Pagi tadi seperti biasanya saya bersiap-siap akan berangkat kuliah setelah menghabiskan libur panjang saya. Tepat pukul 09.52 pagi, handphone saya berdering. Rupanya seorang teman sekelas membagikan kabar tentang pesawat Lion Air penerbangan JT610 hilang kontak dengan Air Traffic Controler (ATC). Tidak lama kemudian, beberapa teman mulai menanggapi berita tersebut dengan bercanda.
Ada pula yang merasa ngeri dengan kejadian tersebut mengingat pada bulan April 2019 nanti kami akan melakukan kunjungan ke perusahaan-perusahaan agrikultur di Malaysia dan mengharuskan kami sekelas naik pesawat. Saya membaca obrolan teman-teman saya tersebut dengan penuh rasa sedih sambil tetap meneruskan perjalanan saya ke kampus.
Sesampainya di kampus, saya mulai mendengar beberapa teman berspekulasi tentang bagaimana pesawat tersebut bisa jatuh ke dalam Tanjung Karawang. Seorang teman dengan menggebu-gebu dan tertawa mengeluarkan pernyataan bahwa ia menduga pesawat jatuh akibat kesalahan teknis atau cuaca buruk. Namun tidak satu pun dari mereka yang mengucapkan duka mendalam terhadap tragedi yang sekali lagi mencoreng kredibilitas aviasi Indonesia.
Tidak satu pun dari mereka yang mengirimkan doa tertulus mereka untuk korban dan keluarga yang ditinggalkan. Mereka sibuk berspekulasi. Kejadian yang saya alami pagi ini membuka pikiran saya bahwa tidak semua orang mampu bersimpati atas tragedi yang sedang terjadi. Mereka sibuk berspekulasi sampai lupa bahwa keluarga korban lebih butuh informasi dan kejelasan akan kondisi keluarga mereka yang menjadi korban dalam kecelakaan tersebut.
Saya memiliki empat orang teman yang menjadi korban dalam kecelakaan AirAsia penerbangan QZ8501 pada 28 Desember 2014 lalu. Saya ingat betul bagaimana ibu salah satu teman saya yang menjadi korban dalam kecelakaan AirAsia QZ8501 harus menunggu berhari-hari di Crisis Center bandara Juanda hanya untuk memastikan apakah ada korban yang selamat atau tidak. Saya melihat banyak keluarga korban hanya bisa menangis dan saling menguatkan satu sama lain agar mereka setidaknya merasa sedikit lebih tenang.
Saya ingat betul bagaimana Wali Kota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini, datang ke Crisis Center untuk menenangkan keluarga-keluarga korban yang menanti kepastian. Ketika dihadapkan pada satu tragedi, hal paling utama yang harus dilakukan adalah menenangkan keluarga korban. Pendampingan psikologis bagi keluarga korban baik pada saat tragedi tersebut terjadi sampai pada masa pemulihan sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua. Trauma yang timbul akibat sebuah tragedi dapat membekas dalam benak keluarga korban.
Ternyata apa yang saya dengar dari mulut teman-teman sekelas saya rupanya dengan cepat membangkitkan trauma yang selama 4 tahun ini saya berusaha pendam. Saya tidak pernah menyangka kejadian 4 tahun lalu sangat berdampak pada diri saya. Saya tidak pernah berani menggunakan pesawat terbang untuk melakukan perjalanan jarak jauh. Tahun 2016 yang lalu saya bekerja di salah satu perusahaan swasta dan mengharuskan saya untuk bepergian dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lainnya.
Saya harus minum obat penenang sebelum naik pesawat. Jika tidak, saya akan sesak nafas dan gemetaran pada saat pesawat lepas landas. Saya bahkan selalu menangis ketika orang-orang terdekat saya harus melakukan perjalanan udara, terlebih ketika mereka tidak segera memberi saya kabar sesaat pesawat mereka mendarat. Saya takut kejadian 28 Desember 2014 kembali terulang. Saya takut kehilangan mereka yang saya sayang untuk kedua kalinya dalam kecelakaan pesawat. Saya harus bolak-balik terapi psikologi untuk menyembuhkan trauma saya dan mungkin banyak dari keluarga korban juga merasakan hal yang sama dengan saya.
Selain melakukan trauma healing pasca kejadian kecelakaan pesawat, ada beberapa hal yang dapat dilakukan baik oleh masyarakat, media maupun maskapai penerbangan Misalnya bagaimana mengatur informasi publik melalui manajemen krisis. Bentuk manajemen krisis yang dapat dilakukan adalah dengan memberi informasi terus-menerus kepada keluarga korban.
Informasi sekecil apapun berkaitan dengan kecelakaan pesawat yang terjadi dapat meringankan beban keluarga korban. Jangan pernah mengeluarkan pernyataan atau harapan palsu terhadap kecelakaan tersebut. Informasi yang tidak akurat hanya akan menambah kesedihan keluarga korban. Berikan pelayanan seperti Crisis Center dan nomor darurat yang dapat dihubungi oleh keluarga korban untuk penyebaran informasi berkaitan dengan kecelakaan.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah membuat keluarga korban tenang. Pada saat krisis, keluarga korban sangat membutuhkan pihak-pihak yang dapat dipercaya untuk mengumpulkan informasi seakurat mungkin tentang keadaan terkini dari kecelakaan tersebut. Pada saat kecelakaan AirAsia QZ8501 saya mendampingi keluarga teman-teman saya yang menjadi korban.
Saya berusaha untuk mengumpulkan informasi sekecil apapun dan memberi pendampingan psikologis terutama ketika memberikan kabar bahwa memang benar teman-teman saya tersebut meninggal dalam kecelakaan tersebut. Menjadi pendengar yang baik bagi keluarga korban juga bisa masyarakat lakukan dan jangan mengomentari apapun tentang kesedihan yang sedang mereka rasakan.
Hal penting lain yang kerap luput dari perhatian saat bencana adalah kepedulian. Media dapat membantu dalam pengumpulan informasi terkait dengan keadaan terkini dari sebuah tragedi yang nantinya dapat disalurkan kepada keluarga korban dan pihak terkait yang menangani tragedi tersebut. Hindari mempertanyakan firasat apa yang dirasakan keluarga sebelum tragedi tersebut terjadi dan juga jangan mengekspos kesedihan keluarga korban ke dalam satu tayangan televisi dan berita karena hanya akan menambah kesedihan keluarga korban.
Terakhir, yang paling penting, jangan berspekulasi dan memberikan informasi tak perlu pada keluarga korban. Misalnya kecelakaan terjadi karena pemimpin yang zalim, azab, kejadian mistis, konspirasi, atau dikaitkan dengan peristiwa politik yang ada. Melalui tulisan ini, saya mengucapkan duka yang mendalam bagi keluarga korban yang ditinggalkan. Kehilangan orang-orang yang kita cintai memang sangat menyakitkan. 4 tahun yang lalu, saya mengantar teman-teman saya ke bandara untuk melakukan perjalanan panjang yang harus berakhir di Laut Jawa dan bukannya berakhir di Singapore.