Sabtu, Oktober 5, 2024

Apalah Arti Kedewasaan Itu…

Moch Aldy MA
Moch Aldy MA
Pengarang, Pendiri Gudang Perspektif, Editor-Ilustrator Omong-Omong Media, dan Editor Buku-Translator OM Institute.

Gone now are the old times

Forgotten, time to hold on the railing

The Rubix cube isn’t solving for us

Old friends, long forgotten

The old ways at the bottom

Of the ocean now has swallowed

The only thing that’s left

Is us, so pardon the silence

That you’re hearing is turning

Into a deafening, painful, shameful roar”

—Ode to the Mets – The Strokes (The New Abnormal, 2020)

Yang kulakukan setiap malam, dalam tiga bulan terakhir ini, adalah merenung sambil memutar lagu-lagu The Strokes album “The New Abnormal”. Dari The Adults Are Talking sampai Ode to the Mets—dengan spiker bluetooth.

Dalam momen perenungan itu, khususnya ketika lagu Ode to the Mets diputar, pikiranku seolah-olah dibawa pada praduga bahwa masa dewasa dipenuhi oleh sesuatu yang kita cintai tanpa syarat, tetapi kenyataannya sesuatu itu terus menerus mengecewakan kita. Katakanlah pasangan, teman, keluarga, pekerjaan, klub sepakbola, hingga pemerintah.

Aku seperti merasakan ada semacam “keminoran yang mayor” perihal kedewasaan dalam lagu yang dinyanyikan Julian Casablancas ini. Sang vokalis, seakan-akan ingin mengatakan dengan mata sayu bahwa seperti biasa, dalam masa dewasa, kita akan mengalami kekecewaan-kekecewaan yang luar biasa. Tapi seberat apapun itu, kelak pagi akan datang kembali. Dan kita akan menyadari, tak ada kekecewaan-kekecewaan yang bertahan lama. Sebab waktu berjalan kontinu, dan pada gilirannya, semua akan habis dimakan lupa.

Berbicara tentang ‘masa dewasa’ ataupun ‘kedewasaan’, sejujurnya, aku sama sekali tak benar-benar memahami apa arti dari kata ‘dewasa’—apalagi ‘kedewasaan’. Aku bahkan tak tahu apakah aku “sudah dewasa” atau belum. Dengan kata lain, aku tak tahu ‘kedewasaan’ itu seperti apa dan bagaimana bentuknya.

Kalau boleh sok tahu perihal bagaimana rasa kedewasaan, maka mungkin rasanya seperti memainkan gim petualangan-open-world di mana kita secara tak sadar telah men-skip tutorial dan kita hanya berlari-lari tak tentu arah—tanpa tahu bagaimana cara memenangkan permainannya; atau sekadar menyelesaikan misi-misinya.

Sialnya, ‘kedewasaan’ bukan makhluk yang biasanya punya satu mulut dan dua telinga, sehingga dengan atribut fisikal semacam itu ia menjadi mungkin untuk kuajak bicara dan kuminta untuk menjelaskan siapakah dirinya.

Ketika kutanya beberapa kawan yang telanjur kupercaya bahwa mereka “sudah dewasa” dan tahu apa ‘kedewasaan’ itu—atau minimal kenal dengan ‘kedewasaan’—jawaban mereka secara garis besar pun nyaris serupa: persis tokoh-tokoh kartun yang dulu kubenci, tetapi kini sedikit bisa kupahami. Katakanlah, Squidward Tentacles (tokoh paling menyebalkan dalam serial SpongeBob SquarePants).

Karena tak puas, hal yang kulakukan selanjutnya adalah membuka kamus. Aku menemukan ada beberapa makna tentang ‘kedewasaan’. Salah satunya, ‘matang’. Tapi ‘matang’ itu apa? Dan, misalkan kita sepakat bahwa ‘matang’ itu adalah soal ‘kesiapan’, maka akan lahir pertanyaan lanjutan—’siap’ untuk apa? Apakah siap untuk menjadi budak korporat yang mekanis dan ignorant-bastard bagai filsuf Stoik? Ataukah siap untuk menelan kenyataan pahit, misalnya, bahwa tidak akan ada seseorang dari antah berantah—yang secara magis—membantu membayarkan tagihan listrik, mengobati lapar yang tidak bisa ditawar, dan menyelesaikan masalah-masalah struktural yang kompleks dalam hidup kita?

Ini mungkin akan terdengar tolol, tapi satu-satunya yang terlintas di benakku ketika mendengar kata ‘matang’ dan ‘siap’ adalah buah-buahan. Masalahnya adalah mengapa kita cenderung mengibaratkan proses kedewasaan macam buah-buahan yang matang pada pohonnya—sesuai waktunya.

