“Ke arah mana pun wajahmu berpaling maka kau akan kepergok virus corona”. Ini kesadaran mengerikan yang diam-diam terbangun pada semua warga penghuni bumi.
Ada begitu banyak larangan dan keharusan tdk biasa yang harus dita’ati, karena virus itu ada di setiap ruang, waktu, dan segala benda di sekitar bahkan tubuh kita. Begitu info dan selaligus saran yg kita peroleh setiap hari.
Virus adalah satu hal dan berita adalah hal lain yang tak kalah menakutkannya. Tiba-tiba, kita dihadapakan pada situasi genting yg tak memberi kita banyak pilihan kecuali satu: Kebajikan terakhirmu yg bisa kau berikan buat sesama adalah menolong dirimu sendiri.
Tapi apa makna praktis dari kebajikan terakhir “menolong diri sendiri”? Bagaimana wujudnya? Ini perkara yang peliknya na’uzu billah.
Banyak negara, sebagai otoritas tertinggi, terkesan gamang mengambil tindakan karena tak sepenuhnya bisa mengontrol resikonya. Tapi penguasa yang mengambang di atas rasa gamang tanpa tindakan penting yang kalkulatif, walau penuh resiko, punya “damage effect” yang jauh lebih gawat.
Kekuasaan di berbagai level berada dalam dillema moral yang harus segera, sekarang ini juga, utk ambil tindakan/keputusan. Kita tengah berada dalam pihan moral yang otentik dan genuine. Kita tdk sedang berhadapan dengan soal “baik” dan “buruk”. Kita sedang berada dalam pilihan yang semuanya mengandung resiko buruk.
Apa yg bisa diperbuat? Saya teringat sebuah prinsip jurisprudensi Islam: “Kalau kau dihadapkan perkara yang mengandung dua mudarat sekaligus, maka ambillah yang mudaratnya lebih ringan” (idza ta’aradla mafsadatani…).
Nah, kita berada dalam situasi itu yang tingkat mudaratnya jauh lebih kompleks dan luas dari konteks mudarat yang dibayangkan lahirnya prinsip jurisprudensi tadi sekian abad silam.
Tapi pesan prinsipil itu tidak mungkin kita tinggalkan. Harus dipilih dan dilakukan lewat sejumlah prasyarat yang juga harus dipenuhi. Beberapa pertanyaan serius ikutannya harus bisa dijawab sebagai dasar tindakan.
Misalnya begini, dalam konteks corona saat ini, apa arti mudarat lebih “ringan” dan “berat”? Apa resiko jika tindakan tertentu dilakukan? Dari mana kita tau persis resiko itu? Pertanyaan ini butuh jawaban berupa tindakan segera yg terkontrol, rasional, seraya menyadari pil getir yang harus ditelan karena korban tak mungkin sepenuhnya dapat dihindari.
Seorang penguasa bijak tak cukup meyakinkan rakyatnya: “Wahai rakyatku, aku tau kalian sedang menderita, tapi percayalah bahwa negara ini hadir di tengah kalian”. Negara yg hadir adalah negara yg menganbil resiko buruk yg terburuk.
Sebagai ilustrasi, dan konon ini dilakukan di Italia (negara paling terpapar berat virus ini) harus menghadapi pilihan siapa yg terpaksa boleh “mati duluan” dan siapa yang harus diperjuangkan untuk “ditunda” kematiannya. Dalam arti agar bisa sembuh.
Secara keilmuan dan terkonfirmasi lewat fakta-fakta, orang berusia tua paling pontensial terkena virus. Jumlah populasinya paling sedikit tapi jumlah yang terpapar paling banyak. Yang lebih muda jimlah populasinya besar tapi yang terpapar secara proporsional lebih kecil (artinya rilnya besar). Sementara kekuatan bahan, prasarana dan tenaga medis terbatas. Lalu siapa yg Anda biarkan mati duluan?
Itu pertanyaan moral yg sangat keras dan tdk biasa. Tak ada ruang bagi romantisme sosial. Anda harus lakukan pilihan sekarang juga. Sebab jika tdk kematian dalam waktu dekat akan mengancam semuanya.
Ilustrasi dillema moral praktis itu sama dengan aturan keselamatan penumpang pesawat dalam situasi darurat. Orang tua harus gunakan plampung terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya anak balita yang ada di samping atau pangkuannya. Sebab pesawat hampir pasti mendarat di laut. Itu bukan logika moral permissif terahadp kematian anak. Sebab orang tua selamat masih mungkin selamatkan anak balitanya, tapi tidak sebaliknya.
Beban tanggung jawab pilihan moral dengan dillema berat seperti itu melekat pada pemegang otoritas di semua level sesuai dengan resources yang melekat pada dirinya, mulai dari negara, swasta sampai dengan individu warga.
Negara dengan segala aparatnya harus ambil tanggungjawab paling besar, karena ada resources di sana yang diamanatkan warga/rakyat. Harus segera lakukan sesuatu yang penting dan startegis atas perhitungan yang cermat dan rasional. Tumpahkan semua resources ke sana. Cina sudah melakukannya, dan Wuhan, muasal virus ini bermula, kini dinyatakan berakbir.
Tak cukup dengan mellow mengatakan: Oh, rakyatku yang tercinta, aku merasakan penderitaan kalian, tapi percayalah pemerintah tak tinggal diam; Wahai warga yang kusayangi, berdiamlah di rumah masing-masing untuk cegah penularan, dan jangan keluar kalau gak penting-penting amat. Pemerintah sedang berusaha memikirkan solusi terbaik; Bla..blaa..blaa, dst.
Semoga semua kita, pewaris bumi, tercerahkan hati dan pikirannya lewat musibah global ini utk saling mawas diri, sebelum pada akhirnya terdampar pada sebuah mimpi buruk mengerikan: Kita seperti berada di tepi telaga, berisi bangkai-bangkai manusia dg bau busuk yg menguar.
Maka, bangunlah wahai jiwa-jiwa yang tertidur. Kita adalah anggota dari tubuh yang sama. Lakukan sesuat yg penting agar segalanya kembali normal. Kita ingin sperti dulu, saat-saat di mana kita bisa menyepakati janji untuk jumpa di sebuah taman, tempat kuliner, saling bercerita ringan sambil seruput wedang jahe dan dengarkan lagu-lagu Virgound, Andmesh, Cakra Khan, Rossa, Isyana, dan sekali-sekali Iyeth Busthami dan Cici Paramida. Seperti dulu-dulu.
Ya Allah, kami akan terus berusaha sebisa kami utk akhiri kecemasan yang menyiksa akibat virus ini. Tapi atas segala rahmat dan kuasa-Mu yang tak terbatas itu, akhirilah segera bencana ini. Kami tak takut mati, tapi bukan dalam waktu yang harus sesegara ini. Amin.