Para aktivis Komite Aksi Perempuan menyalakan lilin saat aksi “#SOS (Save Our Sister): Bunyikan Tanda Bahaya!” menyatakan Indonesia Darurat Kekerasan Seksual di Jakarta, Rabu (4/5). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Ada banyak kasus pemerkosaan yang terjadi, tapi mungkin hanya satu-dua kasus pemerkosaan yang akan ramai diperbincangkan publik karena bantuan media untuk menjadikannya sebagai spotlight. Mungkin saja sebagian dari kita menganggap bahwa persoalan pemerkosaan tak begitu besar. Mungkin saja beberapa dari kita tak dapat berempati cukup besar terhadap masalah orang lain. Atau mungkin saja sebagian dari kita, sebagai bagian dari masyarakat, berkontribusi besar menciptakan logika pemerkosa?
Membayangkan properti yang dimiliki Anda diambil seenaknya saja (tentu saja tanpa persetujuan Anda!) akan membuat Anda kesal setengah mati, apalagi ini adalah tubuh. Ah, pada nyatanya bagi sebagian orang pemerkosaan adalah tindakan yang sah-sah saja terjadi. Ini disebut victim blaming, di mana korban disalahkan atas terjadinya tindakan pemerkosaan. Karena pakaian yang dianggap “mengundang” (maksud saya mengundang libido) pemerkosa.
Hari-hari ini ramai diberitakan mengenai kasus pemerkosaan anak berumur 14 tahun di Bengkulu. Yuyun namanya. Kita mungkin akan menyebut ini bukan dengan kasus pemerkosaan biasa, karena Yuyun diperkosa oleh 14 pemuda secara bergantian hingga tewas. Masing-masing pemuda ini memperkosanya sebanyak dua kali, maka kita dapat menghitung bahwa pemerkosaan dilakukan sebanyak 28 kali!
Jika saya seorang munafik yang menyebalkan, maka saya akan mengatakan “catatan, mereka juga meminum 14 liter tuak!” Jadi, begini yang akan saya lakukan jika hal di atas benar-benar terjadi. Saya akan mengutuk-ngutuk persoalan “pergaulan bebas”. Dengan serampangannya bak psikiater yang baru lulus yang praktis mengatakan mereka memiliki gangguan jiwa; dan bak seorang manusia yang menerima wahyu dari Tuhan-nya mengatakan bahwa ada iblis dalam raga mereka.
Jika Anda akan melakukan persis seperti skenario saya di atas, selamat, mungkin John Constantine dapat melakukan eksorsisme (pengusiran setan) dari para pelaku yang dirasuki setan pemerkosa.
Pemerkosaan yang Tak Benar-Benar
Anda tentu saja sudah banyak menonton film-film Sci-fi atau fiksi ilmiah (bahasa Inggris: science fiction) dan melihat bagaimana para ilmuwan mengembangkan spesies baru. Ya, dan kebanyakan mereka menciptakan monster jahat yang ingin menginvansi dunia, mendominasi dunia, hasrat akan kekuasaan.
Saya akan membantu Anda sedikit melihat ke kenyataan yang ada; masyarakat bahkan tak benar-benar menyadari bahwa mereka telah mengembangkan “spesies” pemerkosa dalam lingkungannya sendiri.
Peneliti PBB dalam Studi Pria dan Kekerasan di Asia dari beragam Negara menerbitkan sebuah studi mengenai akar kekerasan seksual yang mencakup enam negara: Bangladesh, Cina, Kamboja, Indonesia, Papua Guinea Baru, dan Sri Lanka dalam dua tahun (Anda dapat mengakses di The Lancet Global Health) yang melibatkan 10.000 orang. Sekitar satu dari empat orang dalam studi ini mengatakan mereka telah diperkosa seseorang dalam hidup mereka. Satu dari sepuluh telah diperkosa seseorang yang merupakan bukan kekasih atau partner romantis mereka.
