Sabtu, April 20, 2024

ASN Zaman Now: Malas dan Korupsi?

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Selama mengikuti Latihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) beberapa waktu lalu, saya selalu mendengar dengungan yang berulang dan agaknya penuh semangat dari widyaiswara: Aparatur Sipil Negara (ASN) Zaman Now. Arti ASN zaman now tentu bukan soal masa. ASN Zaman Now mempunyai jabaran teknis yang mengikuti, serupa melek teknologi, up to date, gigih, dan, ini yang paling mencengangkan: antikorupsi. Mengapa mencengangkan?

Sederhana saja: sebab dari dulu, arti PNS itu adalah dilayani. PNS itu raja. PNS itu surga. Karena itu, PNS itu sangat dekat dengan kemalasan dan korupsi.

Sudahlah, selama ini, bukan rahasia umum lagi bahwa PNS itu lebih pada mesin penjarah masyarakat daripada insan pelayan. Semua tahu bahwa pelayanan PNS itu lelet, berliku, dan benar-benar tiada keikhlasan. Narasi pelayanan PNS itu pun bisa diringkas begini: ada uang, maka ada barang.

Semua PNS rata-rata begitu, termasuk yang bekerja di dinas pendidikan. Maka, tak mustahil jika kita melihat data bahwa salah satu instansi paling korup adalah ranah pendidikan. Ini menjadi ironi sekaligus tragedi luar biasa.

Bagaimana tidak? Pendidikan yang semestinya menjadi pundak yang kukuh untuk memikul moral bangsa ini malah berubah menjadi sumur kebejatan. Dulu, dana pendidikan kita sangat minim. Namun, sadar bahwa pendidikan menjadi segalanya, negara kita menaikkan pagu anggaran pendidikan. Celakanya, pagu anggaran untuk dana pendidikan menjadi proyek oknum-oknum nakal. Padahal, seperti disinggung di awal, penaikan pagu anggaran ini sejatinya sebuah ikhtiar agar bangsa ini berjalan pada rel tujuannya.

Titik Simpul

Penaikan pagu anggaran ini sebuah titik simpul bahwa pendidikan merupakan kendaraan ulung untuk menggapai impian. Maka, jangan terkejut, meski ekonomi dunia sempat guncang pada 2001 lampau, Indonesia dengan berani mengalokasikan dana pendidikannya sebesar 20% dari total APBN/APBD adalah semata karena ikhtiar di atas.

Ini ikhtiar luar biasa. Pasalanya, ketika ekonomi guncang, banyak negara mengetatkan ikat pinggang. Dalam laporang Unicef (2002), misalnya, disebutkan bahwa AS, Rusia, dan Cina hanya mengalokasikan 2% anggarannya untuk pendidikan. Pakistan bahkan hanya 1 %.

Keberanian Indonesia mengalokasikan pagu anggaran yang besar ini meneguhkan bahwa bagi kita, pendidikan adalah kunci. Sayangnya, pemanfaatan pagu anggaran ini tidak atau katakanlah belum maksimal. Perunt­ukannya pun lebih pada pengembangan “kemewahan”, bukan pengembangan kualitas. Kita memang pernah semacam mengalami demam membangun infrastruktur pendidikan, bahkan sampai saat ini. Banyak gedung sekolah sudah didirikan. Banyak pula sekolah yang dulu megah kini semakin megah.

Tetapi, pembangunan infrastruktur ini berhenti pada membangun sekolah. Kita lupa membangun basis pendidikan. Hasilnya, kita hanya mewah dari segi gedung, tetapi miskin dari segi produk. Yang lebih memprihatinkan, pagu anggaran yang besar ini ternyata menjadi lahan basah bagi para elite. Sekolah menjadi sapi perahan. Kita tentu belum lupa bagaimana korupsi dalam bidang pendidikan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono sangat tinggi. Tradisi ini (maaf, kalau saya menyebutnya tradisi) juga berlanjut pada masa Joko Widodo.

Terbukti, setelah Jokowi meniatkan memberantas pungutan liar, ramai-ramai diberitakan bahwa ranah pendidikan ternyata menempati peringkat paling buruk dalam urusan pungli. Artinya apa? Ternyata pendidikan kita sangat buruk. Padahal, seperti disebutkan di awal, pendidikan adalah kendaraan untuk mengantar bangsa ini ke rumah impiannya. Pertanyaannya, siapa yang melanjutkan dan mengawetkan tradisi buruk ini? Sudahlah, mari berterus terang. Mereka itu adalah oknum-oknum di PNS. Praktiknya demikian brutal.

