Warganet sedang ramai merayakan #10YearsChallenge. Sebuah tantangan di mana kita menyajikan foto diri 10 tahun lalu dan hari ini. Tujuannya untuk melihat sejauh mana perubahan yang telah kita alami. Ini hal yang menyenangkan tentu saja, sebagai sebuah klangenan ia menyajikan nostalgia. Siapa sih yang tidak bahagia melihat foto diri 10 tahun lalu? Saat masih cupu dan polos?
Tapi tentu tidak semua yang merayakan #10YearsChallenge ini bahagia. Ada yang melihat betapa kondisi diri jauh lebih buruk, ada yang mengingat tragedi, ada yang melihat kenangan menyakitkan. Demikian juga dengan kondisi politik kita. Pertanyaan ini bisa jadi tantangan menarik bagi pemerintah untuk bisa mengukur sejauh mana bangsa ini berkembang. Sudahkah Indonesia jauh lebih baik dari 10 tahun yang lalu?
Bangsa apa yang dalam 10 tahun tidak berbuat apa-apa? Jika tidak gagal, tentu pemerintahnya magabut betul. Tidak melakukan perbaikan, tidak melakukan terobosan, dan yang lebih buruk stagnan menjadi bangsa yang itu-itu aja. Tapi tenang, Indonesia membaik kok. Di banyak indikator yang dibuat lembaga internasional Indonesia membaik. Mulai dari nilai mata uang, kualitas produksi barang ekspor, hingga jaminan investasi. Harusnya senang dong? Lagipula Sudah banyak kan yang bisa kita lihat perubahannya?
Bukankah sekarang jalan tol sudah panjang? Bukankah di Papua infrastruktur membaik? Bukankah gaji PNS sudah membaik dengan adanya THR dan gaji ke-13? Lalu apa lagi yang diinginkan? Perbaikan sudah mulai ada, menyebar, dan bisa dirasakan. Mungkin 10 tahun lalu membayangkan internet tanpa buffering adalah hal yang mustahil, hari ini ia realitas yang dekat. Lantas apa yang belum berubah?
Tentu tergantung dari perspektif mana anda melihatnya. Kondisi ekonomi kita mungkin lebih baik dari 10 tahun yang lalu. Jumlah orang miskin dan pengangguran menurun. Standar hidup, kondisi kesehatan, akses jalan, infrastruktur, serta pendidikan kita berkembang dari 10 tahun yang lalu. Hal ini perlu diakui dan diapresiasi. Lantas apa yang salah?
Tidak ada yang salah dan tak perlu dicari kesalahannya juga. Tapi, ini jika anda peduli, mungkin kita bisa main ke depan istana negara, hari kamis ini. Kenapa? Mungkin karena ini bertepatan dengan 12 tahun kamisan. Bayangkan sejak 12 tahun terakhir, mereka yang mencari keadilan hingga hari ini masih berdiri tiap kamis tanpa bisa mendapat jaminan jika kasus pelanggaran HAM yang mereka alami atau dialami keluarganya akan diselesaikan.
Kamis, 18 Januari 2007 adalah hari pertama berlangsungnya Aksi Diam yang menjadi cikal lahirnya Kamisan. Saat itu Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), yaitu sebuah paguyuban korban/keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) menginisiasi gerakan bersama JRK (Jaringan Relawan Kemanusiaan) dan KontraS.
Detilnya mungkin anda bisa cari sendiri, tapi yang membuat perih mungkin berapa lama seseorang bisa menunggu. Bagaimana diingatkan bahwa 12 tahun perjuangan kamu menabrak tembok ketidakpedulian bernama politik praktis. Bagaimana kamu berharap kepada presiden agar keadilan ditegakkan sementara orang-orang yang ada di sekitarnya bermasalah.
10 tahun bukan waktu yang pendek. Jika #10YearsChallenge berupaya menghadirkan imaji perubahan diri 10 tahun yang lalu dengan hari ini, mungkin rupa pemerintah kita nyaris sama. Penegakan Hak Asasi Manusia masih jadi sebuah komitmen yang susah dipenuhi. Banyak peserta aksi Kamisan hanya bisa menunggu, diam, di depan istana setiap Kamis sore berharap bahwa pemerintah punya nyali untuk mewujudkan janjinya.
Janji apa? Mungkin banyak dari kita yang lupa. 10 tahun lalu peserta kamisan berdiri di depan istana menuntut keadilan ditegakkan. Mereka diam, menunggu keberanian pemerintah atau presiden mewujudkan keadilan. Presiden baru datang, menjanjikan nawacita. Bertahun kemudian, presiden ini menemui peserta Kamisan untuk kemudian dikecewakan dengan janji yang lain.
Mungkin tantangan 10 tahun ini perlu dijawab juga oleh pemerintah. Apa yang mereka lakukan untuk keadilan dan hak asasi manusia? Apakah pemerintah hari ini lebih baik dari 10 tahun yang lalu. Atau malah jauh lebih buruk dan lebih takut dalam komitmen penegakan HAM?