan: yang tidak pro dengan rakyat akan dicari solusinya. Luar biasa. Tetapi, daripada merawat pikiran baik atas niat itu, saya cenderung malah berpikiran kotor. Pikiran kotor ini bukan hanya ketakutan yang tak berdasar apalagi kecurigaan mahabesar. Begini. Pada 2017 silam, Jokowi merayakan Hari Kemerdekaan di Parapat dan Balige. Saya kebetulan tercatat sebagai panitia di Balige, meski saya sama sekali tak bekerja.

Di Parapat, saya bersama teman-teman juga ikut tampil. Hari itu Danau Toba tak seperti biasanya. Keramba bersih dari danau. Air mendadak biru dan asri. Itu semacam syarat utama untuk kedatangan Jokowi. Bahkan, dua bulan setelah perayaan itu, ketika kami mementaskan Opera Batak tentang Danau Toba di Bakara, utusan Bupati Humbang Hasundutan membuat jargon menarik yang senapas dengan semangat pariwisata Jokowi: Keramba No, Kera­mas Yes! Tetapi, selepas itu, kita sama-sama menyaksikan keramba kembali liar.

Bagaimana Harus Membuktikan?

Beberapa tragedi alam terjadi: di Bakara Humbang Hasundutan, misalnya, ikan mati massal, sebanyak 249,6 ton karena kotornya danau. Dampaknya, air danau yang sempat kelihatan biru pun mendadak keruh. Wisatawan lantas berkurang karena tak tahan pada bau yang menyengat (Kompas, 13/1/2017).

Betapa tidak, satu kotak kerambah ukuran 3×4 meter diisi lebih dari 5.000 benih ikan, bahkan ada yang sampai 15.000. Padahal, diperkirakan di Bakara ada setidaknya 300 kotak keramba. Bisa dibayangkan berapa jumlah ikan di sana.

Bisa pula dibayangkan berapa banyak pakan ikan dijatuhkan hingga bertumpuk di dasar danau, belum lagi kotoran ikan dan limbah masyarakat. Jarak antar keramba yang mestinya 50 meter dibuat malah berdempetan. Keramba juga dibuat di bibir pantai, padahal seharusnya diletakkan paling tidak 200 meter dari bibir pantai. Ini masih di desa Bakara, Humbang Hasundutan. Kita belum sampai ke Danau Toba yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun. Karena, di kabupaten itu, Danau Toba agaknya dikhususkan untuk peternakan ikan.

Saya pikir, jika masalah ini dibiarkan, mimpi Jokowi meledakkan pariwisata di Danau Toba akan menjadi isapan jempol belaka: tak bersisi sama sekali. Pasalnya, bagaimana pariwisata akan meledak jika Danau Toba dibuat menjadi lahan “sawah” bagi para pegusaha-pengusaha ikan?

Belum lagi tantangan lainnya yang jauh lebih mahaberat: ada perusahaan di sekitar danau yang tampaknya tak akan berhenti merusak hutan. Sangat mudah dibayangkan, jika skema ini (merusak danau dari dalam dan luar danau) tak dihentikan, danau akan menjadi ancaman bagi penduduk.

Entahlah, setelah kedatangan Presiden Jokowi kali ketiga ke tempat kami, juga di Danau Toba, saya justru cenderung pesimis dengan visi lingkungan Jokowi. Ya, barangkali memang, jangan-jangan para pejabat setempatlah yang tak tahu mengartikan visi Jokowi. Tetapi, bagaimana saya harus membuktikan itu, setelah melihat kunjungan ketiga kali ini, bukan?

Kolom terkait

Membangun dari Pinggiran

Blended Finance: Demi Swasta atau Demi Siapa?

Bagaimana Pariwisata Dibangun Dari Darah Warganya

Pidato Revisionis* Presiden Terpilih [Visi Keberlanjutan Indonesia]

Candu Dana Desa

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.