Jumat, April 19, 2024

World Mental Health Day: Kesehatan Mental Pondasi Pembangunan dan Peradaban Negara

Danik Eka Rahmaningtiyas
Danik Eka Rahmaningtiyas
Politician; Clinical Psychologist Candidate

Apa yang terlintas di benak kita saat mendengar istilah mental health atau kesehatan mental?

Saat pandemi Covid-19 menyerang, isu kesehatan dan stabilitas ekonomi menjadi fokus perbincangan dan penyusunan upaya-upaya alternatif kebijakan di segala penjuru. Lalu bagaimana sub-kesehatan yang terfokus pada mental atau jiwa? Karena dalam segala macam isu kehidupan, manusia adalah variabel utamanya, di mana mental atau jiwa yang mampu menggerakkan sebagai makhluk hidup hingga makhluk politik yang menghasilkan produk sistem yang memiliki konsekuensi pada kehidupan yang lebih luas lagi. Apabila kesehatan mental terganggu, akan mempengaruhi fungsi dari manusia itu sendiri.

Meskipun data terkait kesehatan mental di Indonesia masih sangat terbatas, karena concern serta anggaran riset pada isu ini juga tidak banyak. Tetapi beberapa upaya maksimal untuk mengcapture kondisi kesehatan mental di Indonesia cukup mencengangkan.

Survey Global Health Data Exchange tahun 2017 menunjukkan 27,3 juta orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa, kira-kira sekitar 1 dari 10 orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa. Sebanyak 8,4 juta jiwa mengalami kecemasan (anxiety disorder); 6,6 juta jiwa mengalami depresi; 2,1 juta jiwa mengalami gangguan perilaku. Belum lagi gangguan akut seperti skizofrenia yang jumlahnya tidak sedikit.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan jumlah penderita gangguan mental di Indonesia mencapai 9,8% dari jumlah penduduk Indonesia. Dalam data tersebut juga menunjukkan bahwa 7 dari 1000 rumah tangga di Indonesia terdapat anggota keluarga dengan gangguan skizofrenia/psikosis. Lebih dari 19 juta penduduk usia di atas 15 tahun terkena gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta orang berusia di atas 15 tahun diperkirakan mengalami depresi.

Angka-angka tersebut tentu tidak bisa dianggap sebelah mata, mengingat manusia sebagai variabel utama kehidupan ini yang terganggu secara.

Keterbatasan Akses dan Informasi

Kasus gangguan kesehatan mental yang tinggi harus diiringi tenaga professional untuk menangani permasalahan tersebut. Tetapi kenyataan di Indonesia, jumlah tenaga professional seperti psikolog dan psikiater sangat terbatas bahkan dapat dikatakan defisit.

Bayangkan 9,8% dari penduduk di Indonesia atau sekitar 25 juta jiwa mengalami gangguan mental. Menurut data Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia per-7 Oktober 2020, total Psikolog Klinis di Indonesia berjumlah 2.778 orang saja. Ini berarti setiap 1 orang psikolog menangani sekitar 9,2-ribuan lebih pasien yang menderita gangguan mental. Psikiater yakni dokter dengan spesialisasi kejiwaan di Indonesia hanya berjumlah 600-800 saja yang berarti setiap psikiater harus menangani 300-400 ribu pasien gangguan mental. Jika jumlah psikolog dan psikiater hanya menangani seluruh masyarakat Indonesia, tertu sudah sangat overload sekali. Idealnya menurut WHO adalah 1 : 30 ribu penduduk.

Selain jumlah psikolog dan psikiater yang terbatas, sebarannya juga masih terpusat di pulau Jawa khususnya kota-kota besar saja. Di Indonesia hanya memiliki 48 Rumah Sakit jiwa; 8 provinsi tidak memiliki RSJ; 4 provinsi tidak memiliki psikolog; dan 3 provinsi tidak memiliki psikiater; hanya 30% Puskesmas yang memiliki layanan kesehatan jiwa; hanya 249 rumah sakit umum yang bisa melayani segala macam perawatan kesehatan jiwa.

Keterbatasan akses pelayanan yang menyulitkan penanganan kesehatan mental semakin susah ditangani dengan akses informasi tentang kesehatan mental yang masih sangat terbatas. Alih-alih penanganan, menyadari bahwa sedang ada gangguan saja sudah sangat beruntung.

Pada tahun 2016, Human Rights Watch melaporkan 65 kasus orang yang ditahan sewenang-wenang di Rumah Sakit Jiwa, Panti Sosial, serta pusat rehabilitasi tradisional dan keagamaan. Pada tahun 2014 masih terdapat laporan 1.274 kasus pasung di 21 provinsi dan 93% dari jumlah kasus tersebut dilaporkan sudah tidak dipasung lagi. Padahal sejak tahun 1977 pemerintah melakukan gerakan pelarangan pemasungan melalui Surat Menteri Dalam Negeri No. PEM.29/6/15 tanggal 11 November 1977. Pada tahun 2014 Pemerintah juga meluncurkan gerakan “Indonesia Bebas Pasung”.

Keterbatasan akses pelayanan kesehatan mental dan akses informasi, ditambah dengan biaya yang sulit dijangkau oleh masyarakat yang terbatas finansial tentu semakin memperumit masalah kesehatan mental di Indonesia. APBN kita juga masih belum serius menangani masalah gangguan mental ini, anggaran khusus untuk kesehatan mental rata-rata hanya 1% dari total anggaran kesehatan yang juga sangat terbatas.

WHO dalam Mental Health Action Plan 2013-2020 menyebutkan bahwa sistem jaminan kesehatan dimanapun belum mampu melayani pasien gangguan mental. Ini yang menjadi salah satu penyebab banyak masalah kesehatan mental tidak tertangani.

Indonesia yang Resilien

Permasalahan kesehatan mental yang cukup kompleks, mau-tidak mau harus diurai sesegera mungkin. Karena jika tidak mendapat perhatian khusus tentu akan berdampak pada aspek-aspek lainnya seperti tingkat produktivitas manusia hingga menjadi gangguan kesehatan fisik (psikosomatis), bahkan hingga berdampak pada kematian. Memang tidak langsung dirasakan, namun jika terjadi pembiaran akan menjadi bola salju yang menghancurkan hingga generasi berikutnya.

Isu kesehatan mental kondisi pada normal masih banyak problem, apalagi dalam kondisi tidak normal. Layaknya suatu bencana, tingkat resiko bukan hanya disebabkan dari ancaman (hazard) saja tapi juga kerentanan dan kapasitas penanganannya.

Salah satu cara untuk mengurangi tingkat kerentanan individu adalah memberikan informasi tentang kesehatan mental dengan baik. Upaya promosi kesehatan mental dan prevensi suatu gangguan tentu dapat dilakukan apabila terdapat tenaga professional yang cukup dan juga anggaran negara yang berpihak.

Sementara untuk meningkatkan kapasitas penanganan tentu saja dengan menyediakan akses pelayanan kesehatan mental yang merata dan dapat dijangkau oleh masyarakat seluruh lapisan hingga ke daerah pelosok, tertinggal, dan terluar.

Pertanyaannya, siapkah Indonesia berkomitmen meningkatkan resiliensi masyarakat dan memenuhi kapasitas penanganan kesehatan mental? Karena peradaban dan pembangunan suatu negara akan menjadi wacana semata, apabila manusia-manusia di dalamnya tidak sehat mental.

Danik Eka Rahmaningtiyas
Danik Eka Rahmaningtiyas
Politician; Clinical Psychologist Candidate
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.