Kamis, April 18, 2024

Apakah Celana “Cingkrang” Identik Teroris?

Muhammad As'ad
Muhammad As'ad
Dosen di Universitas Hasyim Asy'ari, Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Kamis lalu (10/10) seluruh media mewartakan peristiwa penusukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di Pandeglang, Banten, yang akhirnya diketahui diduga dilakukan oleh jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi. Ketika beredar foto pelaku di lini masa media sosial, banyak teman saya mengomentari foto pelaku dengan mengatakan: “Pantas radikal, orangnya saja pake celana cingkrang, berjenggot dan tidak berkumis.”

Menghubungkan celana cingkrang dengan radikalisme mulai sering kita dengar akhir-akhir ini. Selain karena kejadian penusukan Kamis itu, penyebutan ini juga muncul di medsos ketika berbagai pihak menuduh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai disusupi kelompok radikal dengan menyebutnya sebagai kelompok Taliban. Pembuktian ini di antaranya dengan mengatakan bahwa banyak pegawai KPK saat ini memakai celana cingkrang dan berjenggot.

Anatomi Kelompok ‘Celana Cingkrang’

Mengaitkan celana cingkrang dengan radikalisme atau terorisme tidak sepenuhnya benar, tetapi juga tidak sepenuhnya salah. Sekelompok orang yang meyakini bahwa menggunakan celana harus di atas mata kaki atau cingkrang (tidak isbal), memelihara jenggot dan memotong kumis dinamakan sebagai Salafi.

Kelompok ini meyakini bahwa beragama itu harus mengikuti anjuran Rasulullah Saw dan tiga generasi awal umat Islam. Tiga generasi ini adalah Sahabat Nabi, Tabi’in (murid sahabat Nabi) dan Tabi’ut Tabi’in (pengikut Tabi’in). Generasi ini disebut sebagai Salafus Shalih dan dianggap sebagai generasi terbaik umat Islam.

Bagi kelompok yang menamakan dirinya Salafi, mereka harus mengikuti apa pun perintah dan anjuran Rasul serta apa-apa yang dilakukan dan disepakati oleh tiga generasi umat Islam ini. Di luar dari anjuran ini dianggap sebagai penyimpangan (bid’ah). Memakai celana cingkrang dan dua ciri khas yang disebut di atas, menurut kepercayaan Salafi, adalah anjuran Salafus Shalih dan wajib ditegakkan.

Karena itu, kelompok ini cukup ketat dalam menerapkan aturan beragama dan sering kali berhadapan dengan kelompok Islam yang cukup toleran dengan tradisi dan budaya lokal, yang membolehkan praktik tradisi tersebut asalkan tidak bertentangan dengan Qur’ān dan Hadits.

Menjadi seorang Muslim dan menganut paham Salafi adalah pilihan setiap individu, dan sah dalam negara yang menganut kebebasan beragama. Akan tetapi masalahnya tidak semudah itu. Dalam perjalanannya, kelompok Salafi ini punya banyak varian. Mereka bukan satu entitas tunggal, tetapi terpecah menjadi beberapa golongan, yang di antaranya mengarah ke tindakkan radikalisme dan terorisme.

Tulisan Quintan Wiktorowics yang berjudul Anatomy of the Salafi Movement (2006) bisa membantu kita untuk memetakan mana kelompok Salafi yang harus diwaspadai, yang mengarah ke terorisme dan mana yang cukup moderat. Dalam tulisan tersebut, Wiktorowics membagi kelompok Salafi menjadi tiga golongan: Puris, Politico, dan Jihadis.

Salafi Puris adalah kelompok Salafi yang fokus pada kegiatan dakwah, antikekerasan dan menghindari politik. Termasuk dalam ciri Salafi Puris adalah mereka loyal kepada negara, dan tidak akan melakukan kegiatan subversif melawan negara. Di Indonesia, beberapa pendakwah terkenal bisa kita kelompok dalam varian ini seperti Ustaz Khalid Bassalamah, Ustaz Syafig Bassalamah, dan Ustaz Firanda Andirja. Semuanya fokus pada kegiatan dakwah, melarang hiruk pikuk kegiatan politik bahkan mengharamkan demonstrasi.

