Jumat, April 26, 2024

Zidane Pulang: Tidak Ideal, tapi Melegakan

Mahfud Ikhwan
Mahfud Ikhwan
Penulis Novel "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu"; Pengelola Blog Belakanggawang.

Karena pasti sangat puas dengan kesengsaraan yang dialami Real Madrid ketika dibelasah Ajax di Liga Champions, yang kemudian jadi kekalahan ketiga secara berturut-turut di kandang, dan menandai habisnya musim Real Madrid yang terjadi jauh lebih awal, para pembenci Madrid pasti tak tertarik untuk menonton pertandingan Liga mereka melawan Real Valladolid. Padahal, di situlah kesengsaraan Madrid musim ini berpuncak. Terutama di dua puluh menit pertama. Dan boleh jadi, itulah kenapa kita mendengar – breaking news – kurang dari dua puluh empat jam setelahnya.

Dalam beberapa menit pertandingan, segera saja terlihat, ini akan menjadi kekalahan berikutnya untuk Madrid dan Santi Solari. Semua umpan terlihat salah. Semua gocekan ngadat. Setiap tekel yang datang berhasil secara gemilang. Semua upaya serangan gagal—meski sejujurnya, Real bahkan sulit melakukan penyerangan. Para pemain Madrid seperti bocah SD yang sedang ngantuk berat dan tiba-tiba dipanggil gurunya ke depan kelas; mereka tak tahu benar mau apa dan disuruh apa. Kostum tandang warna hitam yang mereka pakai seperti disiapkan untuk perkabungan yang kesekian.

Dan mereka tidak sedang menghadapi Barcelona dengan Messi ada di dalamnya. Tidak juga Ajax yang tengah pekan lalu menghancurkan mereka, yang di sana ada De Light, De Jong, dan Ziyech, dan setengah lusinan pemain muda hebat lain yang sebagian besar pasti akan pindah ke klub-klub kaya di musim panas depan. Tim yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Ronaldo Nazario ini bahkan bukan jenis tim kecil yang biasa menyulitkan Madrid, macam Getafe, Girona, atau Levante. Mereka sedang menghadapi Real Valladolid, tim yang sedang ada di urutan klasemen ke-16, yang hanya mampu mencetak 20 gol dalam 26 pekan, yang menjadikan mereka tim paling seret se-La Liga, dan tampak sangat mungkin terseret degradasi di pengujung musim nanti.

Sebelum Anuar Tuhami mencetak gol untuk Valladolid di menit ke-29, gawang Madrid sudah kebobolan dua gol (yang kemudian dianulir VAR) dan terkena satu hukuman penalti (yang gagal dieksekusi). Dan dalam setengah jam itu, saya, seorang yang jatuh cinta dengan Madrid ketika mereka punya Hiero di belakang, Redondo di tengah, dan Pedja dan Suker di depan, tak pernah melihat Madrid sejelek itu saat menghadapi tim jelek. Dan sepanjang itu saya membayangkan Madrid akan mengalami malam yang lebih buruk dibanding malam yang sangat buruk empat hari sebelumnya: 4-0 mungkin, atau 5-1, atau 6-1—melawan Valladolid! Satu-satunya hal yang sedikit membuat tenang, di luar sana tampaknya tak ada penggemar Barcelona yang tertarik menonton pertandingan ini.

Bahwa lima menit kemudian Varane mencetak gol hasil bola garukan di kerumunan kotak penalti, lalu Benzema mencetak dua gol di babak kedua, ditutup dengan tendangan manis dari Modric, sama sekali tak bisa membuat siapa pun yang mendukung Madrid dan mencintai sepakbola akan cukup bergembira. Sedikit lega, mungkin. Sebab, setidaknya, meme-meme itu akan berhenti untuk sementara; setidaknya sampai kekalahan berikutnya.

Hal yang sama terasa ketika Madrid secara resmi mengumungkan memanggil kembali Zinedine Zidane, kurang dari sehari kemudian. Cukup melegakan, tapi ini bukan sesuatu yang memuaskan.

