Terjadi pencampuradukan makna dan fungsi sejumlah kata “Ahlulbait”, “Dzuriyah”, “Habib”, “Sayyid”, dan “Alawi”, secara sengaja ataupun tidak sengaja, yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Hadis Tsaqalain (bahasa Arab: حديث الثقلين) adalah sebuah hadis yang sangat masyhur dan mutawatir dari Nabi Muhammad Saw. yang bersabda, “Sesungguhnya kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, Kitab Allah (Al-Qur’an) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”
Hadis ini diterima oleh seluruh kaum Muslimin, baik Syiah maupun Sunni, dan termaktub dalam kitab-kitab hadis dari kedua mazhab besar tersebut. Dalam Kamus-Kamus Abad Pertengahan, Bahasa Arab Kontemporer, Al-Ra’id, Lisan Al-Arab, Kamus Sekitarnya disebutkan bahwa “Al-Itrah” adalah keturunan.
Ahlulbait adalah sebutan khusus bagi orang-orang tertentu yang telah ditetapkan secara eksplisit berdasarkan banyak riwayat mutawatir, yang diterima seluruh umat Islam, antara lain Hadits Kisa’. Dari sini kata Ahlulbait dipastikan sebagai sebutan untuk Nabi Saw., Ali bin Abi Thalib, Fatimah serta kedua putranya, Al-Hasan dan Al-Husain.
Dzurriyah
Keturunan Nabi kerap disebut “Dzurriyah Rasul”. Kata dzurriyah berasal dari dzarrah yang bisa berarti “benih” atau “benda sangat kecil”. Dzurriyah berarti benih manusia alias keturunan. Kata ini mengandung makna general yang meliputi setiap orang yang lahir dari keturunan Nabi. Secara primer, kata dzurriyah bersifat netral tidak memuat makna penghormatan karena bisa digunakan untuk setiap keturunan. Dalam al-Qur’an kata dzurriyah digunakan dalam banyak ayat.
Habib
Kata lain yang kerap diidentikkan dengan “Ahlulbait” adalah sebutan Habib. Habib serumpun dengan Hubb, kata bahasa Arab yang bermakna “cinta”. Habib adalah kata Arab semakna dengan mahbub yang berarti “dicintai”. Pada makna primer, Tuhan adalah Yang Dicintai. Dialah Pemilik Tunggal sifat Habib. Inilah makna “Tauhid fil Mahabbah”.
Secara ontologis cinta hanyalah bermakna hubungan vertikal. Cinta dengan makna hubungan horisontal bersifat metafora dan tak sejati. Cinta vertikal bermakna kebergantungan akibat (makhluk, hamba) kepada Tuhan dan hamba-hamba suci pilihan-Nya. Cinta horisontal bermakna saling membutuhkan antar sesama makhluk. Cinta horisontal bermakna saling membutuhkan antar sesama makhluk.
Cinta vertikal dari sisi Tuhan sebagai Kausa Prima, dan entitas termulia di bawah-Nya, berupa pelimpahan cahaya dalam kewenangan mutlak. Dari sisi hamba, cinta vertikal berupa pencerapan cahaya dalam kepatuhan mutlak karena cahaya Allah hanya dipancarkan oleh cahaya terdekat.
Nabi Saw., adalah entitas termulia setelah Allah SWT. Sebagai pribadi yang memperoleh kewenangan dari Allah, ia wajib dicintai. Dialah habib kedua (dalam makna vertikal) setelah Allah SWT sekaligus habib pertama di antara semua hamba-Nya. Pemilik berikutnya hak dipatuhi dan dicintai adalah manusia-manusia suci yang ditetapkan sebagai pengawal ajarannya.
Dengan kata lain, habib adalah predikat dzati (li nafsihi) bagi Allah, dan predikat arazhi (li ghairihi) bagi Nabi Saw., kemudian bagi orang-orang suci secara gradual yang ditetapkan oleh Nabi sebagai pemegang kewenangan vertikal. Pemegang wewenang adalah panutan yang dicintai karena wajib dipatuhi.
Nab Saw. sang habib utama adalah album semua budi pekerti. Dia bukan hanya tak suka disanjung, tapi selalu tenggang rasa dan rendah hati. “Hai orang-orang beriman, jika kau diundang (Nabi), masuklah. Dan setelah makan, pulanglah tanpa asyik memperpanjang obrolan. (Karena) sesungguhnya itu merepotkan Nabi, tapi ia malu (menyuruhmu pulang)…” (QS 33:53).
Sedangkan orang-orang yang secara determinan terlahir dalam garis biologis yang bersambung dengan Habib Muhammad Saw. bukanlah habib sejati. Mereka adalah habib i’tibari, yang dipanggil habib bukan karena kewenangan, tapi karena “diharapkan” mengikuti jejak Nabi dan para manusia suci yang terhubung secara nasab dengannya.
