Jumat, April 26, 2024

Apa yang Film Bumi Manusia Suguhkan untuk Generasi Milenial?

Adi Osman
Adi Osman
Penulis tinggal di Padang, Sumatra Barat. Bergiat bersama Lab Pauh 9, sebuah ruang studi sastra dan humaniora.

Adaptasi novel menjadi film menuntut sineas untuk memilah, mereduksi, menghapus, menambah, dan memfokuskan plot, karakter, maupun tema yang penting bagi sineas untuk ditampilkan ke film.

Perbedaan antara kedua medium menjadi salah satu perhitungan sineas, sebab ia mesti mentransformasi narasi menjadi aksi. Selain itu, ada beberapa faktor selain medium (form), seperti ideologi sineas, segmen penonton yang dituju, mencari laba, mempopulerkan kembali novelnya dan lain-lain (Linda Hutcheon, Theory of Adaptation, 2006).

Hanung Bramantyo, sutradara film Bumi Manusia (2019), dalam berita “Hanung: ‘Bumi Manusia’ Itu Soal Cinta Minke dan Annelies” (CNNIndonesia.com, 28 Mei 2018) menyatakan bahwa lewat adaptasi Bumi Manusia ia ingin memperkenalkan novel Pramoedya Ananta Toer kepada generasi hari ini.

Dengan pernyataan itu kita bisa menyimpulkan bahwa konteks yang mempengaruhi proses adaptasi yang dilakukan oleh Hanung ditujukan terutama bagi penonton generasi milenial. Bagaimana film ini mengadaptasi novel Bumi Manusia sehingga mengikat penonton tersebut? Bagaimana selera milenial didefinisikan lewat itu?

Poin utama yang difokuskan oleh film Bumi Manusia ialah kisah cinta Minke dan Annelies. Sebenarnya hal ini terlihat kentara sekali dan juga diakui oleh sineasnya. Akan tetapi, ada perbedaan signifikan dalam memfokuskan hal ini. Kondisi stabil akan Minke terlihat pada awal film, yaitu ketika Minke mengagumi Ratu Belanda, lalu Robert Surhoof menantangnya untuk menghadapi “perempuan yang sebenarnya”.

Sementara itu, kondisi tidak stabil muncul ketika Minke berada di rumah Nyai Ontosoroh menyangkut hubungannya dengan Annelies, Robert Mellema, dan Nyai Ontosoroh. Lewat ketidakstabilan ini mulai muncul diskriminasi terhadap pribumi, posisi Eropa, Indo, dan pribumi. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa permasalahan yang menjadi penggerak cerita pada awal ialah masalah cinta.

Adapun spektakel terkait dengan diskriminasi terhadap pribumi lewat adegan Minke dan Robert Surhoof yang dilarang masuk ke kafe khusus Eropa, dan adegan kekerasan terhadap Nyai yang dilihat Minke saat perjalanannya ke rumah Nyai Ontosoroh merupakan spektakel untuk menyokong kecemasan Minke nantinya saat berhadapan dengan Robert Mellema dan Nyai Ontosoroh. Dua spektakel ini tidak ada dalam novel.

Yang ditekankan dalam novel pada bagian awal ialah kekaguman Minke terhadap bangsa Eropa dengan modernitas dan rasionalitasnya dan sikap Minke memposisikan kebudayaan Jawanya sebagai kebudayaan yang tertinggal.

Pandangan seperti itu lebih tegas diungkapkan Robert Surhoof. Sebagai Indo, ia bahkan telah terinstitusi oleh pandangan kolonial tersebut. Artinya, kondisi kestabilan pertama cerita dalam novel ialah Minke dengan kekagumannya terhadap Eropa. Kestabilan ini mulai goyah ketika ia bertemu dengan keluarga Nyai Ontosoroh, antara lain, masalah hubungannya dengan Annelies dan perselisihannya dengan duo Robert.

Pilihan sineas untuk menekankan masalah cinta dalam novel ke film adaptasi menjadi cara untuk menyesuaikan cerita Bumi Manusia untuk penonton generasi milenial. Barangkali hal itu menjadi jalan masuk menuju masalah-masalah kompleks lainnya yang terkait, seperti diskriminasi dan irasionalitas pada rasionalitas modern. Selain itu, masalah modernitas dan rasionalitas yang ditekankan pada awal novel mungkin dianggap hal yang berat untuk remaja milenial sehingga fokus cerita dialihkan ke kisah cinta.

Selanjutnya mengenai pemilihan pemeran Minke sebagai pengikat remaja milenial. Berkat film Dilan 1990 (2018), Iqbal Ramadhan menjadi malaikat jagat raya media sosial, terutama bagi remaja. kepopuleran Iqbal di mata remaja mempunyai potensi jika ditampilkan kembali dalam sebuah film karena penggemarnya akan tertarik untuk menontonnya dalam film lain.

Film mengeksplorasi sosok dan kepopuleran Iqbal melalui visual untuk memenuhi hasrat penonton remaja untuk melihat dan menikmati gambar Iqbal, apalagi Minke yang diperankan Iqbal merupakan tokoh utama dalam cerita Bumi Manusia yang membuat Iqbal mesti disorot terus-menerus.

Pada film ini, Minke sangat sering dihadirkan lewat bidikan dekat (close up) atau medium. Bidikan secara dekat dan medium pada Minke membuat penonton dapat melihat dan menyimak Iqbal dari dekat, apalagi lewat layar bioskop yang besar. Remaja milenial akan tahan di bangku bioskop itu selama tiga jam untuk memperhatikan detail wajah Iqbal.

Sesungguhnya penyampaian informasi pada film Bumi Manusia didominasi oleh dialog para tokoh dengan bidikan dekat dan serta suara latar. Selain menyorot tokoh-tokoh utama, ada kecenderungan untuk menyorot wajah-wajah Eropa dengan bidikan dekat atau medium daripada menyorot pribumi.

Misalnya, pada adegan perayaan pernikahan Minke dan Annelies yang dirayakan dengan dua acara dan tamu yang berbeda: acara dengan orang Eropa dan acara dengan tamu pribumi secara tradisional. Pada kedua adegan ini, durasi acara dengan orang Eropa dan lebih lama daripada durasi acara bersama pribumi.

Setelah itu, baik ketika acara dengan orang Eropa maupun dengan pribumi, wajah yang lebih sering disorot dan disuguhkan dengan bidikan medium atau dekat ialah wajah-wajah Eropa. Saat pesta dengan pribumi, film lebih sering menampilkan bidikan dekat dokter keluarga Mellema yang asik bergoyang daripada pribumi di sekitarnya.

Pada pemilihan yang dilakukan ini terlihat tendensi untuk menampilkan wajah Eropa daripada wajah pribumi. Kenapa? Robert Surhoof mengatakan dengan tegas bahwa bangsa Eropa lebih tinggi derajatnya daripada bangsa pribumi sehingga yang perlu diperlihatkan lebih sering ialah yang tinggi derajatnya itu.

Kamera yang sering merekam dengan medium dan dekat enggan membidik tubuh-tubuh pribumi yang membungkuk-bungkuk. Kalau begitu, berarti sineas yang membuat film ini adalah Robert Surhoof yang memposisikan wajah-wajah Eropa lebih penting daripada wajah-wajah pribumi. Serta, sineas bernama Robert Surhoof ini menganggap target penontonya remaja milenial mempunyai kerangka pikir yang serupa dengan Robert Surhoof.

Adi Osman
Adi Osman
Penulis tinggal di Padang, Sumatra Barat. Bergiat bersama Lab Pauh 9, sebuah ruang studi sastra dan humaniora.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.