Ada-ada saja ulah manusia untuk sekadar kelihatan bekerja. Tak terlepas apakah dia seorang rakyat biasa ataupun dari kalangan pemimpin. Tindakan populis semata, atau ada agenda tersembunyi? Entahlah!
Yang terang, berdalih untuk meningkatkan kunjungan wisatawan Muslim dari Malaysia dan Brunei Darussalam, Gubernur Sumatera Utara yang terhormat, Bapak Edy Rahmayadi, melemparkan diskursus kontroversial seputar “halalisasi” Danau Toba. Pak Gubernur berpolitik praktis berlabel agama terkait Danau Toba?
Yang namanya mengganggu kenyamanan, tentu usulan konyol tersebut segera saja menyulut reaksi spontan berupa penolakan dari masyarakat mana pun, terutama orang-orang Batak terlepas apa pun agamanya. Pak Gubernur mungkin tidak tahu apa yang diperbuatnya dengan melempar gagasan tersebut ke domain publik yang jelas-jelas berseberangan.
Tak terlihat ada sensitivitas personal dalam diri beliau. Egois. Tak lebih. Tak membumi. Hanya mau menangnya saja. Testing the water?
Apa yang diwacanakannya ihwal zonasi wisata halal Danau Toba dengan membangun masjid dan melarang pemotongan hewan (baca: babi) secara sembarangan tampak tidak menggambarkan kearifan dan kebijaksanaan dari seorang pemimpin. Dari sini kelihatan Pak Gubernur tak paham Danau Toba. Tak tahu potensi apa yang terkandung di dalamnya. Pak Gubernur bermain politik babi di ranah yang menjadikan babi sebagai bagian dari kehidupan adat dan sosial masyarakat setempat.
Perlu diketahui oleh Pak Gubernur Edy, bukan masjid dan babinya atau halal-haramnya yang perlu dibenahi. Yang perlu diperhatikan adalah fasilitas pendukung infrastrukturnya, seperti perluasan dan pengembangan jalan dan jembatan ataupun jalan alternatif, sarana akomodasi dan hiburan yang lebih variatif berbasis budaya dan alam, dan pelatihan pengembangan sumber daya manusianya terkait industri pariwisata.
Sentimen Agama
Saya mau bilang, ide “halalisasi” Danau Toba itu patut dicurigai identik dengan meng-Islam-kannya. Tidak hanya tempat pastinya. Tujuan jangka panjangnya adalah juga mengubah secara paksa iman dan keyakinan masyarakat di sana. Karena, jika terlaksana, maka secara perlahan-lahan akan berdatangan orang-orang dari luar untuk menganeksasi daerah tersebut dengan alasan “halalisasi”. Saya bisa mengendusnya. Yang lain pun pasti bisa. Ini perkara mudah. Jika hal ini dipaksakan, berarti pemerintah sudah melanggar hak asasi manusia.
Sebagaimana ditulis Firman Situmeang, masyarakat pemeluk agama Kristen/Katolik di seputar Danau Toba adalah mayoritas, mencapai 90 persen. Bahkan, di dua kabupaten terdekatnya, Toba Samosir dan Samosir mencapai 99 persen, termasuk agama lokal Parmalim.
Apa artinya data-data tersebut? Jika Pak Gubernur sudah tahu namun tetap memaksakannya, maka beliau bisa dituding bertindak rasis dan diskriminatif terhadap mayarakatnya sendiri. Tentu hal ini tidak elok. Bisa mengundang rasa antipati berjilid-jilid dan bergelombang.
Selain itu, labelisasi halal ataupun penyematan zonasi halal bagi kawasan ini tidaklah tepat. Ada dua alasan yang mengemuka, yaitu alasan historis dan budaya.
Secara historis, kawasan ini sudah beratus-ratus tahun dihuni dan didiami masyarakat Batak yang notabene beragama Kristen dan Katolik. Selama periode waktu tersebut dan hingga kini, tak pernah ada perselisihan terkait agama karena orang Batak memang sudah terampil menghikmati perbedaan. Tak perlu diatur-atur atau dibuatkan peraturan yang justru kontraproduktif hasilnya.
Buktinya adalah keluarga saya sendiri. Saya memiliki keluarga Batak yang beragama Muslim sedari awal dan juga keluarga yang mengubah keyakinannya di tengah jalan. Dari kedua jenis keluarga ini, kami tidak pernah memiliki masalah apa-apa terkait agama dan ritual-ritual adat yang menggunakan hewan ternak babi dalam kegiatannya.
