Sabtu, April 20, 2024

Virus Corona, Globalisasi, dan Negara Kuat

Ludiro Madu
Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Peminat studi ASEAN, Asia Tenggara, Politik Luar Negeri & Diplomasi Indonesia, dan kaitan internet-hubungan internasional

Virus Corona atau Covid-19 adalah ‘anak kandung’ globalisasi. Persebaran pesat Covid-19 ke lebih dari 90 negara di luar Tiongkok ternyata telah menimbulkan ketegangan dalam dinamika globalisasi pada saat ini. Globalisasi telah memberi jalan bagi virus itu untuk ”membiak” melampaui batas-batas negara.

Globalisasi yang ditampilkan dalam wajah kebebasan mobilitas barang, jasa, modal, dan manusia antar-negara menjadi wahana bagi persebaran global wabah virus itu. Wabah Covid-19 telah menebarkan ancaman global.

Negara-negara harus mengambil kebijakan melakukan pencegahan terhadap penyebaran lanjut virus itu. Ada upaya bersama (orchestrated) dari berbagai negara di bawah ‘komando’ World Health Organization (WHO) untuk menghambat globalisasi demi mengerem laju persebaran lanjut Covid-19. Berbagai negara terpaksa harus menutup pintu-pintu internasionalnya di bandar udara dan pelabuhan laut dari para pendatang.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengumumkan kebijakan menutup pintu bagi pendatang yang berasal dari atau pernah ke Iran, Korea Selatan, dan Italia mulai Minggu 5 Maret 2020. Ini menyusul kebijakan sebelumnya, yaitu penghentian sementara penerbangan dari Indonesia ke berbagai kota Di Tiongkok. Beberapa negara bahkan menghentikan penerbangan dari dan ke negara bukan Tiongkok sebagai episentrum awal virus ini.

Sementara itu, pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan lebih keras, yaitu menutup sementara semua sistem autogate dan e-gate di semua pintu masuk seluruh negara mulai Rabu (4/3/2020). Penutupan sementara dilakukan untuk autogate warga negara Malaysia, e-gate warga asing (NERS) dan e-gate Malaysian Automated Clearance System (MACS) di semua pintu masuk seluruh negara.

Kebijakan-kebijakan semacam ini seakan menjadi protokol internasional yang juga diterapkan berbagai negara dengan tujuan serupa. Demi keamanan nasional, perlindungan warganegara menjadi prioritas bagi sebuah negara. Musuh yang harus dicegah masuk wilayah sebuah negara bukan teroris, militer atau negara lain, melainkan manusia atau warganegara yang ditunggangi Covid-19.

Upaya itu menjadi beralasan (legitimate) ketika memperhatikan laju persebaran dan jumlah kasus Covid-19 yang semakin memprihatinkan. Hingga saat ini, Covid-19 terkonfirmasi positif mencapai lebih dari 90 ribu kasus di seluruh dunia dengan jumlah terbesar di daratan Tiongkok.

Wabah Covid-19 bahkan telah menimbulkan episentrum baru di luar kota Wuhan (Tiongkok), yaitu di Korea Selatan, Iran, dan Italia. Persebaran global virus ini telah meluas ke lebih dari 90 negara di dunia, termasuk di benua Afrika.

Menantang Globalisasi

Kini ’anak kandung’ globalisasi itu telah bertransfomasi menjadi musuh terbesarnya. Persebaran Covid-19 ke berbagai negara justru berlangsung dengan cara menunggangi proses globalisasi itu. Perjalanan manusia lintas-negara terpaksa dibatasi. Interaksi langsung antar-manusia dari berbagai negara dalam bentuk kegiatan multilateral (ibadah keagamaan, pertandingan olahraga, pertemuan pemimpin negara) terpaksa dibatalkan, ditunda, atau dipindah ke tempat lain tanpa jaminan akan benar-benar dilakukan.