Kita seakan-akan mengabaikan sesuatu yang berada di luar kendali kita. Sebut saja pola pengasuhan orang tua dan tekanan dari lingkungan sekitar. Dengan kata lain, serasa menutup mata, bahwa banyak dari kita yang dipaksa dewasa oleh keadaan—oleh kenyataan.

Barangkali kita harus mulai mengakui, bahwa banyak dari kita didewasakan dengan berita-berita tentang Gen Z dan Millenials yang hampir mustahil untuk membeli rumah tanpa skema KPR bertenor separuh usia hayat dikandung badan. Menangisi harga properti yang kian tak masuk akal. Atau sekadar mengumpati hari senin pagi. Atau memusingkan tidak seimbangnya biaya hidup dengan penghasilan yang didapatkan. Dan mengamini bahwa solusi kapitalistik untuk memenuhi kebutuhan dasar hanyalah hustle culture (baca: kerja lembur bagai kuda; mengambil side jobs) ditambah frugal living (baca: hidup ugal-ugalan; puasa senin-kamis; melarat dengan gaya).

Banyak dari kita juga mengukir makna kedewasaan sebagai tulang punggung kedua—atau bahkan tulang punggung utama. Yang sedini mungkin membanting tulangnya demi membiayai pendidikan adik-adiknya atau membikin dapur ibu tetap ngebul, misalnya. Sebab mereka, termasuk ke dalam Generasi Sandwich.

Tentu, dengan perspektif semacam ini, proses kedewasaan lebih terdengar serupa pisang belum matang yang diberi karbit, bukan?

Tapi mungkin begitulah realitas bekerja. Kejam dan tak berperasaan. Menyoal anggapan terhadap kemungkinan realitas yang seram semacam ini, aku sedikit banyak bersepakat dengan kutipan Anaïs Nin, esais Prancis-Amerika, dalam buku Incest: From “A Journal of Love”: The Unexpurgated Diary of Anaïs Nin, 1932-1934 (1992), dia menulis: “Realitas tidak membuatku terkesan. Aku hanya percaya pada kemabukan, pada ekstasi, dan ketika kehidupan biasa membelengguku, aku melarikan diri, dengan satu atau lain cara.”

Dan begitulah, yang kulakukan setelah menemukan jalan buntu ketika merenungi makna kedewasaan dan hidup yang kian redup: mengubur ke-sober-an dengan ke-hangover-an, dengan bantuan botol-botol alkohol. Setelah sisa mabuk semalam hampir habis, aku teringat sesuatu. Sekira tiga belas tahun lalu, aku melewati sekumpulan pemabuk dan berpikir betapa sampahnya mereka. Kemarin, aku mabuk di depan rumahku, seorang bocah melewatiku, dan mungkin berpikir hal yang sama denganku dulu.

Sesekali, seorang bocah dalam diriku seakan kecewa, mengapa masa dewasa nampak begitu repetitif dan depresif? Kalau tidak begini-begini saja, ya begitu-begitu saja. Tak ada yang benar-benar seru dan mengejutkan. Mengapa masa dewasa sebegitu redundan kebosanannya.

Tak seperti novel-novel romantik di mana mukjizat dan keajaiban selalu terjadi. Tak ada goblin atau barbarian buruk rupa yang harus dilawan dan dikalahkan. Tak ada pedang atau kapak yang bisa kutempa di pandai besi. Tak ada tuan putri di atas menara tinggi untuk kubebaskan dari cengkeraman naga yang mulutnya menyemburkan api. Yang ada cuma pertarungan sunyi melawan sakit maag, asam urat, insomnia, dan nyeri punggung yang abadi.

Pada akhirnya, kalau boleh lebih sok tahu, ‘kedewasaan’ mungkin adalah menyadari bahwa dunia cukup disesaki orang-orang yang saling menasihati-memotivasi—meskipun mereka besar kemungkinan sama-sama stres-pusing dan pengin teriak, “***j**ggggg!”

Maka, setiap kali dadaku terasa tiba-tiba nyeri, aku bergumam, mungkin inilah waktunya… dan kembali memutar lagu-lagu The Strokes.

“…Stockholders

Same shit, a different lie

I’ll get it right sometime

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

…”

—The Adult Are Talking – The Strokes (The New Abnormal, 2020)

Moch Aldy MA
Moch Aldy MA
Pengarang, Pendiri Gudang Perspektif, Editor-Ilustrator Omong-Omong Media, dan Editor Buku-Translator OM Institute.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.