Jika keluarga kami yang beragama Kristen hendak mengadakan acara adat, misalnya, kami tetap mengundang sanak familili yang beragama Islam (Muslim) untuk datang menghadirinya. Dan mereka pun datang. Terkait makanan dan minuman, ada tempat dan menu tersendiri yang tersedia bagi keluarga kami tersebut. Kami menyebutnya dengan istilah parsubang yang bisa diartikan bukan pemakan darah atau makanan haram.
Ini adalah bentuk penghargaan dan rasa hormat-menghormati dan menghargai adat yang mengikat kami. Tak terkecuali dengan tata cara penyembelihan ternak babi tersebut yang memang dilaksanakan di tempat pesta. Bukan di rumah potong hewan (RPH).
Terkait kebersihan dan kepatutan, orang Batak tahu dengan baik bagaimana memastikan agar babi dan hewan lain yang disembelih tetap steril kondisinya. Hal ini sudah berlangsung lama. Babi pun sudah menjadi hewan adat (juhut) yang tempatnya nyaris tidak tergantikan oleh hewan lain semisal bebek atau ayam. Inilah yang menjadi ciri khasnya.
Secara budaya, masyarakat Batak diikat oleh filosofi atau wawasan sosial kultural Dalihan Natolu. Ada tiga prinsip hidup di dalamnya, yaitu, Somba Marhula-hula (sembah/hormat terhadap keluarga pihak istri, Elek Marboru (sikap membujuk/mengayomi wanita), dan Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga).
Implikasi dari prinsip hidup Dalihan Natolu atau secara harfiah bermakna tungku berkaki tiga adalah dibutuhkannya keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Ada siklus posisi dalam pelaksanaan prinsip hidup tersebut. Siapa saja dalam masyarakat Batak akan menempati posisi sebagai hula-hula, boru dan dongan tubu secara bergiliran. Sekalipun dalam agama yang berbeda.
Pembuatan zonasi atau labelisasi halal hanya akan memantik disharmoni sosial-kultural di Tanah Batak, alih-alih menciptakan daerah wisata yang nyaman, aman, dan berkesan.
Festival Babi
Maraknya aksi protes dari masyarakat terkait usulan konsep wisata halal yang digulirkan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi tersebut, tak pelak menimbulkan beragam ide perlawanan kreatif namun tetap berbingkai wisata. Salah satuny adalah usulan festival babi.
Contohnya adalah usulan unik dan membumi dari salah seorang aktivis literasi dan lingkungan Yayasan Alusi Tao Toba, Togu Simorangkir, yang mewacanakan menggelar Festival Babi Danau Toba. Acara ini direncanakan akan berlangsung di Muara, Tapanuli Utara, medio 25-26 Oktober 2019.
Informasi yang beredar kegiatannya akan beragam, mulai dari kuliner (babi banggang, saksang, tango-tanggo, babi arsik) hingga acara lucu-lucuan seperti foto selfie dengan babi, lomba lari babi, dan lomba memanggil babi.
Sekali lagi, hal ini perlu menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terkait masalah kepekaan seorang pemimpin terhadap masyrakatnya. Agar segala kebijakan benar-benar memperhatikan kemanfaatan beserta situasi dan kondisi tempat dan masyarakat yang menjadi objek kebijakan tersebut.
Maka, jika Pak Gubernur lebih memilih berpolitik dan bermain aman di seputar zonasi halal dan babi, maka jangan salahkan masyarakat pun akan menghadangnya dengan menggelar festival berbau babi yang juga haram.
Oh, babiku sayang! Engkau adalah perlambang hewan terhormat dalam kehidupan adat dan sosial masyarakat Batak. Engkau juga kerap dijadikan menu bagi banyak orang. Engkau begitu penting.
Oh, babiku malang! Keberadaanmu tengah diusik. Jati dirimu dalam bingkai adat dan sosial masyarakat Batak barangkali akan dieliminasi oleh kebijakan culas tak berhati berkedok halalisasi.
Oh, babiku sayang, babiku malang! Apa gerangan yang tengah berkecamuk di kepala pemimpin kami sehingga kau pun ikut terseret arus politisasi?
Baca juga
Habis Zonasi Halal, Terbitlah Festival Babi
Pak Gubernur Edy, Seberapa Penting Halalisasi Danau Toba?