Saya sedang menonton Hobbs and Shaw ketika listrik padam kemarin, 4 Agustus 2019. Jason Statham mengendarai McLaren 720s-nya lewat kolong dua truk kontainer. Idris Elba menyusul dengan turun sebentar dari tunggangannya, Triumph Street Triple RS. Seru luar biasa. Lalu gulita.
Para penonton sabar menunggu apa yang terjadi. Tak ada teriakan. Orang-orang membuka ponselnya, mencari berita. Beberapa menit kemudian terdengar mereka bertukar informasi, seakan semua penonton adalah teman akrab. Ketika petugas memberi tahu bahwa kami bisa menukarkan kembali tiket dengan uang sepenuhnya, tampaknya semua penonton masih ingin meneruskan. Di Rotten Tomatoes, film ini memang diganjar 92% oleh penonton, jadi memang luar biasa disukai.
Ketika penonton berbaris keluar, listrik kembali menyala. Kami kembali ke dalam teater, menonton kembali dengan adegan yang dimundurkan sekitar lima menit—mulai dari interogasi Vanessa Kirby oleh Dwayne Johnson. Tetapi, akhirnya listrik mati lagi. Tak ada keluhan kepada bioskop. Para penonton menggumamkan rasa kasihan dan simpati pada bioskop. Dewasa.
Kedewasaan pula yang disaksikan oleh seorang rekan. Dia tuliskan hasil pengamatannya di WAG yang saya ikuti. Dia ber-gojek-ria dari Slipi ke Pos Pengumben, Jakarta Barat, ketika listrik padam. Apa yang dia amati, tak banyak bunyi klakson terdengar di sekitar lampu lalu lintas. “Amazing,” begitu yang dia tulis. Masyarakat mampu melakukan pengaturan diri dan hasilnya adalah ketertiban. Para pengemudi taksi dan kendaraan pribadi saling menahan diri, tidak saling menyerobot, bahkan saling mempersilakan pengguna lainnya. “Masyarakat Jakarta semakin dewasa, alhamdulillah.”
Di Koran Tempo pagi ini, saya mendapati salah satu kicauan terpilihnya adalah soal pemadaman itu. “Terima kasih PLN. Soalnya gara-gara mati lampu, gw sama temen-temen bisa ngobrol, tanpa ada yang main HP. Gak ada ribut soal casan di rumah dan gak ada yang mandinya lama.”
Begitulah. Ketika listrik melimpah dan sinyal selular kuat, kita kerap seperti tak bisa memalingkan wajah dari layar ponsel, tak bisa melihat colokan listrik yang menganggur, dan memakai kamar mandi berlama-lama lantaran tetap membawa ponsel ke dalamnya.
Ketua RT di kluster perumahan saya semalam memutuskan untuk menggelar pertemuan persiapan 17 Agustus-an. Tentu, urusan listrik jadi bahan pembicaraan sampingan. Kebetulan ada warga yang tahu banyak soal informasi terkait pasokan listrik PLN. Obrolan merembet hingga persoalan tata kelola dan masa depan ketenagalistrikan di Indonesia. Mencerahkan.
Saya sendiri melihat bahwa tidak berfungsi optimalnya jaringan selular memang membuat obrolan jadi lebih intens. Kopi Semendo yang saya bawa dari perjalanan ke Sumatera Selatan di awal minggu lalu bercampur dengan gorengan dan beberapa cemilan lain yang dibawa oleh beberapa peserta pertemuan. Semuanya sibuk menyeruput, mengunyah, dan dan urun pendapat. Gayeng, tanpa gangguan ponsel.
Menjelang pergantian hari, rapat selesai. Saya kembali ke rumah dengan seorang tetangga dan sahabat, yang adalah jurnalis ekonomi di media massa terkemuka. Obrolan tentang PLN, BUMN, dan tata kelola perusahaan secara luas berlanjut sepanjang jalan yang cuma beberapa puluh meter saja dari taman kluster. Begitu masuk ke rumah, bersiap tidur, listrik pun mati lagi.
Pagi hari, saya membuka ponsel. Jaringan selular yang saya langgani ada dua. Yang utama hidup tanpa kendala, yang lainnya tampak menyala tapi tak bisa saya pergunakan secara optimal. Dan, di ponsel saya membaca banyak sekali pembicaraan soal padamnya listrik. Berita di media massa daring juga demikian. Listrik kemudian menyala sekitar pukul 6 pagi, tetapi di WAG banyak beredar penjelasan bahwa listrik masih digilir lantaran jumlah daya yang dibutuhkan masih defisit.