Varian kedua adalah Salafi Politico yang fokus pada dakwah melalui jalur politik. Kelompok ini menganggap dakwah normatif saja tidak cukup, harus juga dibumikan juga melalui perjuangan politik. Bagi mereka, arena politik menjadi penting karena akan mengubah peta sosial masyarakat secara drastis karena ajaran Islam bisa dibumikan melalui hukum positif satu negara.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan pemerintah adalah salah contoh dari Salafi Politico ini. Mereka berani berdemonstrasi, mengecam dan melawan apa pun keputusan pemerintah yang mereka anggap mencederai atau tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Yang paling radikal dari dua varian di atas adalah Salafi Jihadis. Kelompok ini secara terang benderang menggunakan cara-cara kekerasan dan “revolusioner”. Jihadis meyakini konsep takfiri di mana Muslim yang tidak taat kepada aturan agama dianggap sebagai kafir. Mereka juga meyakini bahwa pemimpin negara yang tidak menegakkan hukum Islam adalah kafir dan wajib diperangi.

Dalam konteks negara kita, beberapa kelompok bisa kita kategorikan dalam varian ini. Salah satunya kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) yang mendalangi beberapa peristiwa bom bunuh di  tahun 2002 dan 2005. Demikian juga JAD yang merupakan kelanjutan dari JI dan telah bersumpah setia kepada ISIS. Mereka berada di balik peristiwa bom Surabaya Mei tahun lalu, dan disinyalir berada di balik penusukan pisau ke Menteri Wiranto.

Secara teologis, ketiga kelompok ini mempunyai pendapat yang sama bahwa mereka mengikuti Islam sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Salafus Shalih. Yang membedakan adalah penafsiran bagaimana mereka membumikan ajaran tersebut. Ada yang dakwah secara damai seperti Salafi Puris. Menggunakan instrumen politik seperti Salafi Politico, dan menggunakan kekerasan sampai bom bunuh diri seperti Salafi Jihadis.

Karena mempunyai perbedaan, di antara mereka seringkali saling menyalahkan. Namun, karena juga punya persamaan, disinyalir juga (terutama di tataran para pengikutnya) mereka bisa saja menyeberang dari varian yang satu ke varian yang lainnya.

Mewaspadai Salafi Politico dan Jihadis

Apa yang kita bisa pelajari dari 3 varian di atas dan kejadian penusukan atas Menteri Wiranto? Secara umum bisa kita katakan, tidak semua varian dari kelompok Salafi bisa kita tuduh sebagai radikal dalam kaitannya dengan tindak kejahatan terorisme. Sebagai negara hukum dan menghormati hak warga negara, penyampaian dakwah secara damai dan tidak mengganggu kelompok lain harus kita hormati. Tidak hanya kepada kelompok Salafi Puris. Kepada siapa pun dan agama apa pun, asalkan mereka mendukung perdamaian dan menghormati pemeluk agama atau kepercayaan lain, maka layak kita hormati.

Apalagi jika kelompok tersebut loyal serta patuh terhadap konstitusi dan aturan perundang-undangan yang ada di negara kita, maka kita tidak punya alasan untuk melabeli mereka sebagai kelompok radikal bahkan Taliban hanya karena kita mempunyai perbedaan pendapat pada keyakinan kelompok tersebut.

Yang harus kita waspadai adalah ajaran Salafi Politico dan Jihadis yang berpotensi pada kegiatan subversif, melawan pemerintah yang sah tanpa melalui proses politik yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini paham seperti HTI dan JAD yang harus kita cermati. Terutama di antara keluarga dan tetangga kita. Jangan sampai kita kecolongan sehingga di antara kita terdapat satu dua orang yang melakukan aktivitas terselubung hingga mengakibatkan korban luka atau bahkan nyawa yang tidak hanya merugikan kita secara pribadi, tetapi juga mempertaruhkan masa depan negara kita.

Jangan sampai NKRI, dari negara damai dan plural dengan banyak agama dan kepercayaan, menjadi negara yang hanya dominan pada satu kepercayaan, dan mempersekusi orang lain dengan keyakinan berbeda.

Bacaan terkait

Menolak Lupa Aman Abdurrahman, Sang Ideolog Jihadis

Memahami Kebangkitan Salafisme Jihadis

ISIS dan Monopoli Narasi Jihadis Salafi di Suriah

Menteri Lukman dan Politik Takfir

Di Balik Meme Celana Cingkrang

Muhammad As'ad
Muhammad As'ad
Dosen di Universitas Hasyim Asy'ari, Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.