Tanggal 31 Mei 1935 adalah kelahiran Buya Syafii, sehingga tahun ini genap berusia 85 tahun. Indonesia, terlebih Persyarikatan Muhammadiyah, beruntung memiliki tokoh bernama lengkap Ahmad Syafii Maarif ini.
Banyak kalangan menyebut Ketua Umum PP Muhammadiyah pada 1998-2005 ini sebagai Guru Bangsa. Serambi Ilmu Semesta pernah menerbitkan buku berisi kompilasi tulisan dari beragam akademisi, intelektual, dan aktivis lintas agama mengenai biografi intelektual Buya Syafii, dan memberinya judul “Muazin Bangsa dari Makkah Darat” (2015).
Judul buku tersebut berasal dari tulisan Alois A Nugroho, Guru Besar Etika Komunikasi Politik Universitas Katolik Atmajaya, yang menyebut Buya Syafii sebagai muazin moralitas bangsa. Laksana muazin, Buya Syafii dipandang konsisten menyerukan nilai-nilai kebajikan. Makkah Darat adalah julukan historis tanah kelahiran Buya Syafii, Sumpur Kudus, Minangkabau.
Sebagai anak kemarin sore dan bukan siapa-siapa, saya hanya dapat menyimak pemikiran Buya Syafii melalui buku-buku dan tulisan-tulisan beliau di media massa. Namun, lama terpendam keinginan di hati saya untuk dapat sowan kepada Buya Syafii, meskipun belum tahu kapan dan di mana.
Akhirnya, ketika sedang mencari literatur untuk disertasi ke Yogyakarta, saya berhasil berjumpa secara fisik dengan Buya Syafii atas jasa Mas Erik Tauvani. Momentum 10 Januari 2020 di Masjid Nogotirto itu sungguh berkesan. Banyak ilmu dan hikmah saya dapatkan dari perjumpaan dengan Buya Syafii selama sekitar satu jam tersebut.
Konon, Buya Syafii selalu jemaah magrib di masjid itu dan baru pulang setelah isya. Kecuali Buya Syafii sedang keluar kota. Karena itu, masjid yang terletak di Perumahan Nogotirto, Gamping, itu tidak asing dengan tokoh-tokoh penting nasional yang datang untuk berjumpa dengan Buya Syafii.
Ketokohan Buya Syafii di bidang ilmu dan pemikiran memang harus diteladani, terutama bagi generasi muda. Namun, yang tidak kalah penting adalah spiritualitas beliau. Buya Syafii adalah pribadi yang istikamah dalam ibadah. Sangat mengutamakan salat jemaah, kecuali dalam kondisi tidak memungkinkan.
Beberapa orang yang sering salah paham terhadap pemikiran Buya Syafii dan menuduh dengan stigma-stigma negatif, jangan-jangan tidak lebih istikamah. Buya Syafii memiliki kepedulian tinggi terhadap masjid dan perawatannya. Pembangunan Masjid Nogotirto hingga sampai seperti sekarang konon tidak lepas dari peran Buya Syafii. Sampai hari ini, Buya Syafii masih perhatian terhadap kelestarian masjid itu, terutama bidang kebersihan dan fasilitas.
Sebagai tokoh papan atas, Buya Syafii tidak hanya muluk dalam teori. Beliau seorang abid yang taat. Panduan beliau berpikir bukan cuma buku-buku, melainkan juga Al-Qur’an. Sepanjang menyimak pemikiran Buya Syafii melalui buku-buku dan tulisan-tulisan di media massa, beliau tidak pernah lepas dari tuntunan Kitab Suci.
Buya Syafii bilang, Al-Qur’an bukan hanya turun untuk orang Arab. Pesan-pesan universalitas Al-Qur’an merupakan teks terbuka yang absah dikaji siapa saja dan selalu menampilkan cahaya dari sisi mana saja dipandang. Hanya, Buya Syafii menyesalkan, Islam yang ada di otak kita sekarang ini bukan Islam Al-Qur’an. Kalau Islam Al-Qur’an, pasti dapat menyelesaikan masalah.
Buya Syafii tidak hanya indah dalam tulisan dan ucapan, namun beliau membuktikannya dalam perbuatan. Dalam ibadah salat, misalnya, Buya Syafii melakukan sambil berdiri. Saya tanya, “Masih kuat, Buya?” Beliau menjawab, “Ya, kalau dirasakan tentu ada saja halangan, tetapi sudahlah. Kita lakukan ini sebagai wujud syukur diberi umur panjang.”
Jawaban itu sekaligus menjotos kesadaran saya bahwa yang masih muda dan sehat harus lebih kuat ibadah. Banyak kalangan intelektual fasih berteori tentang Islam, tetapi begitu masuk ke urusan praktik ibadah, kadang salat subuh saja kesiangan. Boro-boro jemaah ke masjid.
Kepada Buya Syafii, kita jangan hanya belajar sisi intelektualitas semata, namun teladani pula kepatuhan beliau dalam ibadah formal. Terlebih, bagaimana keterampilan beliau menerjemahkan praktik-praktik ibadah itu menjadi akhlak keseharian. Buya Syafii, menurut penuturan beberapa tetangga dan orang dekat beliau, adalah pribadi dengan kepribadian yang luhur.
Bukti akhlak adalah testimoni orang-orang dekat. Buya Syafii sangat egaliter dan tidak merasa menjadi yang paling. Saya menduga, yang sering mencibir atau menghina Buya Syafii itu pasti mereka yang tidak benar-benar mengenal beliau secara dekat atau mendalami pemikiran beliau secara proporsional.
Dalam usia seperti sekarang, tidak pernah Buya Syafii merepotkan orang lain. Pergi ke mana-mana tanpa pengawal atau asisten. Cukup, kata beliau, ditemani oleh Allah dan tongkat. Dengan kata lain, semua aktivitas dikerjakan secara mandiri.
Dalam usia yang mungkin banyak orang sudah pikun dan menjadi beban keluarga, Buya Syafii masih produktif. Beliau tetap aktif membaca, berpikir, dan menulis. Hebatnya lagi, Buya Syafii menulis pakai komputer dan mengirimkannya lewat email ke media massa juga sendiri, tanpa bantuan orang.
Selain Buya Syafii, ada pula beberapa tokoh senior Muhammadiyah yang masih produktif di usia senja, antara lain Amien Rais, Rosyad Sholeh, Muchlas Abror, dan Mohammad Damami. Kalau diperhatikan, mereka adalah sosok-sosok dengan spritualitas tinggi sekaligus aktif membaca, berpikir, dan menulis.
Jika demikian, jangan-jangan benar yang sering dikatakan Buya Syafii bahwa resep mujarab anti pikun adalah membaca, berpikir, dan menulis. Yang jelas, aplikasi syukur dengan cara khusyuk ibadah, sebagaimana dibilang Buya Syafii tadi, dapat menjadikan hidup ini lebih berkah dan bermakna.
Semoga kita yang muda-muda ini mampu meneladani Buya Syafii dan mereka yang hingga usia asar masih tetap produktif dan memberikan manfaat secara luas untuk agama dan umat.