Pertandingan antara Nantes melawan Saint-Etienne di Stade de la Beaujoire-Louis Founteheau seperti upacara pemakaman. Para penonton datang dengan kaos hitam, sebelum menenggelamkan diri dalam konfigurasi bendera raksasa Argentina, lalu berubah lagi ke tulisan hijau besar dalam lautan warna kuning: SALA. Demikian juga bunyi nyanyian penonton seisi stadion.
Para pemain Nantes keluar dari lorong ruang ganti dengan nama punggung yang sama, nama mantan rekan setim mereka yang kini tak diketahui keberadaannya. Sebagian dari mereka terlihat enggan, sebagian lagi mungkin sedang menahan air mata. Wajah Emiliano Sala yang tergelar seukuran lingkaran tengah lapangan menyambut mereka; begitu ramah, begitu tak bersalah. Ketika pertandingan memasuki menit kesembilan, disesuaikan dengan nomor yang tertera di punggung kaos yang biasa dipakai Sala, wasit menghentikan pertandingan. Seluruh pemain dan seisi stadion bertepuk tangan, wajah memerah oleh rasa kehilangan. Pelatih Nantes, Vahid Halilhodzic, nama Balkan yang nyaris identik dengan sepakbola Prancis, sesenggukan seperti seorang kakek yang kehilangan cucu kesayangannya.
Di Wales, pendukung Cardiff City meratapi seorang striker yang sepertinya tak akan pernah bermain untuk mereka. Sewarna dengan bunga yang mereka sematkan di dada, mereka mesti membuat konfigurasi nama Sala dengan warna kuning ala Nantes. Sebab Sala bahkan belum sempat memakai kaos biru Cardiff. Seperti yang terjadi di seluruh stadion di Inggris dan Prancis, mereka menabur bunga dan mengheningkan cipta dan menangis. Tapi Cardiff City melakukannya dua kali.
Emiliano Sala terbang dari Nantes ke Cardiff terlalu malam dengan pesawat carteran yang terlalu kecil. Dan ia tak sampai tujuan—sepertinya tak pernah sampai. Nasib dan cuaca buruk menelannya, bersama pesawat carteran dan pilot yang mengemudikannya. Di tengah selat yang memisahkan daratan Eropa dan Kepulauan Britania, di atas langit Pulau Guenrsey, tempat lahirnya seorang maestro bernama Matthew Le Tissier, Sala sempat mengirim pesan kepada keluarganya bahwa cuaca sangat buruk dan ia ketakutan. Dan beberapa saat kemudian, pesawat kecil yang ditumpanginya hilang dari radar.
Hanya dua kali 24 jam sebelum itu, Sala tampak gembira dengan klub barunya, Cardiff City, dan syal birunya, sebagaimana ia tampak selalu gembira dengan kaos kuning Nantes-nya. Pada Jumat malam, ketika penandatanganan kontraknya sedang dibereskan, beberapa remaja yang main bola di sekitar Stadion Cardiff City berkesempatan berfoto dengannya. “Ia kelihatannya baik,” kata Hywel Davies, salah satu dari remaja itu. Dan Senin pagi, Davies dan kawan-kawannya mesti membawa bunga duka ke pelataran stadion.
Sala dibeli Cardiff City dari Nantes dengan harga 15 juta Pound. Ini uang terbesar yang pernah dikeluarkan Cardiff untuk membeli pemain. Di usia 29, ini harga yang juga dirasa besar bagi Sala. Juga bagi orang-orang sekampungnya di Santa Fe, Argentina. Sebuah langkah raksasa, demikian keluarganya menyatakan.
Bukan seperti Messi atau Aguerro atau Di Maria atau para bintang Argentina yang sering kita dengar namanya dan tonton permainannya, Sala tak pernah bermain di klub besar di tanah airnya. Ia diambil oleh klub Prancis Girondins Bordeaux dari sebuah klub binaan di kampungnya halamannya, Proyecto Crecer, pada usia 15 tahun. Ia mesti menghabiskan masa-masa awal usia 20-annya dalam peminjaman di klub-klub kecil, sebelum berjodoh dengan Nantes. Di klub Burung Kenari Kuning itu, Sala mempersembahkan 42 gol dalam tiga setengah musimnya.
Cardiff menebusnya dengan harga lima belas kali lipat dari harga yang dibayar Nantes dari Caen, dan berharap membantu mereka berjuang dari degradasi. Tapi, Sala rupanya tak pernah tiba.
***
Tentu saja tak sebanding dengan kehilangan Nantes dan Cardiff City atas Sala, tapi kehilangan Neymar hingga menjelang akhir musim nanti karena cedera nampaknya bikin kalang kabut PSG. Itu membuat mereka belingsatan menjelang penutupan jendela transfer pemain Januari kemarin. Dan itu membuat mereka, untuk pertama kalinya di musim ini, kalah di pertandingan Liga. Olympique Lyon yang akhirnya melakukannya.
