Amien Rais berkunjung ke KPK. “Minggir, saya mau bertemu Ketua KPK,” katanya saat tiba di gedung KPK. Yang hendak ia temui hari itu tidak mengagendakan pertemuan dengannya. Amien pulang dengan tangan hampa.
Apa pasal? Amien Rais datang untuk memprotes status pencekalan terhadap kader PAN yang juga adalah Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan. Ia menganggap KPK telah keliru menetapkan status itu. Tapi KPK santai saja. “Amien jangan intervensi proses hukum,” begitu suara dari KPK. Hasil akhir, KPK menetapkan Taufik sebagai tersangka dalam kasus suap anggaran yang melibatkan Bupati Kebumen.
Kita mengenal istilah KKN, singkatan dari Korupsi-Kolusi-Nepotisme. Istilah itu dulu dipopulerkan oleh Amien Rais, ketika ia melakukan protes keras terhadap rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Amien pernah dijuluki lokomotif reformasi yang dianggap berperan besar dalam menumbangkan kekuasaan Soeharto. Isu utama yang ia jadikan peluru adalah KKN tadi. Soeharto beserta kroninya menjalankan pemerintahan dan bisnis secara korup.
Bersama sejumlah tokoh penting pada masa itu, Amien mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MAR), yang terus menyuarakan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik. Salah satu yang diperjuangkan adalah amandemen konstitusi, yang membatasi masa jabatan presiden menjadi hanya 2 periode saja, guna mencegah kekuasaan yang terlalu lama. Kekuasaan Soeharto yang terlalu lama dianggap sebagai biang kerok perilaku korup yang dipraktekkan oleh kroni Orde Baru.
MAR kemudian berubah menjadi Partai Amanat Nasional. Partai ini ikut pemilu sejak tahun 1999. Namun hasil perolehan suaranya jauh dari harapan Amien.
Ia tadinya berharap orang-orang tak lagi memilih partai lama, khususnya Golkar. Tapi Amien kecele. Meski tidak perkasa seperti di zaman Orde Baru, Golkar masih cukup kuat, masih lebih kuat dari PAN. Mungkin untuk menutupi kekecewaannya, Amien bermanuver dengan dagangan “Poros Tengah”, menjegal Megawati agar tak jadi Presiden. Langkah kontroversial itu menyurutkan banyak dukungan kepada Amien.
Tahun 2004 Amien maju dalam pemilihan presiden yang untuk pertama kalinya dilakukan secara langsung. Ia kalah, hanya menempati urutan keempat dari 5 pasangan yang bertarung.
Setelah itu PAN hanyalah partai biasa. Dari partai nasionalis inklusif, PAN bergeser menjadi “partai Islam”. Tidak ada lagi gagasan-gagasan segar yang reformatif. Faktanya, orang-orang yang punya gagasan dan idealisme seperti Faisal Basri menjauh dari PAN.
Lebih parah lagi, kader-kader PAN mulai terbelit korupsi. Salah satu “milestone” korupsi oleh kader PAN adalah kasus Wa Ode Nurhayati. Kemudian disusul berbagai kasus yang menjerat kader lain seperti Zumi Zola, Ridwan Mukti, Nur Alam, dan kini mendekati puncaknya dengan terjeratnya tokoh penting yaitu Taufik Kurniawan.
Apa yang sedang terjadi? PAN hanyalah sebuah partai, yang sebagaimana partai lain tidak bisa menjaga dirinya dari korupsi. Politik praktis lebih dikendalikan oleh realitas ketimbang idealisme. Politik memerlukan uang untuk menggerakkan mesin politik, baik untuk kepentingan politikus secara individu maupun untuk keperluan partai. Dari mana sumber dananya kalau bukan dari anggaran pemerintah.
Pragmatisme politik menempatkan kekuasaan sebagai tujuan utama dalam berpolitik. Segala usaha dilakukan hanya demi mengejar kekuasaan. Idealisme awal pendirian PAN yang memerangi KKN tadi, yang antikorupsi, boleh dibilang sudah sirna. Sulit kita temukan politikus PAN yang bermutu dan memegang idealisme saat ini.
Bagaimana dengan Amien sendiri? Amien Rais tak berbeda polahnya dari partai yang ia dirikan. Sebelum kader-kader PAN ramai-ramai terjerat korupsi, Amien sudah terlebih dulu terciprat pesingnya korupsi. Ia pernah menerima uang hasil korupsi dari Rokhimin Duhuri, yang telah masuk bui. Hanya karena posisi politiknya masih kuat, Amien tidak ikut masuk bui.
Gertakannya kepada KPK itu menunjukkan bahwa Amien sekarang sudah berada di titik nadir dalam semangat antikorupsi. Bukan mendukung pemberantasan korupsi, ia melancarkan tuduhan seolah KPK itu lembaga zalim yang menjadikan isu korupsi sebagai alat berpolitik. Padahal sejauh ini KPK adalah lembaga yang terbaik integritasnya.
Sebelum itu Amien Rais juga sempat menebar ancaman saat hendak diperiksa dalam kasus kebohongan Ratna Sarumpaet. Amien akan mengancam hendak membongkar berbagai kasus korupsi besar kalau ia diperlakukan tidak adil. Ancaman itu menguap, karena Amien ternyata mendapat “pelayanan” baik selama diperiksa. Ia bercerita tentang jamuan sate dan tongseng kambing yang disediakan pemeriksa.
Pernyataan ancaman itu justru memercik muka Amien sendiri. Dialah yang memainkan isu-isu korupsi untuk kepentingan politik. Ini tentu jauh dari semangat antikorupsi. Secara konyol Amien sedang mendemonstrasikan bahwa ia menggunakan isu korupsi untuk membentengi dirinya dari ancaman sanksi hukum.
Bila Amien adalah sosok yang dulu mendirikan PAN dengan semangat antikorupsi, sikap yang bisa kita harapkan tentulah perombakan besar-besaran di tubuh PAN, dari sisi anggaran dasar dan struktur. Harus ada gerakan antikorupsi yang kuat untuk membersihkan PAN. Juga usaha kuat untuk menegakkan idealisme, bahwa PAN bukan sekadar kendaraan tunggangan untuk memburu kekuasaan dan uang.
Tapi kita tidak melihat itu. Yang kita saksikan adalah sosok Amien Rais yang justru sedang mencoba melawan lembaga pemberantas korupsi dengan cara yang konyol. Ini adalah sebuah tragedi.