Rabu, April 24, 2024

Yes We Scan: Perjuangan Edward Snowden dan Senjakala Kehidupan Privat

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
snowden
Joseph Gordon-Levitt [pemeran utama Edward Snowden].

The Conversation (1974), Nineteen Eighty-Four (1984), Brazil (1985),  Enemy of the State (1998), Minority Report (2002), A Scanner Darkly (2006), The Lives of Others (2006), Eagle Eye (2008). Itulah daftar film dengan tema Orwellian surveillance yang pernah saya tonton.

Saya ingat semua detail film-film itu. Saya ingat dengan tegas perasaan saya saat menonton masing-masing. Beberapa jam lalu, saya mengecek kembali kapan film-film itu dibuat.

Mengapa? Karena saya tertarik untuk menuliskan perasaan yang campur aduk—yang belum pernah saya rasakan ketika menonton film-film bertemakan serupa di atas—setelah menonton Snowden, film terbaru besutan Oliver Stone.

Sutradara ini tak pernah mengecewakan saya, walau mutu film-filmnya belakangan mungkin tak sekuat periode-periode yang lebih awal. Film terakhir ini dibintangi Joseph Gordon-Levitt, sebagai Edward Snowden tentu saja, bintang yang juga tak pernah mengecewakan saya.

Sederet bintang lainnya mendukung JGL, termasuk Shailene Woodley, Melissa Leo, Zachary Quinto, Tom Wilkinson, Nicolas Cage, dan Scott Eastwood. Saya tak bisa bilang bahwa sebagai ensemble, mereka sama kuatnya dengan para bintang di Spotlight, yang mendapatkan hadiah Oscar tertinggi tahun lalu. Tapi, lagi-lagi, mereka juga tidak mengecewakan. Sangat kompeten. Pendeknya, sebagai sebuah karya seni (dan politik), ini adalah karya yang baik.

Saya sendiri punya banyak kesenangan dari melihat lokasi-lokasi yang beragam di film itu. Edward Snowden berasal dari Maryland, negara bagian AS, yang baru saja saya kunjungi selama dua pekan lebih pada Juli lalu. Dia bekerja pertama kali di Washington DC, yang tahun ini sudah saya sambangi dua kali.

Snowden sempat bertugas di Jepang, negeri permai yang tahun ini juga saya sudah kunjungi dua kali. Lalu, dia bersembunyi di Hong Kong, yang hampir sepanjang pekan lalu jadi tempat saya mampir. Di Hong Kong, Snowden bersembunyi di Hotel The Mira yang berlokasi di daerah Kowloon, persis di seberang taman dan Masjid Kowloon yang jadi tempat saya salat selama tinggal dekat situ, sebelum saya pindah ke Causeway Bay.

Tapi perasaan saya yang utama bukan karena itu. Saya merasa gentar melihat bagaimana sesungguhnya aktivitas kita benar-benar bisa diawasi. Sebuah program komputer yang diciptakan untuk National Security Agency (NSA) ternyata bisa mengaktifkan kamera komputer dan ponsel di mana pun.

Ketika Snowden meminta kepada kawannya yang menjadi konsultan IT di lembaga itu untuk melacak keluarga Marwan, seorang bankir Timur Tengah, mereka membuka kamera komputer salah satu saudaranya. Perempuan berjilbab itu kemudian terlihat membuka jilbabnya, hingga memelorotkan celananya di hadapan mereka berdua. “Saya selalu ingin tahu seperti apa di balik pakaian itu,” tutur sang kawan.

Membuka kamera komputer dan ponsel di mana pun sudah mengerikan. Namun tentu belum seberapa dengan kenyataan bahwa mereka membaca semua email, gambar dan teks apa pun yang dipertukarkan di dunia maya, maupun yang teronggok di harddisk kita.

Saya tentu saja membaca di tahun 2013 ketika pertama kali portal berita The Guardian membuka skandal penyadapan terhadap Yahoo, Gmail, Facebook, Apple, dan lima raksasa IT lain yang punya miliaran akun pengguna. Lewat situlah penilikan terhadap isi komputer kita terjadi. Tapi, saya kali ini benar-benar takut.

Membaca tentang itu, dan menyaksikan rekonstruksi peristiwanya adalah dua hal yang berbeda. Apalagi rekonstruksi itu dilakukan oleh seorang Stone. Ketegangan yang dibangun di kamar hotel sungguh luar biasa. Snowden memang berperilaku seperti orang yang paranoid—menurut Andrew Grove, only the paranoid survive, dan dalam kasus Snowden memang demikian—karena dia mengetahui semua kapabilitas teknologi yang dikuasai NSA dan CIA, dua organisasi yang dibantunya hingga beberapa hari sebelum dia menghilang lalu mengurung diri di kamar hotel itu.

Apa dan bagaimana Snowden mengetahuinya? Ini digambarkan lewat teknik flashback yang ciamik. Saya tak mau mengungkapkan terlampau banyak dan dalam di catatan ini, untuk menghormati pembaca yang belum menontonnya dan mungkin terganggu dengan spoiler. Yang bisa saya bilang, setiap tugas yang diberikan kepadanya membuat mata fisik dan mata batinnya semakin terbuka bahwa Pemerintah AS itu memang memata-matai seluruh warganya dengan cara yang ilegal.