Di dinas pendidikan, misalnya, rekan-rekan guru acap mengeluhkan bagaimana pelayanan dinas pendidikan tidak ramah. Guru sibuk memberkasi administrasi untuk kenaikan pangkat sehingga tak fokus untuk mendidik dan mengajar. Berkas itu harus dilengkapi lagi dengan amplop. Tragisnya, tak jarang rekan guru, meski sudah dilengkapi dengan amplop, mengeluhkan bahwa berkas itu malah hilang tanpa kejelasan. Tradisi ini harus kita sadari sudah sedemikian banal di dinas pendidikan. Sungguh menggetirkan.

Betapa tidak, bagaimana mungkin guru bisa maksimal memberi teladan antikorupsi jika dalam pemberkasan mereka ditikung di sana-sini? Dalam pada inilah saya pikir Jokowi harus lebih ketat lagi mengurusi kebusukan demi kebusukan ini. Catat, membereskan korupsi di Indonesia ini sebenarnya amat gampang. Cukup dengan merevolusi mental para oknum PNS yang sering berjualan tanda tangan dan kuasa. Selekas itu, langkah lanjutan adalah membuat sistem yang lebih transparan, seperti dalam bentuk digitalisasi.

Digitalisasi tak menjadi jawaban atas segalanya. Namun, percayalah, digitalisasi sudah banyak menggerus budaya busuk. Perekrutan CPNS tahun ini adalah salah satu bukti bahwa digitalisasi bisa meminimalisasi korupsi. Dengan digitalisasi, tidak ada lagi jual beli kursi PNS.

Karena itulah, widyaiswara selalu mengingatkan CPNS teranyar: kalian harus berubah dan berbeda. Kalian harus membuat bangsa ini semakin maju. Apalagi, konon, kalian adalah ASN milenial, bukan kolonial. Sampai di titik ini, masa depan PNS di negeri ini terlihat cerah.

Segera Diubah

Masalahnya kemudian adalah, bagaimana CPNS teranyar akan berubah jika sistem masih busuk dan buruk, belum lagi oknum PNS yang dulu masih berada pada pos-pos penting? Saya tak sedang pesimis. Saya tahu, beberapa teman PNS demikian bersahaja dan bersemangat untuk tidak korupsi. Namun, semangat saja tak menuntaskan apa-apa. Perlu transparansi sistem yang lebih akuntabel. Perlu perhatian penuh dari rezim agar PNS tidak menjadi duri dalam daging. PNS harus menjadi jawaban atas segala permsalahan di negara ini.

Saya tak sedang mengatakan bahwa semua PNS menjadi biang kerok muramnya bangsa ini. Tidak semua PNS buruk. Namun, sebagian besar dari mereka teramat busuk dan korup. Tidak saja korup secara uang, tetapi juga secara kinerja dan waktu. Ilustrasinya begini: para abdi negara kita datang ke lokasi pukul 08.00. Setelah itu, mengopi dan sarapan di kantin hingga dua jam. Pukul 10.00, mereka datang ke kantor sambil mengoperasikan laptop dan mencari atau bahkan men-download game. Ada tamu dilayani begitu saja. Pukul 12.00, mereka istirahat. Rakyat pun telantar.

Budaya ini harus segera diubah. ASN yang baru saja direkrut memberi peluang atas perubahan itu. Apalagi kemudian ASN rekurutan teranyar tak mengandalkan transaksi jual beli kursi. Hanya saja, tantangan ASN zaman now tetap banyak. Sistem kita masih buruk. Oknum-oknum PNS nakal juga masih menempati pos-pos penting.

Semoga pada periode kedua ini Pak Jokowi mengutamakan transparansi dan akuntabilitias pelayanan publik, terutaman di dinas pendidikan. Dengan begitu, ASN rekrutan teranyar akan melayani sepenuh hati: cepat dan tepat.

Bacaan terkait

Mengapa Sebagian PNS Membenci Jokowi?

Tentang Jimat CPNS

Move On dari PNS!

Jual Beli Jabatan dan Imbasnya Pada Pelayanan Publik

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.