Dalam kuesioner yang dibagikan dalam studi ini tidak menggunakan kata “pemerkosaan”. Justru mereka meminta orang-orang menjawab apakah mereka pernah melakukan dari pilihan berikut: “Memaksa seorang perempuan untuk melakukan hubungan seks yang bukan kekasih atau istri Anda” atau mereka pernah “Berhubungan seks dengan seorang perempuan ang terlalu mabuk atau dibius (tidak sadar) untuk menunjukkan apakah mereka (korban) menginginkan seks”. Berdasarkan studi tersebut tahulah kita bahwa sebenarnya banyak orang-orang yang tidak menyadari apa itu “persetujuan”.
Pemerkosaan adalah salah satu tindak kejahatan yang melakukan aktivitas seksual atau persetubuhan seksuil kepada seseorang tanpa persetujuan orang tersebut. Anda perlu mencatat bahwa pemerkosaan terjadi dikarenakan “lack of consent”, persetujuan.
“Penyakit” Orang Miskin
Istilah menyalahkan korban diungkapkan pertama kalo oleh psikolog William Ryan pada buku Blaming the Victim sebagai ideologi yang digunakan untuk membenarkan rasisme dan ketidakadilan terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat saat membantah Daniel Patrick Moynihan tahun 1965 untuk Laporan Moynihan-nya.
Intinya: tiga abad perlakuan buruk terjadi di tangan orang kulit putih yang menciptakan perbudakan Amerika, menciptakan kekisruhan yang berkepanjangan dalam struktur keluarga orang kulit hitam, yang mana disebabkan oleh tingginya angka kelahiran, tidak berperannya fungsi ayah, atau orang tua tunggal.
Lalu Moynihan mengaitkan hal tersebut dengan relativitas angka kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dan kemapanan finansial dalam populasi orang kulit hitam. Moynihan mengadvokasi implementasi program-program pemerintahan yang didesain untuk menguatkan keluarga nuklir orang-orang kulit hitam.
Seperti halnya para pemerhati sosial-politik yang kerap melihat dari angka-angka statistik kemiskinan di Bengkulu (dalam kasus Yuyun). Menyebalkannya adalah media massa menciptakan opini publik yang membenarkan hal tersebut. Seakan-akan kejahatan memang sudah selayaknya terjadi di kelas menengah ke bawah.
Lalu, apa standar “kemiskinan” mereka? Pekerjaan dan penghasilan mereka? Bila analisanya sesederhana bahwa angka-angka statsistik kemiskinan menciptakan budaya pemerkosaan di kalangan kelas bawah, apakah lantas orang Dayak pedalaman di hulu sungai Malinau yang tergolong “miskin” dalam angka statistik juga mengembangkan dengan sendirinya budaya pemerkosaan hanya karena mereka, secara statistik ekonomi, miskin?
Apakah Suku Anak Dalam yang secara statistik juga tergolong “miskin” rentan dalam mengkreasikan budaya pemerkosaan? Saya rasa tidak.
Kurang lebih George Kent, profesor ilmu politik dari Universitas Hawaii, mengatakan hal yang sama, “Beri seseorang ikan dan dia makan untuk hari ini, tapi mengajarkan orang untuk ikan dan dia makan untuk seumur hidup.” Kent mengatakan bahwa orang kulit lebih mampu “menentukan” apa yang lebih layak bagi orang kulit hitam.
Seperti halnya kelas menengah atau kelas menengah atas yang rasanya pantas menentukan mengenai bagaimana “kelas menengah bawah” sebaiknya hidup. Inilah yang kita lakukan. Anda dapat terkaget-kaget melihat angka statistik kemiskinan di Bengkulu, tetapi perlu juga diketahui bahwa kejahatan dan tindak kriminil tidak hanya terjadi di kelas menengah ke bawah. Itu hanya yang tercatat statistik, nyatanya ada “kejahatan-kejahatan” kelas menengah dan kelas menengah atas yang tak dilaporkan.
