Rabu, Oktober 16, 2024

Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga? [Tanggapan untuk Mun’im Sirry]

Rinto Pangaribuan
Rinto Pangaribuan
Pegiat di Ut Omens Unum Sint Institute - Jakarta
Umat Katolik menyiapkan ornamen dan patung-patung tokoh diorama adegan kelahiran Yesus di Gereja Kristus Raja, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (19/12). Hal itu dilakukan sebagai persiapan menjelang perayaan Natal. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ama/16.
Umat Katolik menyiapkan ornamen dan patung-patung tokoh diorama adegan kelahiran Yesus di Gereja Kristus Raja, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (19/12). Hal itu dilakukan sebagai persiapan menjelang perayaan Natal. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ama/16.

“Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga? [Refleksi Natal dari Seorang Mukmin]” (GeoTimes, 23 Desember 2016) yang ditulis oleh Mun’im Sirry memang sangat menarik.

Pertanyaannya amat sangat menantang. Apalagi jika melihat kondisi intoleransi agama di Indonesia kini. Kekerasan atas nama kemurnian dogma semakin menjadi-jadi. Belum reda kisruh politik bertabir agama, Natal sudah hadir lagi. Semua kita tahu, “haramisasi” sudah menjadi budaya baru bila Desember tiba.

Selain menantang, pertanyaannya pun merangsang. Dia menggelitik kesadaran intelektual. Sejatinya, perkara ini urusan kemanusiaan. Kata Pram, bumi manusia dan segala persoalannya adalah tanggungan para terpelajar.

Persoalan di atas sepertinya menuntut jawaban dikotomis. Setiap jawaban mengandung risiko. Betul kata penulisnya, ini adalah pertanyaan “terlarang”. Ketuhanan Yesus, dalam konteks kita, seolah jadi “postulat” untuk memulai pertengkaran.

Walau demikian, saya mengangkat topi setinggi-tingginya pada Prof. Mun’im Sirry. Beliau berani menyentuh “the unthinkable question” ini. Kita harus menepuktangani usaha beliau. Tulisannya itu merupakan satu langkah maju menuju perdamaian. Dengan berani membicarakannya pertanda ada niat membangun jembatan. Insya Allah, umat beragama bisa bertemu dan saling mengerti.

Sumber Konflik
Ketuhanan Yesus memang kontestasi teologi rumit antara komunitas Kristen dengan Muslim. Umat Islam selalu menggugat jabatan ilahi Putra Anak Dara Maria itu. Saya bisa memahami berbagai keberatan terhadapnya. Saya pun tak menyalahkan penolak sepenuhnya. Secara nalar, sulit memang menerima manusia menjabat sekaligus Tuhan. Antara Ilahi dan insani terbentang kontras yang lebar. Saya memaklumi keraguan bahwa entitas Maha Besar bisa “menitis” menjadi daging.

Dari sudut pandang Kristen, keilahian Yesus adalah sebuah fondasi iman. Itu menjadi syarat spesifik spiritualitasnya. Jika menihilkan fitrah ilahiah orang Nazaret ini, artinya sama saja meruntuhkan seluruh bangunan kekristenan. Ketuhanan Yesus merupakan inti iman umat Nasrani. Cabut semua aksesoris agamanya, maka Kristen akan tetap berdiri. Tetapi jika melepaskan ketuhanan Yesus, maka lonceng kematian Kristen berbunyi.

Akhirnya, kita bisa memetakan ketegangan yang terjadi. Ada prinsip keras sedang saling berhadapan. Dalam Islam, mengakui Yesus sebagai Tuhan adalah dosa. Sementara, iman Kristen menganggap itu dasar segalanya.

Sejarah Kristologi
Konflik ini sebenarnya bukan hal baru. Perkaranya tidak semata persoalan umat Nasrani-Muslim pula. Sejarah abad awal kekristenan menunjukkannya. Perdebatan tentang kodrat Yesus sudah terjadi dalam internal teolog Kristen.

Arius mungkin tokoh pertama. Secara garis besar, pemikirannya menolak kemutlakan keilahian Yesus. Sang Putra, katanya, memiliki awal dan tak abadi. Ini sumber keberatannya menerima penuh ketuhanan Yesus. Walau begitu, dia tetap mengakui kodrat ilahi-Nya. Tapi dengan catatan, itu karena pemberian Allah. Pemikiran inilah yang melatari Konsili Nicea 325.

Konsili ini bukan akhir dari segalanya. Pada abad ke-5, muncul Eutykes membawa gagasan monofisit. Secara etimologis berarti satu kodrat. Ada dua pemahaman tentangnya. Pertama, absorpsi, yaitu natur manusia Yesus terhisap ke dalam ke ilahiannya (Adolf Heuken, Ensiklopedia Gereja III, 1993).

Kedua, strict monofisitism, yaitu keilahian-Nya bercampur dengan kemanusiaannya (Alloys Grillmeier, Encyclopedia of Theology). Pahamnya hanya mengakui Yesus sebagai Tuhan, bukan manusia. Inilah dasar terselenggaranya Konsili Kalsedon 451.

Konsili itu menghasilkan keputusan: vere Deo vere homo. Artinya, Yesus adalah Tuhan sekaligus manusia. Teologi Kristen arus utama menyebutnya deophysites; satu pribadi dengan dua natur (Lutheran Cyclopedia, 1975).

Masalah belum selesai. Pada abad ke-8 muncul Kristen Gnostik. Mereka berkeyakinan bahwa keselamatan bergantung pada pengertian (gnosis). Paham ini memandang rendah tubuh. Sehingga, bagi mereka, Yesus bukan Putra Allah yang menjadi manusia, melainkan hanya roh Tuhan. Dia membawa ajaran saja, sedang badannya semu (Franz Magnis Suseno, Iman dan Hati Nurani, 2004). Kelompok ini meyakini kalau penampakan tubuh Yesus hanyalah bayang-bayang seperti hantu.

