Kamis, Oktober 10, 2024

Ayahku

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Pemerhati Politik

Akhir-akhir ini ingatan menguat mengenang ayah. Ayah, tahun 2008 lalu telah pergi selamanya menghadap pemilik kehidupan ini. Kepergian yang dialami semua makhluk hidup, tapi hanya fisiknya saja yang sudah tiada, kenangan prestasi hidup dan jalan dakwah yang ditempuhnya sampai kini selalu ada dalam hatiku, si bungsu yang selalu merindukanmu.

Ayah sebenarnya petani, menamatkan pendidikan tingkat Tsanawiyah di institusi pendidikan Muhammadiyah. Selain petani, hidup ayah diwakafkannya untuk dakwah dan Muhammadiyah. Ayah pernah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah di Pasaman, Sumatera Barat, juga menjadi tenaga pengajar mata pelajaran agama di Madrasah Aliyah Muhammadiyah.

Dakwah dan Muhammadiyah adalah jalan hidup ayah. Tak kurang dari 48 Tahun menjadi seorang mubalig. Keliling dari satu kampung ke kampung yang lain. Tidak hanya di mesjid dan ranting Muhammadiyah tetapi lintas organisasi dan mazhab. Ayahku sering mengatakan:

“Berdakwahlah di mana saja jangan pernah lihat latar belakang organisasi dan mazhabnya karena Islam mengajarkan bahwa kita adalah satu,  perbedaan itu adalah rahmat”, begitu pesan Ayah.

Ayah tidak akan pernah menolak jika ada yang datang memintanya untuk mengisi pengajian. Kadang 3-4 tempat dalam satu hari. Kesediaannya juga tidak pernah didasari kepada jumlah nominal dan pelayanan dari jamaah. Kadang sering beliau pulang hanya dengan membawa berbagai macam jenis hasil bumi dari warga setempat. Dakwah adalah kewajiban katanya. Ayahku akan terlihat segar dan bahagia ketika bertemu dengan jamaah. Di akhir-akhir masa-masa sakitnya pun, beliau tetap menyempatkan diri untuk menghadiri pengajian.

Ketika kecil, pengalaman-pengalaman spesial dengan ayahku tentulah banyak. Menggetarkan jiwa dan menginspirasi. Syahdan, saat sering diajak berkeling berdakwah, ketika sudah selesai pengajian kami harus menyetop truck-truck yang lewat untuk transportasi saat kami pulang. Karena kadang jamaah tempat pengajian memiliki keterbatasan juga untuk mengantar pulang. Dan kami juga tidak memiliki sepeda motor sebagai kendaraan transportasi.

Herannya, ketika ayahku melambaikan tangan ke truck yang lewat dan truck-truck itu selalu berhenti dan sebagian besar para supir truck itu mengenal ayahku. Suatu waktu saya bertanya, kenapa mereka supir-supir truck itu kenal ayah. “Ayah sudah lama menekuni jalan ini, nak” jawab ayahku. Pertanyaanku berlalu.

Dakwah bukanlah untuk mencari kejayaan diri, apalagi mencari kekayaan pribadi, pesan kuat ayah saat itu. Untuk memenuhi kebutuhan, kami bertani dan berkebun. Pergi ke kebun Jaraknya kira-kira 5-7 KM dari perkampungan penduduk. Jika ayah pergi berdakwah dari kebun, karena masa-masa menjaga tanaman dari hama, ayahku sering harus melewati perjalanan di tengan hutan dan sawah, tak jarang di malam hari. Aku banyak belajar tentang keikhlasan dan kerja keras dalam hidup dari ayah. Keterbatasan tidak menjadikan hambatan manusia untuk bisa berbagi kebaikan dan meraih kesuksesan dalam hidup. Terutama di mata Sang Pemilik hidup ini.

Penggerak Muhammadiyah dari Kampung

Komitmen ayah terhadap dakwah dan Muhammadiyah tidak pernah luntur. Ayah konsisten di jalan dakwah, tak peduli jalan gelap, berliku, bahkan jalan di antara jurang hutan kampung. Ayah selalu berdakwah walaupun datang tawaran-tawaran politik. masa orde baru, ayah tegas menolak bahwa itu bukan jalannya. Kala itu Ayah pernah diminta menjadi calon legislatif dari Golkar.  Ketika periode awal reformasi juga diminta menjadi caleg dari PAN. Ayah menolak dengan santun mengatakan, menjaga Muhammadiyah.

Menurut ayah, Muhammadiyah adalah organisasi orang-orang pintar dan peduli terhadap pendidikan. “Ananda harus menjadi bagian dari Muhammadiyah seperti Ayah” tegasnya.

Menjalankan pesan ayah, setelah tamat dari SMP, diantarkannya saya  bersekolah ke Kulliyatul Muballighien Muhammadiyah Padangpanjang. Sekolah hebat katanya. Buya Hamka yang mendirikan.

Saya sebenarnya tidak sampai hati harus bersekolah jauh dan tinggal di asrama, karena pasti akan menelan biaya besar untuk ukuran orang seperti kami. Tapi untuk mewujudkan keinginan dan cita-cita beliau, saya tetap ikuti. Walaupun pada akhirnya pada tahun ke 2 saya memutuskan untuk tinggal di mesjid, sebagai upaya mengurangi beban ayahku.

Sebagai muballigh kampung, ayahku cukup rajin membaca banyak hal. Majalah Favoritnya adalah suara Muhammadiyah. Walaupun kadang harus menunggu pemberian jamaah yang memiliki akses dan kemampuan untuk membelinya berlangganan. Sebagai seorang Ketua Cabang Muhammadiyah, beliau akan aktif menghadiri  dan mengisi pengajian-pengajian di ranting.

Demikianlah jalan dakwah ayah, penggerak Muhammadiyah dari kampung. Dalam resonansi baru-baru ini, meminjam istilah Buya Syafii Maarif — retak tangan memang sudah ditakdirkan untuk berbuat yang terbaik– begitu pula retak tangan ayah, jalan kebaikan di ranah dakwah persyarikatan berkemajuan.

Alhasil, Muhammadiyah telah mewarnai pemikiran dan jalan hidup ini semenjak kecil. Organisasi dakwah dan pendidikan yang secara konsisten memilih jalan untuk mencerdaskan umat sebagai sarat utama sebuah kemajuan. Teruslah menjadi sinar yang akan menerangi jalan kebaikan untuk bangsa ini.  Konsisten meluruskan dan memberi petunjuk jalan kepada setiap pemimpin agar tetap berada pada cita-cita luhur bangsa.

Kata Prof Haedar Nashir, Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang berdiri sebelum Republik Indonesia merdeka, sesuai Kepribadiannya senantiasa bekerjasama dengan semua kalangan “dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai Masyarakat Utama, adil, dan makmur yang diridai Allah SWT. Selamat Milad Muhammadiyah ke-108. Salam Anak Kampung.

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Pemerhati Politik
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.