Sepertinya kita memang lebih mudah mengaitkan kejahatan sebagai “penyakit” orang miskin, mempercayai begitu saja opini media massa ataupun para ahli yang mungkin saja kurang kompeten dalam hal menganalisanya, daripada lebih melihat kenyataan yang sebenarnya
Banalitas Jurnalisme Indonesia
Tampaknya (dan pada nyatanya begitu) jurnalisme kita sudah berkembang cukup pesat, terutama berita-berita online dengan judul berita yang begitu norak dan hanya diisi oleh sedikit paragraf dengan minim informasi.
Sesungguhnya jurnalisme tak begitu masalah dengan kode etik jurnalisme, kata anak-anak muda seperti saya, “Terserah gue!” Rasanya tak benar memberikan berita serampangan seperti itu, tapi bos berkata lain; tak apa kita menjadi begitu sedikit murahan, yang jelas kita tak boleh kalah dengan media lainnya yang lebih cepat menaikkan berita. Setidaknya, ya kita harus mengakui bahwa “perkembangan” tak selamanya mengartikan sebagai “kemajuan”, bukan?
Coba tanyakan pada diri Anda, apakah media massa berpengaruh besar dalam membentuk opini publik? Taruh saja persoalan-persoalan ke permukaan, mulailah dengan perdebatan-perdebatan sederhana yang kemudian akan dibagikan dan diperbincangkan para netizen dari media sosial mereka.
Maka, stasiun-stasiun televisi swasta berita akan menghadirkan para tokoh, mulai dari arm-chair psikolog, anggota DPR, hingga pemuka agama. Tentu saja publik melihat dan membicarakan kembali, apalagi jika sebuah kasus diperdebatkan di program talkshow para pengacara Indonesia.
Bagi saya dan orang-orang terdekat akan menganggap logika victim blaming ini sangat tidak masuk akal. Sialnya, logika ini yang dianggap benar dan ditumbuh-kembangkan di masyarakat dengan bantuan media massa. Kita memang selalu memiliki The Just World Hypothesis di mana anggapan individu bahwa dunia baik-baik saja, jadi sistem sosial yang mempengaruhi mereka itu adil. Persepsi dari individu-individu adalah bahwa hal-hal baik terjadi pada orang baik, dan hal-hal buruk kepada orang-orang yang buruk.
Sementara dari literatur Teori Kebebalan mengklaim bahwa siapa saja yang menyalahkan korban dalam keinginan untuk membuat perasaan “aman” bagi diri mereka sendiri. Logika yang-penting-bukan-gue.
Secara sadar maupun tidak sadar, perkembangan masyarakat kita menciptakan logika acuh seperti barusan dan di saat yang bersamaan juga kepo dan ikut-ikutan ribut ketika masalah serius, seperti kasus Yuyun, terjadi. Yang dalam kenyataan sensitivitas masyarakat pada apa pun yang terjadi di sekeliling mereka itu sangat kurang atau mungkin sudah tidak ada.
Kawan-kawan dan anggota keluarga pemerkosa akan menyalahkan korban pemerkosaan untuk membuat mereka menjadi “lebih aman”. Pernyataan yang umum terdengar adalah seperti pakaian atau karena korban berjalan sendirian dalam kegelapan. Teori menyatakan menyalahkan korban merupakan pengingat rasa takut serta kerentanan atas diri kita sendiri. Individu-individu ini tidak ingin memikirkan kemungkinaan kehilangan kontrol atas hidup atau tubuh mereka; dengan memutuskan bahwa pemerkosaan terjadi karena kesalahan korban, mereka menciptakan rasa aman yang palsu.
Ini meyakinkan orang-orang bahwa selama mereka tidak bertindak sebagai korban lakukan pada saat serangan mereka, mereka akan aman-aman saja. Jadi, memang ada baiknya jari telunjuk Anda tidak bergerak pada orang lain. Saran saya, bercermin adalah pilihan terbaik yang dapat Anda lakukan dan bertanya pada diri sendiri: “Apakah kebungkaman, norma sosial yang saya reproduksi, keacuhan saya, dan perilaku saya terhadap sesama, turut serta dalam menciptakan budaya pemerkosaan?”
Ah, tidak mungkin, “hanya orang miskin yang bisa berbuat demikian.”