Pembicaraan serius masih terus terjadi. Ada yang melontarkan kritik bahwa monopoli listrik oleh PLN-lah yang mengakibatkan ini semua. Obrolan merembet ke tidak seriusnya Pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan bauran sumber energi listrik, terutama dari sumber energi terbarukan.
Banyak yang menyatakan ingin memasang panel surya namun terkendala harga panel yang masih tinggi dan tidak menariknya harga beli listrik surya yang diatur dalam regulasi. Belum ada yang bicara soal state capture oleh mafia industri bahan bakar fosil, namun saya kira ini cuma soal waktu saja.
Mereka yang mengurusi pencemaran udara Jakarta—saya salah satu di antara 31 penggugat CLS kualitas udara Jakarta—membincangkan turunnya pencemaran udara Jakarta di pagi hari. Tumben, setelah selama berminggu-minggu Jakarta dapat rapor merah, hari ini Jakarta memulai hari dengan jadi peringkat udara yang sedang.
Tidak seperti hari-hari lalu yang menjadi peringkat pertama dalam pencemaran udara, pagi ini Jakarta ada di peringkat 22. Mutu udara Jakarta bahkan lebih bagus daripada Singapura! (Sssst, Singapura yang “naik peringkat” itu sesungguhnya lantaran kebakaran hutan di Sumatera.)
Ketika tulisan ini dibuat, Jakarta sudah kembali menempati posisi “yang seharusnya”. Sudah ada di peringkat 5 kota paling kotor udaranya. Dan, cuma terpaut 1 angka USAQI dibandingkan Kabul yang ada di peringkat 4, lalu setiap peringkat hanya terpaut 1 angka. Dubai yang ada di peringkat tertinggi skornya 156, dan Jakarta 152. Mungkin beberapa jam lagi Jakarta akan kembali memuncaki daftar yang kerap membuat para pejabat di Provinsi DKI dan di pemerintahan pusat uring-uringan itu.
Lainnya, ada pembicaraan soal sistem energi yang “…masih gini-gini aja…” dengan penjelasan klasik “…belum ada political will.” Padahal, jelas banyak sekali studi sudah dilakukan, dan rekomendasi kebijakan diberikan. Buku-buku soal ketenagalistrikan tetiba nongol di WAG mengajak kita semua untuk mendiskusikannya. The Grid karya Gretchen Bakke dan The Energy Disruption Triangle-nya David Fessler ditampilkan. Sangat mungkin diskusi soal buku-buku itu dan yang sejenisnya akan terselenggara dalam waktu dekat.
Tetapi, bukanlah orang Indonesia kalau kita tak bisa menertawakan apapun yang terjadi. Berbagai WAG yang saya ikuti disesaki hal-hal yang membuat nyengir. Ada foto seorang santri yang dikesankan sedang berdoa di depan pusara PLN, juga ada pembicaraan tentang misa arwah bagi listrik.
Ada yang “kritis” pada lambang PLN yang seperti listrik dicemplungkan ke air, juga ada yang menuliskan bahwa sepertinya PLN belum bayar listrik. Masih banyak celotehan lucu lainnya.
Favorit saya: pelesetan The Lion King terkait perbincangan antara Mufasa dan Simba di atas Pride Rock. Simba yang bertanya kepada ayahnya, “Dad, what is the dark side over there?” dijawab dengan “That is Jakarta, Simba.” Benar-benar membuat saya tersenyum lebar.
Tampaknya kita memang perlu untuk tersenyum sejenak, tak terlampau serius soal padamnya listrik PLN ini. Tetapi, setelah senyum-senyum sedikit agar ketegangan berlalu, kita semua perlu kembali memikirkan dengan serius kelindan antara keamanan energi, keadilan energi, juga soal emisi dan perubahan iklim. Ketiganya disebut The World Energy Council sebagai Trilema Energi.
Dan kita semua tahu bahwa soal emisi inilah yang paling berat diselesaikan di negeri ini lantaran cengkeraman industri energi fosil sangatlah kuat. Banyak yang tak yakin bahwa RPJMN 2020-2024 yang dinyatakan sebagai RPJMN hijau dan Low Carbon Development Initiative (LCDI) benar-benar bisa membebaskan Indonesia dari cengkeraman itu.
Depok, 5 Agustus 2019
Baca juga
Climate Change dan Energi Bersih
Penting dan Urgen: Menyehatkan Udara yang Kita Hirup