Proyek ‘wisata halal’ yang dicetuskan gubernur Nusa Tenggara Barat menyasar hingga jauh ke Puncak Gunung Rinjani. Melintasi padang sabana Sembalun hingga Plawangan Sembalun. Mendaki jalan berpasir menuju puncak. Menuruni lereng-lereng curam menuju Danau Segara Anak. Hingga berakhir ke Desa Senaru. Pendakian bersyariah sempat diwacanakan hingga membikin gaduh dunia maya. Jalur pendakian akan dipisah untuk laki-laki dan perempuan. Pun begitu dengan tenda-tenda bagi para pendaki, terpisah antara laki-laki dan perempuan sebagai prasyarat mewujudkan wisata halal di Nusa Tenggara Barat dan pendakian bersyariah di Gunung Rinjani.
Riuhnya dunia maya membahas pendakian bersyariah ini membikin Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) Sudiyono buru-buru angkat bicara. “Berkaitan dengan adanya gagasan pemisahan antara tenda laki-laki dan perempuan di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani yang kemungkinan akan menjadi pro dan kontra di masyarakat, maka dapat kami sampaikan bahwa program tersebut tidak akan kami laksanakan karena bukan menjadi prioritas Balai Taman Nasional Gunung Rinjani,” Tulis Sudiyono dalam surat resmi yang dikeluarkan BTNGR.
Sebelum dunia maya marak membincangkan pendakian syariah di Gunung Rinjani, Sudiyono mengeluarkan pernyataan yang berbeda. Ia mendukung pemisahan jalur pendakian dan tenda kemah untuk laki-laki dan perempuan. Alasannya, ada dugaan penyimpangan yang dilakukan wisatawan yang berkunjung ke Gunung Rinjani dan sekitarnya. Seperti apa bentuk penyimpangannya? Tak ada penjelasan lanjutan.
Meskipun pada akhirnya membatalkan rencana pemisahan jalur dan tenda untuk laki-laki dan perempuan, dalam pernyataan terakhirnya, Sudiyono tetap mendukung program wisata halal yang diwacanakan pemerintah NTB. Seperti apa praktiknya kelak di Gunung Rinjani, belum ada keterangan pasti. Bukan tidak mungkin wacana pendakian bersyariah dengan pemisahan jalur pendakian dan tenda kemah untuk laki-laki dan perempuan akan kembali digulirkan dan lantas dipraktikkan.
Ada ratusan gunung di negeri ini, sebagian besar merupakan gunung berapi aktif. Penjelajah menjuluki negeri ini sebagai salah satu simpul cincin api. Konsekuensinya, keindahan dan ancaman berpilin berkelindan dalam satu tarikan nafas. Ia janjikan pemandangan eksotis sekaligus bencana yang selalu mengintai. Bencana letusan gunung berapi tentu saja mengancam keselamatan makhluk hidup yang tinggal di sekitar gunung. Namun Ia juga menjamin kesuburan lahan di sekitarnya sehingga wilayah-wilayah yang terletak di sekitar gunung berapi terkenal dengan kesuburannya.
Sebelum penjajah datang dan menguasai negeri ini, gunung-gunung di wilayah nusantara sudah pernah didaki manusia. Unsur-unsur spiritualitas dan semangat menyelamatkan diri dari kejaran musuh menjadi latar belakang gunung-gunung itu didaki. Penjajah Belanda lantas mendaki gunung-gunung di negeri ini dengan mengirim ahli geologi, ahli botani, ahli pemetaan, dan beberapa tenaga ahli lainnya dengan tujuan utama mengkapling dan memetakan sumber daya alam yang ada di negeri ini.
Dua dekade usai kemerdekaan Indonesia, aktivitas pendakian gunung berlatar belakang hobi mulai bergeliat di Indonesia. Hal ini ditandai dengan berdirinya Wanadri, Mapala Universitas Indonesia, Mermounc dan beberapa komunitas pendaki lainnya baik itu dalam lingkungan kampus atau lingkungan di luar kampus.
Pada mulanya, olahraga mendaki gunung sedikit peminat. Selama lebih lima dekade peminat olahraga ini digeluti terbatas oleh mereka yang menamakan diri pencinta alam, meliputi pelajar, mahasiswa, dan umum. Olahraga minat khusus pendakian gunung mulai semarak diminati banyak orang sesaat setelah film berjudul ‘5 cm’ yang bercerita tentang pendakian beberapa orang ke Gunung Semeru dengan bumbu-bumbu drama di dalamnya tayang di seluruh jaringan bioskop 21. Itu terjadi pada penghujung tahun 2012. Selepas itu, para pendaki menyerbu gunung-gunung di Indonesia, memberikan pemasukan bagi penduduk sekitar lewat jasa pariwisata sebagai pemandu dan porter. Selain itu kedatangan pendaki ke kaki-kaki gunung juga cukup mampu menggerakkan roda perekonomian di desa-desa di kaki gunung.
Kondisi Gunung di Indonesia
Sepertinya saya sudah melenceng dari topik utama yang hendak saya bahas. Selalu begitu memang jika saya menulis dengan tema gunung. Begitu bersemangat dan terobsesi menulis selengkap mungkin. Sebaiknya saya kembali ke topik awal saja perihal pendakian bersyariah di Gunung Rinjani.
