Presiden Jokowi kembali jadi pergunjingan. Kali ini bukan karena ia langsung turun di daerah bencana, atau menyelesaikan proyek infrastruktur yang mangkrak pada era SBY, tapi karena logatnya ketika mengucapkan nama surat dalam Alquran. Ia diejek dan dirisak oleh umat yang mengaku paling beriman, karena melafalkan “Alfatiha” menjadi “Alfatekah”.
Di Facebook, saya melihat seorang paling beriman menulis bahwa bencana yang terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah karena Jokowi salah melafalkan nama surat. Ia menulis begini, (sengaja tidak saya edit):
“Pake teks aja udah salah ayooo Mana yang projo projo ini.jangan lupa baca alpateka yaaa.pantasan bencana alam terjadi di NTB dan sulteng.salah yg di baca sihh…bagaimana tidak hancur Indonesia kalo begini.malahan membawa malapetaka.”
Buset! Bagaimana mungkin kita bisa demikian picik mencurigai bahwa gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami yang terjadi di Indonesia karena pelafalan yang salah? Sejahat itukah Tuhan kita? Celaka betul. Demikian kerdilkah kita mencurigai Gusti Allah yang maha pengasih dan maha penyayang itu?
Ini adalah hal yang penting untuk kita renungkan.
Seumur hidup membaca ajaran Islam dan teks-teks kaum zuhud, saya menemukan bahwa Allah itu maha pengasih, maha penyayang; satu kebaikan kecil akan dibalas dengan kebaikan yang lebih besar; satu langkah kecil menuju Allah, Ia akan melangkah lebih banyak dengan rahmat ke arah kita.
Polarisasi politik yang ada telah menjatuhkan mutu manusia pada kualitas yang demikian menyedihkan. Sebagian umat kita dibuat mengumpat, mengutuk, dan yang paling mengerikan membawa Tuhan dalam pertikaian yang semestinya selesai dengan obrolan baik-baik.
Sampai kemudian sebagian umat menyimpulkan bahwa kesialan, tragedi, dan bencana terjadi karena Jokowi salah lafal, salah makhraj.
Untuk kesalahan teknis yang demikian kecil, mengapa kita harus menerima hukuman yang demikian berat? Mengapa Ia harus memberikan gempa dan tsunami hanya karena seorang ustadz pengumpat dipenjara? Atau karena ritual adat dilakukan di tepi pantai? Tuhan siapa yang demikian pemarah itu?
Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Sayidina Umar bin Khatab mengadukan Hisyam bin Hakim karena membacakan surat Alfurqan berbeda dari cara Nabi Muhammad. Nabi kemudian bersabda: “Sesungguhnya Alquran diturunkan dengan 7 huruf. Karena itu, bacalah dengan cara yang paling mudah bagimu.”
Apa maksudnya? Ini tergantung pada siapa anda menyandarkan tafsir. Sejauh ini ada dua pendapat besar bahwa Alquran turun dengan konteks masyarakat di mana ia berada. Tujuh huruf bisa dimaknai menjadi tujuh sinonim yang maknanya sama, meskipun dari satu bahasa. Atau tujuh huruf sebagai tujuh dialek bahasa arab.
Sampai di sini pembahasan tentang dialek semestinya bisa kita akhiri.
Sikap mencurigai Tuhan dalam permasalahan sehari-hari haruslah dihentikan. Sikap beberapa orang yang mementingkan zahir ketimbang yang batin memang sudah kebangetan.
Mengapa? Karena Allah berfirman, “Aku adalah apa yang hambaku sangkakan padaku”. Jadi, kalau kamu membayangkan Ia sebagai sosok yang gemar menghukum dan memberikan azab, demikianlah Ia; jika kamu membayangkan ia sebagai sosok yang murah hati dan penyayang, demikian pula Ia.
Kritik terhadap Jokowi semakin hari semakin menyedihkan mutunya. Kita lupa pada hal-hal esensial yang semestinya kita perhatikan. Kita lupa bahwa baru beberapa bulan yang lalu gempa Lombok terjadi, baru beberapa minggu yang lalu Tsunami Palu dan Donggala terjadi. Fokus penanganan bencana tidak hanya selesai pada pemberian bantuan, tapi juga penanganan pascabencana. Apa kamu kira orang-orang yang jadi penyintas itu tidak mengalami trauma atau kesedihan karena kehilangan keluarga? Lantas kamu bilang bencana terjadi karena Presiden salah lafal?
Kalau sekedar membaca Alquran dengan tartil dan indah, Ibnu Muljam yang membunuh Ali bin Abi Thalib juga bisa membaca dengan tartil. Kalau sekedar pelafalan, Umar bin Saad, orang yang membunuh Imam Husain, kualitas pelafalannya juga benar.
Esensi ajaran Islam terletak pada bagaimana perbuatan baik kita. Maka daripada terpaku pada tampilan, bukankah lebih baik jika kita tunjukkan keindahan Islam pada bagaimana kita memperlakukan orang lain? Daripada meributkan “Alfatekah”, mengapa kita tidak fokus membantu saudara-saudara kita korban bencana dan mendorong pemerintahan Jokowi untuk berbuat maksimal?