Dalam tradisi umat semula predikat habib hanya disematkan pada sebagian keturunan Nabi yang dinilai berperan penting di tengah masyarakat alim, guru agama, pendakwah, pesuluk dan tokoh masyarakat, seperti Habib Husin Luar Batang, Habib Idrus Aljufri Palu dan Habib Lutfi bin Yahya. Artinya, tak semua orang yang dikenal sebagai cucu Nabi Saw. digelari dan dipanggil habib.
Dalam sejarah Indonesia sebelum dan setelah kemerdekaan banyak tokoh dzuriryah yang sukses menjaga kehormatan gelar habib dalam pandangan dan tindakan. Masyarakat mencintai mereka karena keteladanan mereka. Tapi kini ia menjadi semacam gelar massal untuk setiap Alawi sehingga kerap menimbulkan kebingungan dan kesemrawutan.
Sayyid
Serumpun dengan habib adalah gelar “sayyid”, sebuah kata yang berasal dari kata baku (mashdar) siyadah atau kata kerja lampau sada (dengan fathah dan alif setelah huruf sin), berarti “menguasai” dan “memimpin”.
Karena penghargaan abadi kepada para tokoh Ahlul-Bait itulah, setiap alawi atau yang memiliki garis keturunan yang terbukti membimbing umat juga dipanggil dengan predikat “sayyid”. Artinya, gelar ini bukanlah semata-mata penghargaan dan pemujaan simbolik, namun juga isyarat dan mekanisme alami untuk senantiasa mengingatkan mereka yang merasa berasal dari garis nasab Ahlul-Bait untuk senantiasa mewakafkan diri sebagai abdi dan pemandu umat.
Sayyid sejati sangat berjiwa rakyat, peka terhadap derita umat, dan pantang dilayani, apalagi minta disanjung. Penghormatan dan pengistimewaan umat terhadap para alawi karena kontribusi dan pengorbanan mereka demi umat.
Alawi
Kata-kata “Alawi” dan “Alawiyin” juga kerap dikaitkan dengan Ahlulbait oleh banyak orang. Kata ini adalah kata nisbah yang dikaitkan dengan nama Ali bin Abi Thalib. Seseorang disebut alawi karena lahir dari keturunan menantu Nabi itu juga sebutan bagi orang yang dikenal sebagai orang yang meyakini Ali sebagai juru bicara Nabi Saw., alias Syiah.
Kini gelar-gelar mulia itu seolah menjadi sarana meraih kekuasaan dan alat mengais harta bagi segelintir orang yang tak memenuhi syarat keteladanan dan tak punya kiprah positif di tengah masyarakat. Beberapa pemajang gelar habib bukan hanya tak layak menyandangnya, tapi juga tak layak disebut Ahlulbait dan itrah (karena itu sebutan khusus). Juga tak layak digelari sayyid dan habib karena gagal menjaga kehormatan gelar dan atribut habib, sayyid, dan dzurriyah Nabi, meski secara genetik tetaplah dzurriyah.
Apabila peran dan kontribusi nirlaba ini tidak lagi diberikannya, maka seorang Alawi tidak patut menunggu orang memanggilnya dengan “sang pemimpin” (sayyid). Artinya, ada kalanya seorang Alawi tidak menyandang predikat “Sayyid”. Banyak orang berhak dipanggil Sayyid dan Habib, namun menyembunyikannya karena menganggapnya sebagai beban moral yang berat.
Memperlakukan beberapa orang yang namanya tak tercantum sebagai anggota Ahlulbait sebagai Ahlulbait hanya karena dipanggil dengan sebutan mulia yang kerap tak harmonis dengan pandangan, pernyataan dan perilakunya mendelegitimasi posisi sakral, sentral dan ekseklusif figur-figur suci Ahlulbait yang dimuliakan oleh umat Islam dengan ragam kelompok dan alirannya generasi demi generasi sebagai teladan, model dan kader-kader utama Nabi Saw. Penghuni rumah tentulah lebih memahami isi rumahnya.
Di sisi lain, penyalahgunaan gelar dan posisi juga kegemaran pamer adalah perilaku purba sebelum kesayyidan dikenal. Perilaku negatif ini juga tak hanya terjadi dalam urusan kesayyidan. Tak sedikit Sayyid yang berperilaku rasional dan anti pamer justru mengalami diskriminasi dan perlakuan rasial yang menimbulkan trauma sekeluarga berkepanjangan. Generalisasi adalah falasi paling jorok dan membinasakan.
Gelar nasab berbeda dengan gelar pendidikan. Ia adalah sesuatu yang determinan. Ia bukanlah prestasi dan bukan pula gawang aneka cemooh berbalut kritik. Siapa pun, bergelar Sayyid, atau tak bergelar, tak perlu disanjung juga tak usah disinggung. Yang bergelar berpotensi sombong, dan tak bergelar berpeluang dengki.
Konten terkait
Habib Luthfi, Jatman, dan Narasi Kebangsaan Kita
Anies Baswedan, “Wahabib”, dan Halalbihalal yang Dipolitisasi