PSG tak akan bisa diganggu-gugat untuk sekali lagi menjadi juara Liga; mereka masih unggul 10 angka dari peringkat kedua Lille, dan masih menyimpan dua pertandingan; butuh jutaan tahun cahaya bagi para pesaingnya untuk menyalipnya, dan itu sepertinya tak akan terjadi musim ini. Tapi, tanpa Neymar, orang-orang mulai memikirkan bahwa MU mungkin akan menghadapi mereka sebagai tim yang berbeda di 16 besar Liga Champions pekan depan.
Juventus di Serie A juga akan sulit diutak-atik kedudukannya—mereka masih belum terkalahkan di Liga, sementara Napoli masih jauh tercecer di belakang. Tapi, penulis spesialis sepakbola Italia Paolo Bandini bilang, Nyonya Tua tidak sedang baik-baik saja. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun, mereka kemasukan enam gol dalam dua pertandingan berturut-turut: kalah 3-0 dari Atalanta di Copa Italia, lalu imbang 3-3 dengan Parma di Liga.
Mereka kehilangan tiga bek bangkotannya, Barzagli, Bonucci, dan Chiellini, secara bersamaan karena cedera. Bek-bek tua itu, yang jika umurnya dijumlahkan akan lebih dari seabad, tidak hanya memberi bejibun gelar untuk Juve; mereka juga memberikan rasa aman di belakang. Dan pelatih Massimiliano Allegri tak bisa mendapatkan rasa aman yang sama dari bek-bek mudanya: Rugani, Cancelo, dan Spinazzola. Jika mereka dibuat morat-marit oleh Duvan Zapata atau Gervinho, apakah barisan belakang mereka bisa tenang menghadapi Antoine Griezman?
Barcelona di Spanyol dan Liverpool di Inggris adalah para pemimpin Liga lain yang kehilangan poin penuh. Barcelona kehilangan kendali di babak pertama, dan gagal mengonversi penguasaan bola menjadi peluang. Mereka tertinggal dua gol dari Valencia, tim paling tidak produktif kedua di 10 besar Liga. Beruntung mereka memiliki Messi untuk membereskan kekacauan.
Liverpool jelas kehilangan ketenangan sebuah tim yang memimpin klasemen Liga. Mereka keteteran sejak menang besar atas Arsenal di akhir tahun. Di lima pertandingan terakhir liga, mereka kalah satu kali, imbang dua kali, dan dua kali menang dengan skor ketat dari tim-tim semenjana macam Crystal Palace dan Brighton. Di antara itu, mereka juga kalah dari Wolves di Piala FA. Pertandingan melawan West Ham di pekan ke-25 memperlihatkan hal lain lagi: mereka mestinya punya pemain seperti Felipe Anderson, seorang fantasista dalam istilah sepakbola Italia.
Jelas mereka kehilangan Gini Wijnaldum, dan Naby Keita atau Fabinho tak sanggup menggantikannya. Namun, lebih jelas lagi, mereka tak punya pengatur tempo, dan akhirnya gagal mengontrol permainan. Mereka sebelumnya setidaknya punya Coutinho, tapi setelah kepindahannya ke Barca tak ada siapa-siapa yang menggantikannya. Semua gelandang tengah Liverpool adalah para pekerja, dan sebagiannya bekerja dengan buruk. Coba tengok, dari lima tim teratas di Liga Inggris (David Silva/De Bruyne di Man City, Eriksen di Spurs, Hazard di Chelsea, dan Pogba di MU) hanya Liverpool yang tak punya seorang playmaker. Van Dijk kadang maju ke depan dan membuat umpan, dan itu kadang berguna. Tapi, jelas, ia bukan Pirlo.
Dortmund di Jerman juga kehilangan poin, tapi perhatian tampaknya disita oleh kekalahan Munchen dari Leverkusen, yang membuat mereka terlempar kembali ke posisi ketiga, tertinggal tujuh angka dari Dortmund. Para penulis sepakbola Jerman menggunjing tentang hilangnya Bayern-dusel, keberuntungan ala Bayern, yang menyertai kejayaan mereka di Jerman dan Eropa. Yang agak sulit dicegah, Bayern tampaknya akan kehilangan gelar Bundesliga.
***
Milan kehilangan Gonzalo Higuain untuk mendapatkan Krzysztof Piatek, dan tiga gol pentingnya dalam dua pertandingan pertamanya. Ia sekilas terlihat seperti Andriy Shevchenko.
Inter Milan kalah lagi, kali ini dari Bologna, tim yang baru menang dua kali, dan baru saja memecat Filippo Inzaghi. Ini membuat mereka tiga kali kalah secara berturut-turut. Mereka kehilangan apa? Tampaknya tidak ada, kecuali aksara Latin di atas nomor punggung para pemainnya yang berganti ke aksara Cina.
Gong Xi Fa Cai!