 

***

Zidane naik dari pelatih tim Castilla menjadi pelatih Real Madrid pada pertengahan musim 2016-2017 dalam kondisi yang tidak ideal; ia musti mengatasi kerusakan mental pemain warisan Rafa Benitez setelah kalah besar oleh Barcelona di musim itu, dan itu jelas bukan waktu yang tepat untuk memulai sebuah karir kepelatihan. Dan sejujurnya, ia jelas-jelas bukan pelatih yang ideal untuk Madrid saat itu. Ia hanya pelatih yang secara realistis bisa didapat Madrid di tengah musim, dan diharapkan bisa memadamkan asap di ruang ganti. Sama-sama naik dari tim cadangan, juga sama-sama miskin pengalaman, naiknya Zidane dan Pep Guardiola adalah dua cerita yang sama sekali berbeda.

Dengan tiga juara Liga Champions berturut-turut (prestasi yang akan sangat sulit diulangnya sendiri, dan mungkin tak akan bisa diulangi oleh pelatih lain dalam seratus tahun ke depan), satu gelar Liga, dan masih banyak gelar lain selama dua setengah musim melatih Madrid, saya masih tetap menganggap Zidane bukanlah pelatih ideal untuk Madrid. Dan, tanpa ragu saya bilang, ia memang bukan pelatih ideal untuk tim mana pun.

“Mereka cetak dua gol? Kami akan cetak tiga. Menyenangkan sekali,” begitu yang dikatakan oleh Zidane tentang hari-harinya di tim yang kemudian dikenal sebagai Los Galacticos, sebagaimana dikutip oleh Sid Lowe di buku Fear and Loathing in La Liga (2013). Itu jawaban khas para seniman, yang menemukan sepakbola di jalanan depan rumah di masa kanak-kanaknya dan mencintainya sedemikian rupa, melihat sepakbola pertama-tama sebagai permainan alih-alih olahraga, yang kelak menjadi pemain profesional tanpa pernah sekalipun melepas jiwa kanak-kanak dan semangat bermainnya.

Demikianlah Pele, Cruyff, Maradona, Laudrup, Romario, Ronaldinho, hingga Messi. Zidane, tanpa keraguan, adalah bagian inti dari tim elit ini. Di luar Cruyff yang kemudian dianggap menjadi tiang pancang bagi apa yang disebut sebagai sepakbola tiki-taka, dan karir melatih Laudrup di Getafe dan Swansea yang lumayan, kenapa para pemain jenis ini sangat jarang kita temukan menjadi pelatih yang baik (jangan dulu sebut sukses) bukanlah pertanyaan yang tak bisa dijelaskan.

Setelah bertahun-tahun pensiun dari bermain, tak banyak yang berubah dari cara Zidane memandang sepakbola—jika tak boleh dianggap sama sekali tak berubah. Zidane sang pelatih tak terlalu berbeda dengan Zidane si pemain. Ia melihat sepakbola sebagai permainan dan permainan haruslah menyenangkan. Dan hal itu yang membuatnya secara berulang-ulang menggunakan kata chaos untuk menggambarkan taktik yang dipakainya selama melatih Madrid di periode pertama—dengan kata lain yang lebih langsung bisa disebut juga: tak ada taktik. Dan sepakbola yang menang 3-0 di kandang Juventus di pekan sebelumnya dan kalah oleh tim yang sama dengan skor yang sama di kandang sendiri pada pekan berikutnya adalah gambaran paling gamblang tentang apa itu sepakbola “kacau” ala Zidane.

(Dan sepakbola macam itu menghasilkan tiga gelar Liga Champions—atau empat gelar dalam lima musim, jika kita menghitung kontribusi Zidane di tim yang dilatih Ancelotti? Coba kita bertanya pada UEFA yang bergoyang, mungkin begitu fans Barcelona akan menimpal.)

Baiklah, sembilan trofi dalam dua setengah musim, juga gol yang melimpah ruah (baik memasukkan maupun kemasukan), tapi selain itu apa? Madridnya Zidane jelas jauh lebih menghibur dari Madridnya Benitez, tapi menyebutnya spektakular jelas sulit. Mereka tertinggal 17 angka dari Barcelona di musim terakhir Zidane, sebelum pamit mundur. Mengalami ketergantungan yang terlalu kuat dengan Cristiano Ronaldo, tim ini juga gagal meremajakan tim intinya yang menua, meskipun berbekal banyak pemain muda dan bagus di bangku cadangannya. Zidane tak melakukan terlalu banyak hal untuk membuat timnya yang bergelimang tropi bebas dari kritik. Dan tim ini memberi ruang terlalu longgar bagi para pembencinya untuk meragukannya.