Snowden yang tadinya secara politik jelas-jelas konservatif mendapati dirinya telah tertarik pada seorang fotografer amatir yang liberal. Lelaki brilian namun pemalu itu terus ditentang pemikirannya oleh Lindsay Mills, sang pacar. Ketika apa yang dia saksikan di pekerjaannya mengonfirmasi kekhawatiran dan keberatan Mills, hatinya tak tahan lagi.

Kalau tadinya jiwa patriotiknya membuat dia ingin masuk CIA untuk membela negaranya dengan membantu pemerintahnya, jiwa patriotik itu juga membuatnya mengungkapkan pelanggaran yang dilakukan pemerintahnya.

Secara legal, yang bisa disadap adalah orang yang dicurigai menjadi mata-mata asing, lewat apa yang disebut foreign intelligence surveillance act (FISA). Dan FISA sendiri hanya bisa diperoleh lewat sebuah foreign intelligence surveillence court dengan hakim-hakim yang ditentukan Pemerintah AS. Tapi prosedur itu benar-benar tak diikuti.

Kapan pun NSA ingin mengakses apa pun dari siapa pun, mereka mengaktifkan XKeyscore, seperti Google, namun benar-benar bikin bulu kuduk merinding karena program itu tidak hanya mencari apa yang sudah diunggah ke wilayah publik, melainkan masuk ke mana pun yang privat. Termasuk lewat cara yang telah saya tuliskan: menyalakan kamera komputer dan ponsel.

Namun yang membuat Snowden benar-benar meradang adalah ketika ia ditugaskan di Hawaii. Di situ ia mengetahui bahwa sebuah proyek sampingan yang ia buat untuk melacak keberadaan ponsel, dengan manfaat yang tadinya ia bayangkan untuk membantu pencarian orang dalam situasi bencana, ternyata dikembangkan dan digunakan untuk mengetahui dan mengejar orang yang diduga sebagai teroris.

Lalu, lewat pemantauan satelit atau drone, dengan atau tanpa dukungan intel di darat sang terduga teroris dihabisi dengan peluru kendali. Ketika dia bertanya apakah memang pasti sang teroris yang membawa ponselnya, jawabannya betul-betul mengerikan, karena memang tak ada jaminan itu tanpa pengecekan intel. Menghabisi nyawa orang benar-benar seperti game di komputer.

Sebuah film lain, walaupun bukan tema utamanya bukan Orwellian surveillance, Patriot Games (1992) mungkin adalah yang pertama kali membuat saya berpikir tentang “kenyamanan” menghabisi lawan dengan bantuan teknologi. Di situ para teroris—atau pejuang, tergantung siapa yang menilainya—IRA dihabisi dengan bom. Bedanya, saya tahu bahwa itu fiksi, plus digambarkan dengan perdebatan yang sangat keras sebelum eksekusi dilakukan.

Begitu juga dalam film Eye in the Sky (2015), di mana pertimbangan dilakukan dengan seksama dan keputusan dibuat dengan melibatkan semua pihak yang bertanggung jawab yang tersebar di berbagai penjuru dunia.

Tapi di Snowden, semuanya dilakukan secara kasual. Yang mengintai dan yang mengebom hanya beberapa orang yang duduk berseberangan. “We hack them, they whack them,” begitu penjelasan atasan Snowden, Trevor James, ketika ditanya apa yang sedang dilakukannya, sambil menunjuk ke arah rekan-rekan yang bertugas membunuh dengan rudal. Tak ada proses deliberatif yang serius, pun tak ada keraguan bahwa korbannya mungkin saja tidak tepat.

Realitas kehidupan rupanya jauh lebih kejam daripada fiksi. Rupanya itu yang menjelaskan mengapa serangan-serangan rudal Amerika Serikat, yang belakangan juga dikendalikan dengan drone, banyak menelan korban tak berdosa. Kemampuan untuk menjadi omnipresen rupanya menggoda manusia-manusia yang semakin merasa berkuasa dan tak lagi berpikir lurus soal hak hidup, soal hak privat, dan seterusnya.

Dalam sebuah adegan demonstrasi di pengujung film, saya menyaksikan sekilas sebuah spanduk yang kemudian menjadi sangat populer. Yes We Scan, begitu yang tertulis, mengejek tema kampanye Presiden Obama. Masyarakat Amerika Serikat mendesak Obama untuk mengakui tindakan intelijen yang kelewat batas itu. Namun, seperti yang akan selalu tercatat dalam sejarah, alih-alih menghentikan program penilikan itu, ia malah meneruskan legasi busuk George W. Bush. Kemarahan masyarakat AS tetap membuatnya bergeming.

Seharusnya yang marah dan menuntut perubahan bukan saja warga AS, karena NSA sesungguhnya memata-matai semua orang di seluruh dunia. Untuk kepentingan siapa? “CIA, dan sesekali Mossad,” begitu penjelasan dalam sebuah adegan.

Saya sungguh berterima kasih kepada Edward Snowden yang telah dengan gagah berani mengungkapkan ini semua. The Guardian juga perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi, pun demikian dengan seluruh pihak yang terlibat dalam membuat Snowden. Oliver Stone, lewat kejutan keren di akhir film, perlu mendapatkan apresiasi khusus untuk itu.

Pertanyaan yang masih menggelayut di benak saya hingga sekarang: adakah yang kita bisa perbuat agar perjuangan Snowden benar-benar bisa mengubah dunia? Atau kita akan menyerah begitu saja sambil meratapi tibanya senjakala kehidupan privat?

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.