Belum lama ini, tiga gadis muda belia asal Garut; Marsya, Widi, dan Siti, tergabung dalam band metal bernama Voice of Baceprot (VoB) yang mengguncang Eropa. Mereka melakukan tur Eropa ke empat negara di delapan kota, bertajuk Fight Dream Believe European Tour 2021. Keempat negara tersebut adalah Belanda, Belgia, Perancis, dan Swiss.
Di Belanda VoB tampil di Patronaat, Harlem, Merleyn, Nijmegen, dan Vera, Groningen meski ada satu yang dibatalkan karena alasan pandemi; di Belgia mereka manggung di Le Botanique, Brussel; di Perancis mereka bermain di Trans Musicales, Rennes, l’Entrepot, Arlon, dan Atelier des Moles, Montbeliard; dan di Swiss mereka tampil di l’Usine Ptr, Jenewa.
Tentu saja, capaian anak-anak VoB tersebut sangat membanggakan, bukan hanya bagi kalangan musik di Tanah Air, melainkan juga bagi hampir semua masyarakat Indonesia. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhada mereka, tetapi kebanggaan atas penampilan salah satu anak bangsa ini sulit dibendung.
Menerobos Batas
Satu keunikan dari VoB yang kemudian banyak disorot dan diperbincangkan, bahkan tidak jarang dikontroversikan oleh sebagian kalangan adalah hijab yang dikenakan ketiga personilnya. Ya, mereka memang merupakan anak-anak lulusan madrasah (Madrasah Tsanawiyah/Mts setingkat SMP) yang dalam kesehariannya mengenakan jilbab sebagai muslimah.
Saat VoB terbentuk, Marsya, Widi, dan Siti masih duduk di kelas 2 di madrasah tersebut. Sebenarnya, pada awalnya anggotanya berjumlah tujuh orang, tetapi seiring perjalanan waktu, tinggal mereka bertigalah yang masih tetap bertahan. Tentu saja, berkurangnya jumlah anggota VoB bukan tanpa sebab.
Di sinilah menariknya. Ketiga personil VoB yang bertahan, bahkan hingga saat ini, ternyata berhasil menerobos batas, terutama batas budaya dan agama. Jelas tidak mudah perjalanan yang mereka tempuh. Perlu jutaan tetes keringat, bahkan air mata, yang mesti mereka tumpahkan demi menerobos batas tersebut.
Di batas budaya, misalnya, sebagai anak-anak yang lahir di pedesaan yang cukup jauh dari kota, tepatnya di Singajaya, Garut, Marsya, Widi, dan Siti ternyata tidak terisolasi dari semaraknya budaya kota (baca: musik). Bahkan pilihannya untuk menekuni musik cadas, menjadi penanda betapa mereka telah melampaui batas itu.
Layaknya anak-anak perempuan di pedesaan, terlebih yang kental dengan nuansa keagamaan, umumnya memilih musik-musik seperti qasidahan, marawis, dan sejenisnya. Mereka biasanya berlatih di masjid atau mushala dan sesekali tampil di acara hajatan. Namun, anggota VoB ternyata “menyimpang” dari kebiasaan itu.
Itulah sebabnya, VoB kerap menghadapi sindiran atau serangan yang bersifat budaya tersebut. Bagi masyarakat, mereka dianggap tidak patut untuk memainkan musik cadas, terutama karena mereka anak-anak perempuan. Di sini, stereotif musik cadas sebagai urakan, nakal, dan embel-embel negatif lainnya sangat kuat di benak masyarakat.
Bukan sekadar batas budaya, bahkan batas agama pun juga menghadang laju VoB. Pandangan sebagian masyarakat Islam yang mengatakan musik itu haram, misalnya, kerap juga dialamatkan kepada VoB. Apalagi pilihan musik VoB dianggap tak lazim bagi perempuan berhijab seperti mereka sehingga VoB semakin tersudut.
Namun demikian, semua itu tidak menyurutkan langkah VoB untuk terus melanjutkan kiprah mereka di dunia musik. Pada akhirnya, kini mereka telah berhasil menjejakkan kakinya di Benua Biru. Jelas, hal ini merupakan pencapaian yang luar biasa, mungkin boleh dikatakan melampaui senior-seniornya yang sudah lebih dulu malang melintang di dunia musik cadas tersebut.
Perlawanan Santun
Hal yang paling menarik dari perjalanan VoB sejauh ini adalah kisah perlawanan mereka terhadap apa pun yang menghadang mereka. Dan luar biasanya, perlawanan mereka dilakukan tidak dengan frontal membabi buta, tetapi dengan kesantunan perempuan yang memiliki akar ketimuran dan keislaman. Dengan kata lain, perlawanan mereka dilakukan secara beradab.
Untuk menghilangkan stigma bahwa musik cadas itu identik dengan kenakalan, pemujaan setan, misalnya, VoB cukup menampilkan dirinya secara apa adanya. Mereka berbusana muslimah yang sopan, tidak sangar. Mereka juga tetap melakukan ibadah seperti shalat, ngaji dan lainnya sehingga orang-orang semakin yakin bahwa, meski berada di dunia yang barangkali dianggap jauh dari agama oleh sebagian kalangan, mereka tidak berubah sama sekali.
Di single terbarunya yang berjudul, God, Alow Me (Please) to Play Music, VoB menunjukkan sebuah perlawanan secara santun terhadap persepsi buruk sebagian masyarakat. Mereka cukup mengadu kepada Tuhan ketika muncul sejumlah orang yang mencoba menghalangi-halangi mereka untuk terus bergelut di dunia musik.
Di single lainnya yang berjudul School Revolution pun, meski terkesan keras gegara ada kata revolusi, tetapi sesungguhnya hanyalah merupakan representasi suara kejujuran mereka sebagai anak sekolah. Ketika di sekolahnya ada perilaku guru atau siapa pun yang bekerja di dalamnya tidak sesuai dengan yang seharusnya, kemudian mereka protes melalui lagu. Ini jelas merupakan hal yang biasa. Nyatanya, para peronil VoB pun lulus dari sekolah atau madrasah itu tanpa catatan buruk.
Beruntung anak-anak VoB mendapatkan seorang mentor yang notabene guru mereka sendiri. Dialah guru BK yang akrab dipanggail Abah Erza. Si Abah yang menempatkan dirinya lebih sebagai teman mereka untuk berbagi segalam macam yang dialami mereka, terutama hal-hal yang pahit dan getir, justeru berhasil menemukan potensi bermusik di dalam diri mereka.
Bukan sekadar bermusik, Abah Erza juga mengajarkan bagaimana cara bersikap dan menghadapi segala hal yang menghadang perjalanan hidup mereka. Tentang sikap melawan tetapi dengan santun, tentang mengatasi kesulitan dengan sabar, dan seterusnya. Karena itulah, peran Abah Erza sangat besar dalam membentuk karakter VoB seperti yang terlihat saat ini.
Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta