Dua catatan tentang jalan tol ini saya tulis lebaran tahun sebelumnya, saat terjadi tragedi di pintu keluar tol Brebes Timur (Brebes Exit/Brexit) yang menewaskan 17 orang dan 11 di antaranya diakui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah sebagai “akibat macet berjam-jam”.
Maraknya spanduk-spanduk yang mengaitkan jalan tol dengan prestasi sebuah rezim pemerintahan lah, yang membuat tulisan ini muncul lagi –disertai beberapa tambahan.
Sekitar 30 juta jiwa penduduk Jabodetabek tampaknya memang menjadi prioritas dalam urusan pembangunan infrastruktur mudik lebaran. Namun infrastruktur yang disiapkan adalah jalan tol. Jalan berbayar. Kita tak dapat serta merta menganggapnya sebagai fasilitas publik yang dibiayai dari pajak, meski dari sektor otomotif, APBN dan APBD mendapat setidaknya 100 triliun rupiah per tahun.
Kendati dibangun oleh BUMN seperti Waskita Karya, pada akhirnya jalan ini akan dijual ke investor swasta (privat) seperti rencana penjualan ruas Kanci-Penjagan, Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, atau ruas Pasuruan-Probolinggo.
Total ada 300 kilometer ruas tol milik Waskita Karya yang sedang dijajakan kepada investor dengan nilai 30 triliun rupiah. Salah satu yang berminat dengan infrastruktur jalan tol adalah investor-investor dari Malaysia. Investor ini juga pemain jalan tol, yang mungkin saja pernah kalah tender di ruas lain, seperti Batang – Semarang.
Sulit membayangkan jalan-jalan tol ini kelak berubah menjadi jalan umum setelah periode tertentu, misalnya, 30 tahun. Jalan tol Jagorawi yang mulai dibangun 1973 dan diresmikan 1978 saja hingga kini tak kunjung menjadi jalan umum. Meski hampir 40 tahun, jalan tol pertama di Indonesia itu masih menjadi jalan berbayar.
Idealnya, ada mekanisme “Build – Operate – Transfer” (BOT) seperti kerap kita dengar pada proyek-proyek infrastruktur yang membutuhkan pendanaan besar. Karena butuh investor, negara menggandeng swasta untuk membangun proyek tertentu seperti jalan tol berbayar. Setelah kembali modal dan keuntungan pada periode tertentu, infrastruktur itu akan dikembalikan kepada negara dan menjadi fasilitas publik. Biaya pemeliharaannya diongkosi dari pajak kendaraan. Sebab penduduk bertambah. Apa yang tadinya jalan alternatif (tol), kini sudah menjadi hajat hidup orang banyak.
Tapi nalar di Indonesia tidak begitu. Tol-tol lama seperti Jagorawi, tol Bandara, Cikampek, atau Jakarta Tangerang yang dikelola Jasa Marga, Tbk tak kunjung digratiskan meski menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), seharusnya masa konsesinya sudah habis.
Menurut dokumen BPK, konsumen seharusnya sudah bisa menjadi warga negara dengan mengakses ruas tol Bandara sejak 1995. Ruas Jakarta – Tangerang seharusnya sudah menjadi jalanan umum sejak 2011. Cikampek seharusnya sudah gratis sejak 2015, dan Jagorawi sejak 2016.
Ini terjadi karena pada tahun 2006, pemerintah mengubah skema masa konsesi setiap ruas tol menjadi paket konsesi tunggal selama 40 tahun! Paket itu berlaku secara gelondongan pada 13 ruas tol yang dikuasa Jasa Marga, meski sebagian ruas tol telah balik modal, bahkan untung.
Ini dilakukan setahun sebelum pemerintah menjual saham Jasa Marga ke Bursa Efek Indonesia dengan kode perdagangan JSMR. Agar seksi dan menarik investor swasta, hak publik untuk menikmati akses jalan yang seharusnya sudah mejadi jalan umum, dikesampingkan dahulu.
BUMN memang digunakan hanya sebagai kendaraan (vehicle) untuk mempercepat berbagai proses, biasanya terkait pengadaan tanah, studi kelayakan, atau business plan yang jika proyek ini dikerjakan swasta, membutuhkan perhitungan yang kerap lebih lama. Sementara rata-rata infrastruktur ini ditargetkan operasional pada tahun politik 2018-2019.
Seperti halnya Jasa Marga yang menjual obligasinya hingga ke bursa London, saham BUMN seperti Waskita Karya juga tidak 100 persen murni milik pemerintah (negara). 34 persennya dikuasai swasta. Di dalam saham swasta itu juga ada 23,7 juta unit saham milik Direktur Utama, misalnya.
Tentu saja tak ada hukum yang dilanggar dengan kepemilikan saham pribadi direksi ini. Bahkan bagi dunia korporasi, tak ada etik yang dilanggar. Ini sekadar menunjukkan betapa privatnya kepemilikan infrastruktur. Seperti halnya Waskita Karya, Direktur Utama Jasa Marga juga punya saham.
Sulit membayangkan seberapa besar kemungkinan terjadinya konflik kepentingan ketika jajaran direksi mempresentasikan gagasan penaikan tarif atau perpanjangan konsesi kepada pemerintah, tanpa sedikit pun mengaitkannya dengan isi depositonya sendiri.
Apalagi pembebasan tanah proyek-proyek yang dimiliki privat ini menggunakan UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, seperti yang dialami petani Rohmad, 84 tahun, warga Desa Sawahan, Boyolali yang tanahnya terkena proyek jalan tol ruas Solo-Ngawi.
Dari petani dengan 3.200 meter persegi tanah, kini Rohmad menjadi pengurus tempat pemakaman umum, setelah uangnya habis dibagi-bagi kepada anak-cucunya. Atau kasus yang menimpa 140 keluarga petani di Kendal, Jawa Tengah yang digusur proyek jalan tol ruas Batang – Semarang.
Tentu saja ada sisi mata uang lain di mana kehadiran jalan tol disebut-sebut dapat merangsang investasi manufaktur seperti di Kendal. Jika ada pabrik, maka ada buruh yang bisa bekerja, meski sebelumnya mungkin juga bukan pengangguran karena sebagian mereka bisa jadi adalah petani atau keturunannya yang menjadi bagian dari 1.000 hektar sawah produktif yang tergusur untuk pembangunan tol di Jawa Tengah.
Di sisi lain, belum tentu ini investasi baru. Jalan baru itu hanya menggeser lokasi investasi dari daerah yang upahnya tinggi seperti Karawang atau Surabaya yang sudah mencapai 3,5 juta rupiah per bulan, ke daerah seperti Kendal yang UMK-nya masih 1,7 juta rupiah. Jika Anda melintasi tol menuju Juanda, sebuah papan reklame besar dipasang di pinggir jalan dalam bahasa Inggris: “Pindahkan Bisnis Anda ke Kendal”.
April 2018 lalu, guna mengejar target penyelesaian ruas tol ini (untuk mudik lebaran), keluar surat Pengadilan Negeri Kendal perihal eksekusi pengosongan tanah, meski warga dan investor belum sepakat tentang luas yang akan digusur dan jumlah ganti rugi. Bagi saya
Tapi UU Pengadaan Tanah untuk (what so called) kepentingan umum ini memudahkan negara dan korporasi untuk mengambil begitu saja tanah rakyat dan menitipkan uang ganti rugi di pengadilan.
Jika pun boleh ada kepemilikan saham pribadi dalam bisnis jalan tol, jauh lebih masuk akal para pemilik tanah inilah yang seharusya tercatat sebagai pemegang saham melalui mekanisme “asset swap” alias tanah ditukar saham. Sehingga semakin tinggi valuasi tanahnya dalam 20-30 tahun lagi, semakin untung perusahaan infrastrukturnya, semakin sejahtera juga petani atau pemilik tanahnya. Meski ruang untuk memberi pilihan bebas tetap bertani, harus terbuka.
Kita belum lagi membicarakan dampak sosial, ekonomi, sosiologi, dan kultural dari pembukaan sebuah jalan bagi warga sekitar. Melenyapkan denyut ekonomi dari jalur regular Pantura akibat munculnya tol Trans Jawa hanya dalam tempo 3-4 tahun adalah bencana bagi ekonomi kecil dan menengah seperti pemilik rumah makan, warung, pom bensin, kios kelontong, hingga jasa tambal ban. Tidak cukup waktu untuk ekonomi rakyat Pantura berevolusi menghadapi revolusi infrastruktur demi tahun politik.
Lagipula apakah benar jalan (darat) adalah solusi mengatasi kemacetan atau distribusi logistik? Sebenarnya tak akan ada isu kemacetan dan distribusi jika sistem produksinya tidak terkonsentasi, bukan?
Dan sistem produksi yang terkonsentrasi adalah cermin konsep pembangunan yang memenangkan modal-modal besar, dan menggiring penduduk semakin deras membanjiri pusat-pusat urbanisasi. Lalu pada gilirannya menimbulkan masalah mobilitas, seperti saat mudik lebaran. Lingkaran setan.