Bola panas isu Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya seakan tidak menemukan titik api. Saking panasnya, LHKPN dimaknai dan digiring secara luas oleh pendebat yang kontra terhadap LHKPN sebagai prasyarat menjadi capim di lembaga antirasuah.
Terkhusus statemen Wakil Kepala BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) Irjen Pol Dharma Pongrekun, yang mengatakan tidak menjadi persoalan calon pimpinan KPK dari kepolisian, karena LHKPN merupakan konsep ateis (tidak mempercayai tuhan) yang tidak ada relevansinya dengan hukum agama. Tentu pemahaman seperti itu perlu diluruskan secara teoritis dan juga yuridis, agar tidak menimbulkan salah tafsir di masyarakat.
Pertama, relevansi LHKPN dengan hukum agama. Jika ditelisik, dalam hukum agama apa pun, misalnya Islam dalam Al-Qur’an secara sederhana telah menegaskan bahwa, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36). Artinya, setiap tindakan, pendengaran, dan penglihatan manusia sebagai insan yang dilakukan di atas dunia harus dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun diakhirat kelak.
Apalagi, sebagai seorang pemimpin atau yang menjalankan negara (ulil amri), tentu lebih dituntut untuk mempertanggungjawabkan segala tindak-tanduk yang diperbuat (moril maupun materil). Setidaknya sepotong ayat Qur’an tadi mengisyaratkan bahwa hukum agama juga turut andil mengatur seluruh kompleksitas kehidupan manusia untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan, tak terkecuali melaporkan dan mempertanggungjawabkan LHKPN oleh penyelenggara negara.
Kedua, secara teoritis pelaporan terhadap harta kekayaan penyelenggara negara merupakan suatu bagian dari asset declaration. Asset declaration merupakan suatu dokumen yang wajib dimiliki oleh penyelenggara negara untuk melaporkan dan mendeklarasikan harta kekayaannya sebelum, selama, dan sesudah menjabat (mencakup pendapatan, hibah, aset, hutang, maupun piutang yang dimilikinya, sebelum, selama dan setelah memangku jabatan publik. Itu sebabnya, asset declaration ini pertama kali dikodifikasikan melalui Inter American Convention Against Corruption (IACAC) 1996. Di samping itu juga diatur melalui United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003.
Sementara itu, di negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika juga sudah mengesahkan The African Union Convention on Preventing and Combating Corruption (AUCPCC) di tahun 2003 tersebut. Artinya, di jagat internasional, asset declaration sudah tentu menjadi prima hukum internasional sekaligus konvensi ketatanegaraan di dunia yang memperlihatkan komitmen mereka untuk memberangus segala bentuk perilaku koruptif penyelenggara negara.
Dalam batas penalaran yang wajar, istilah “LHKPN” sebagai syarat mutlak dalam proses pengisian pejabat publik, yang sebagian kalangan mungkin menganggapnya “horor”, merupakan hal yang lumrah ketika calon pejabat melaporkan harta kekayaannya. Kebijakan itu sesungguhnya sebagai cermin instrumen bagi masyarakat dalam menelusuri laik atau tidaknya seorang calon tersebut mengisi jabatan strategis.
Bahkan, ada pernyataan politik menarik dari Presiden Truman pada tahun 1951 di depan Kongres Amerika Serikat ketika ada pertanyaan dari kalangan peserta kongres yang menanyakan bagaimana bentuk pembuktian dan tanggung jawab yang baik bagi seorang penyelenggara negara kepada masyarakat. Dalam orasinya, Truman menjawab, “dengan semua pertanyaan yang diajukan hari ini tentang kejujuran dan kejujuran pejabat publik, saya pikir kita semua harus siap untuk menempatkan fakta tentang pendapatan kita dalam sebuah catatan publik.”
Kutipan Truman menyadarkan kita semua bahwa betapa pentingnya penyelenggara negara pada jabatan strategis tertentu untuk selalu membuka dan melaporkan harta dan pendapatannya kepada seluruh publik sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitasnya dalam menjalankan fungsi dan kewenangan. Apalagi bagi calon pimpinan KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Karenanya, sangat disayangkan kinerja Panitia Seleksi Pimpinan KPK saat ini yang dari 40 orang capim KPK yang lolos tes psikologi, ternyata hanya ada 27 orang yang melaporkan LHKPN.
Maka, menjadi tanda tanya besar, apa alasan capim KPK yang tidak melaporkan LHKPN hingga saat ini dan panitia seleksi abai terhadap hal itu? Apakah Panitia Seleksi dan Calon Pimpinan KPK sama-sama punya itikad buruk dalam memberantas korupsi? Betapa tidak, masih tersisa 23 orang lagi yang tidak patuh dan taat hukum dalam malaporkan LHKPN.
Ketiga, dalam demarkasi hukum sudah cukup jelas mendalilkan soal kewajiban penyelenggara negara, termasuk Calon Pimpinan KPK untuk melaporkan LHKPN. Sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN: dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Nomor 28 Tahun 1999 mewajibkan penyelenggara negara untuk “bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat” serta “melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat”.
Hal senada juga dimaktubkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf (b) dan (i) UU Nomor 30 Tahun 2014 yang menjelaskan bahwa ada suatu kewajiban bagi pejabat pemerintahan untuk mematuhi Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta memeriksa, meneliti, dan membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat.
Bahkan dalam Pasal 29 angka (11) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah secara tegas dan lugas menyatakan bahwa, untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK, harus memenuhi persyaratan salah satunya yaitu, “mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Artinya, Calon Pimpinan KPK sedari awal apakah ia berstatus sebagai penyelenggara negara atau tidak, wajib hukumnya mengumumkan kekayaannya sebagai salah satu syarat administratif. Akan tetapi, Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK masih tidak melaksanakan aturan dimaksud dan seakan memaksakan bagi calon pimpinan yang tidak melaporkan LHKPN untuk tetap lanjut ke proses berikutnya.
Karena itu, secara keseluruhan baik eksplisit maupun implisit dalam kerangka hukum, pejabat pemerintah memiliki tuntutan untuk mematuhi segala aturan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan dengan membuka seluruh informasi, baik menyangkut pribadi maupun instansinya demi terwujudnya transparansi dan akuntabilitas sebagai pejabat/penyelenggara negara, khususnya calon pimpinan KPK.
Jangan karena hanya memaksakan suatu kehendak, kita lupa akan kehendak hukum itu sendiri. Saatnya kita luruskan konsep LHKPN itu dengan tidak memetamorfosakan LHKPN sebagai sesuatu hal yang haram, apalagi menyebut LHKPN sebagai konsep ateis!
Baca juga
Pak Jokowi, KPK Menjemput Maut
Anak Tiri Jokowi itu Bernama Novel Baswedan
Awas! Ada Musang Pro Koruptor Di KPK