Julen Lupetegui, di awal musim, sebenarnya menjanjikan sepakbola yang tak kalah menghibur dari timnya Zidane. Dan, sebenarnya, jauh lebih matang. Sayang, kegagalan menambal lobang yang ditinggalkan Ronaldo, membuat tim ini sangat tidak konsisten. Dan kekalahan telak 5-1 di El Clasico pertama mesti dibayar dengan jabatan Lopetegui. Solari mengambil alih tim dalam kondisi yang penuh keraguan, dan ia terlihat betul-betul tidak kapabel setelah kalah tiga kali beruntun di kandang dalam waktu 10 hari, sehingga ia kehilangan jabatannya sehari yang lalu. Meski demikian, munculnya Vinicius Jr., Sergio Reguilon, dan Alvaro Odriozola dari tim Castilla ke tim utama haruslah diberi kredit.

Dan Zidane kembali ke jabatan lamanya di kondisi yang kurang lebih sama dengan saat dulu ia memulainya. Kali ini bukan saja tidak ideal, tapi juga sebenarnya nyaris tak punya makna apa-apa, memingat tak ada lagi yang bisa diupayakan Madrid di sisa musim ini. Tapi, bagaimana lagi, tak ada waktu yang lebih tepat lagi selain ini.

 

***

Real Madrid pasca-tiga kekalahan beruntun di kandang tak ubahnya kasur yang sudah separuh terbakar. Apinya bisa dipadamkan, dan rumah terselamatkan dari terbakar secara keseluruhan, tapi, bagaimanapun, kasur itu jelas tak tertolong lagi. Pertanyaan besarnya, apakah Zidane hanya akan jadi pemadam kebakaran yang kesekian, atau akan jadi arsitek yang melakukan pemugaran dan mendirikan kemegahan di atas kemegahan yang sudah didirikannya sebelumnya?

Ronaldo sudah pergi, Marcelo sepertinya akan menyusul, Bale tak kerasan di dua musim terakhir, Ramos habis dimaki Presiden Klub dan ia kini punya alasan untuk pergi, begitu juga Isco dan Asensio, meski dengan alasan yang mungkin sedikit beda. Dan kondisi ini akan membuat tugas Zidane tampak lebih berat dibanding penunjukan sebelumnya. Zidane akan jauh lebih disibukkan untuk mencoret pemain lama dan memasukkan pemain baru, hal yang dua setengah tahun lalu tak sepenuhnya dilakukannya.

Soal pelatih yang kembali di penugasan keduanya, sejarah Real Madrid sebenarnya tak terlalu asing, meskipun pada saat yang sama perlu juga diwaspadai catatannya oleh Zidane. Alfredo Di Stefano, Vicente Del Bosque, John Toshack, Fabio Capello, dan Jose Antonio Camacho adalah orang-orang yang pernah kembali setelah sebelumnya pernah dipekerjakan dan pergi. Secara umum tidak sangat memuaskan, meskipun jelas jauh dari sepenuhnya gagal. Penunjukan ulang Del Bosque adalah yang paling fenomenal (dengan dua gelar La Liga dan dua Liga Champions-nya dalam empat musim), sementara Capello mempersembahkan dua gelar Liga dalam dua kali pengabdian singkatnya. Zidane bisa jadi saja menjadi daftar sukses berikutnya, meskipun tak menutup kemungkinan ia mengikuti kegagalan Di Stefano dan John Toshack atau kegagalan total Jose Antonia Camacho.

Tapi, apa pun itu, tak seideal apa pun cara Zidane kembali, dan tak seideal apa pun kemampuan Zidane sebagai pelatih, kedatangannya adalah sebuah kelegaan besar. Sebab, dengan kedatangannya, pelatih lain, yang “sibuk menghitung kemenangan di masa lalunya alih-alih kekalahannya yang belakangan” (jika meminjam kalimat Sid Lowe di tulisannya di Guardian belum lama ini), tak jadi datang. Dan, ya, untuk soal yang satu ini, penunjukan Zidane adalah kelegaan besar yang mendekati kesempurnaan.

Mahfud Ikhwan
Mahfud Ikhwan
Penulis Novel "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu"; Pengelola Blog Belakanggawang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.