Itukah akhirnya? Oh, belum! Jangan lupakan kelompok Kristen Yahudi. Mereka adalah orang-orang Yahudi yang menyukai ajaran Yesus, tetapi masih berpegang pada tradisinya. Kaum ini pun menolak mengakui Yesus sebagai Tuhan.

Sejarah sudah menunjukkan kalau perdebatan tentang kodrat Yesus memang tiada habisnya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, “Apakah Yesus mengharapkan ini?”

Sebuah Alternatif
Natal adalah peristiwa kelahiran Yesus via perawan Maria. Peristiwa ini menunjukkan Tuhan terlibat dalam sejarah. Natal merupakan pagelaran Sang Khalik berbela rasa bersama manusia.

Namun, yang jadi soal adalah apa tugas utama Yesus dalam inkarnasi itu? Apa alasan kerelaan-Nya mengambil rupa manusia? Apakah kedatangan-Nya ke dunia hanya untuk mendeklarasikan diri sebagai Tuhan? Segila hormat itukah Dia? Dan terutama, apakah Yesus mempersoalkan “akreditasi” dogmatis tersebut?

Yesus tiada pernah memusingkan pengakuan. Ajaran Khotbah di Bukit mengatakan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga.” (Matius 7:21). Yesus tidak menekankan legitimasi teologis atas identitas-Nya. Yesus mengutamakan tindakan lebih dari kata-kata.

Yesus pun tak pernah menuntut bibir untuk memuja-Nya. Suatu kali dia menegur keras orang Farisi dan ahli Taurat. Yesus mengatakan, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.” (Matius 15:8).

Jadi, jelaslah tujuan utama inkarnasi. Yesus mengambil rupa manusia tidak untuk mendapat pengukuhan sebagai Tuhan lewat kata. Dia lebih mementingkan gaya laku hidup. Putra Allah datang guna menjalankan perintah baru. Yesus mengajarkan “supaya kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:34). Inilah perintah baru itu. Yesus merevolusi fokus agama dari gelimang ritual dan dogma menjadi tindakan cinta.

Yesus datang ke bumi bukan mengemban misi keagamaan. Alkitab tak pernah mencatat Yesus membaptis orang. Dia tidak pernah memindahkan agama orang lain. Apalagi mendirikan agama baru. Tugas-Nya hanya memberitakan kabar baik. Sebuah Injil bahwa manusia harus hidup saling mengasihi. Ini adalah misi kemanusiaan.

Sederhananya, Yesus lebih menuntut aksi cinta daripada pengakuan formal terhadap-Nya. Manusia mengakui Yesus sebagai Tuhan artinya meneladani polah-Nya. Tindakan yang mendaulat Dia sebagai Tuhan, bukan ucapan. Inilah totalitas tujuan inkarnasi.

Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga?
Albert Nolan, seorang teolog Katolik asal Afrika Selatan, suatu kali pernah mengeluarkan pernyataan menarik. Kata dia, kita acap memuja dan menyembah Yesus tidak seperti maksud-Nya (Jesus Before Christianity, 1976).

Leonardo Boff berpendapat senada. Olah nalar tentang Yesus seringkali melupakan keaslian-Nya. Amat banyak kristologi terpelanting dalam bahaya ini. Itu membuat kita tidak mengenali Yesus lagi (Kekristenan: Sebuah Ikhtisar, 2014).

Ada ironi. Kemajuan teologi justru semakin mengaburkan Yesus. Para teolog menceritakan Yesus begitu hebat. Kecanggihan dan kerumitan sistem teologi justru melahirkan Yesus yang lain. Dia semakin berwajah ontologis, abstrak, dan hampir ahistoris. Padahal, Natal menunjukkan hal sebaliknya.

Jadi, Yesus, Tuhan kaum Muslim juga? Sebenarnya, saya merasa pengakuan itu belum/tidak perlu. Alasannya sederhana karena Yesus pun tak menuntutnya. Yesus memaksudkan agar manusia memuja-Nya dengan aksi nyata. Segudang kata puja tak jua akan menyenangkan-Nya. Dia datang ke dunia bukan untuk kita pertengkarkan. Inkarnasi-Nya adalah memberi keteladanan. Yesus menginginkan segenap ciptaan meniru kesempurnaan cinta kasih-Nya.

Bukankah ajaran Islam juga mengajarkan semangat cinta kasih? Pasti! Kalau begitu, sebenarnya kita sedang berjalan ke arah yang sama, walau gaya berlainan. Ekspresinya variatif. Biar begitu, substansi tetap serupa. Kita senada ingin menggenangi bumi dengan cinta kasih.

Ajaran Yesus tegas dan sederhana. Jika kita memberi makan yang lapar, air pada yang haus, tumpangan pada yang asing, pakaian pada yang telanjang, merawat mereka yang sakit, dan mengunjungi mereka yang terpenjara, maka kita sudah sama-sama di surga (Matius 25: 31-46). Ajaran ini sama sekali tidak menitikberatkan pada pengakuan. Ketika kita mengamalkan ajaran-Nya, sejatinya jalan keselamatan sudah terbuka lebar. Yesus pun pasti bangga.

Rumah kita sama. Jadi, umat Islam tidak perlu mengganti arah. Jika Saudara merasa jalan itu aman dan nyaman, jadi untuk apa mengubah cara? Berislamlah dengan cara yang biasa. Asal cinta jadi penggeraknya, segalanya pasti akan indah.

Rinto Pangaribuan
Rinto Pangaribuan
Pegiat di Ut Omens Unum Sint Institute - Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.