Pasca ledakan pendakian ke gunung-gunung di Indonesia, selain Gunung Semeru, Gunung Rinjani menjadi gunung dengan kunjungan pendaki begitu masif saat musim pendakian dibuka. Pihak balai taman nasional sampai harus membatasi jumlah pendaki per hari karena banyaknya pendaki yang hendak mendaki Gunung Rinjani. Memiliki predikat gunung tertinggi ketiga di Indonesia dan gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia, banyak pendaki mendapuk Gunung Rinjani sebagi gunung terindah di negeri ini.
Jauh sebelum bisnis pemandu pendakian gunung marak di negeri ini, pengelolaan wisata pendakian gunung di Gunung Rinjani menjadi yang terbaik di Indonesia. Pemandu yang berasal dari seantero Lombok dan porter yang berasal dari desa-desa sekitar Gunung Rinjani mampu mengelola bisnis mereka dengan cukup profesional. Tamu-tamu baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara dimanjakan dengan pelayanan yang begitu prima.
Wacana pemisahan jalur pendakian dan tenda kemah untuk laki-laki dan perempuan, saya kira selain mengganggu persiapan sebuah tim pendaki, juga merusak manajemen pelayanan yang sudah dibangun sejak lama oleh mereka yang bergerak di bidang usaha pemandu dan porter pendakian. Terlepas dari embel-embel syariah dan wisata halal, wacana pemisahan ini akan berdampak mengejutkan bagi banyak hal yang terkait dengan pendakian.
Jika sebuah tim pendakian terdiri dari laki-laki semua, wacana pemisahan tidak akan mengganggu tim sama sekali. Tim pendakian akan mulai terganggu dan direpotkan jika sebuah tim terdiri dari seluruhnya perempuan atau campuran antara laki-laki dan perempuan. Bukan, saya bukan hendak meremehkan kemampuan perempuan dalam urusan mendaki gunung. Sama sekali bukan. Gangguan ini terutama perihal pemandu gunung dan terutama jasa porter yang disewa tim pendaki itu. Sepengetahuan saya, pemandu gunung berjenis kelamin perempuan masih langka di Gunung Rinjani, apalagi porter, saya kira tidak ada.
Masalah keberadaan porter dan pemandu gunung bisa teratasi jika tim tidak menggunakan jasa mereka. Mendaki tanpa pemandu dan tanpa porter. Membawa perlengkapan pendakian sendiri dan mendaki tanpa pemandu gunung profesional. Namun, untuk tim pendakian yang terdiri dari seluruhnya perempuan atau seluruhnya laki-laki, atau campuran keduanya, masalah tidak selesai sampai di situ saja. Sejauh ini, jalur pendakian resmi menuju puncak Gunung Rinjani, hanya ada satu jalur saja, dari Plawangan Sembalun menuju puncak. Jika wacana pemisahan jalur pendakian benar terjadi, lantas bagaimana mengelola jalur pendakian menuju puncak yang sejauh ini hanya tersedia satu jalur saja?
Yang paling repot dan sepertinya akan membikin banyak masalah, tentu saja pendakian yang tim pendakinya terdiri dari campuran antara laki-laki dan perempuan. Jalur pendakian dan tenda kemah yang terpisah, akan merepotkan manajemen perlengkapan dan logistik pendakian. Belum lagi jika pemisahan itu menyebabkan adanya pendaki laki-laki atau pendaki perempuan mendaki seorang diri karena dalam tim hanya ada satu orang laki-laki atau satu orang perempuan.
Maka, sampai kapan pun, wacana pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah pendakian baik itu jalur pendakian juga tenda kemah, sama sekali tidak relevan diterapkan di Gunung Rinjani. Lagi pula, apakah sesempit itu menafsirkan program wisata halal dan pendakian bersyariah di Gunung Rinjani? Saya kira ada yang lebih prinsipil dan lebih harus didahulukan untuk mewujudkan wisata halal dan pendakian bersyariah dibanding sekadar pemisahan yang membingungkan sekaligus merepotkan dan sulit diaplikasikan.
Pelayanan yang prima, jaminan keselamatan, saya kira harus didahulukan untuk membangun citra wisata halal dan pendakian bersyariah. Yang jauh lebih penting lagi, adalah kebersihan di sepanjang jalur pendakian. Bukankah kebersihan itu bagian penting dari keimanan. Maka jaminan kebersihan jalur pendakian adalah syarat mutlak wisata halal dan pendakian bersyariah, bukan yang lainnya apalagi mewacanakan pemisahan yang malah berisiko tinggi membahayakan nyawa seseorang.
Sudah menjadi rahasia umum, di sepanjang jalur pendakian, sampah-sampah berserakan merusak ekosistem dan mengganggu pemandangan. Puncak keberadaan sampah-sampah itu tentu saja di Plawangan Sembalun—perkemahan utama tempat pendaki rehat sebelum menuju puncak—dan di sekitar Danau Segara Anak. Di Plawangan Sembalun, sampah-sampah berserakan di mana-mana. Bukan sekadar sampah sisa makanan, tisu kering dan basah, plastik-plastik wadah makanan, keterbatasan WC membikin kondisi Plawangan Sembalun laiknya WC umum maha luas tempat kotoran manusia berserakan di mana-mana. Jadi, itu saja yang sebaiknya lekas dibenahi. Jangan malah merepotkan diri sendiri sembari membahayakan keselamatan pendaki dengan mewacanakan pemisahan-pemisahan yang merepotkan.