Hingga kini, kita belum tahu kapan wabah Covid-19 ini dapat diatasi dan memberi lampu hijau bagi jalannya berbagai aktivitas seperti sebelum virus ini mewabah. Bahkan perkembangan virus itu dikawatirkan menjadi pandemi.

Globalisasi berhadapan langsung dengan urgensi keamanan manusia bagi semua negara. Covid-19 tidak menyerang simbol-simbol negara atau tempat-tempat strategis bagi keamanan nasional sebuah negara. Covid-19 langsung menyerang manusia yang merupakan warganegara dari sebuah negara. Manusia ini bisa siapa saja yang berada di dekat kita, tanpa diduga sebelumnya. Akibatnya, setiap negara merasa perlu ‘menutup’ wilayahnya dari potensi persebaran virus ini.

Padahal warganegara tidak hanya tinggal di negaranya sendiri, namun ada yang tinggal sementara di negara lain, misalnya dalam rangka belajar. Akibatnya, perlindungan warganegara sebuah negara di negara lain juga menjadi perhatian penting bagi berbagai negara. Berbagai negara pun harus melakukan evakuasi secepatnya warganegara masing-masing dari kota itu. Apalagi pemerintah Tiongkok menutup (lockdown) kota itu demi perlindungan kesehatan masyarakat luas.

Luasnya persebaran Covid-19 menunjukkan virus ini tidak sekedar persoalan kesehatan bagi masyarakat lokal di kota Wuhan, Tiongkok. Banyaknya pendatang dari berbagai negara menjadikan wabah Covid-19 memiliki dimensi global. Tak ayal, negara harus dihadirkan demi menghambat persebaran global virus ini.

Negara kuat

Isu menarik lain dari upaya-upaya internasional yang koordinatif dan orchestrated dalam melambatkan globalisasi adalah meningkatnya peran negara dalam menangani Covid-19. Peran negara memang sering menjadi sumber perdebatan dalam bahasan tentang globalisasi.

Argumen dasar globalisasi, negara harus direduksi kekuatannya demi kebebasan mobilitas barang, jasa, modal, dan manusia tanpa hambatan antar-negara. Ketika globalisasi merajalela meminta kebebasan lalu lintas keluar-masuk, negara melemah kekuatannya (weak state).

Wabah Covid-19 membalikkan kecenderungan globalisasi ini. Negara memperlihatkan kekuatannya dalam membuat (state capacity) dan menjalankan kebijakannya (state capability). Negara pun seakan meningkat kekuatannya (strong state) setelah memperoleh legitimasi dalam menghambat laju persebaran Covid-19. Apalagi peningkatan kekuatan negara ini dilegitimasi oleh aturan main global yang dibuat oleh World Health Organzation (WHO).

Negara diminta mengambil peran besar dengan mengerahkan semua sumber daya yang dimilikinya. Negara memang bukan satu-satunya aktor dalam menjaga keamanan manusia dari ancaman keamanan non-tradisional, termasuk Covid-19. Negara harus mampu bekerjasama dengan semua stakeholder kesehatan dan keamanan kesehatan (health security) baik di tingkat nasional maupun Internasional.

Negara kuat lebih mengacu pada kemampuan negara dalam membuat dan menjalankan kebijakan, khususnya dalam penanganan dan penanggulangan Covid-19. Konsep negara kuat tidak harus selalu dikaitkan dengan kecenderungan otoriterisme. Negera kuat dalam kerangka Indonesia yang demokratis lebih menuntut ‘negara hadir’ dalam perlindungan terhadap warganegara Indonesia dalam menghadapi Covid-19.

Virus Corona bukan sekedar masalah kesehatan dan Tiongkok semata. Ada pelajaran penting tentang betapa globalisasi telah menjadikan kita semua berada dalam kondisi saling ketergantungan (interdependent) di berbagai bidang. Globalisasi yang menuntut reduksi batas-batas negara ternyata telah menyebarkan Covid-19 secara global. Salah satu jalan keluarnya adalah meminta negara menutup ‘pintu-pintu’ masuk-keluar demi menangkal globalisasi Covid-19.

Ludiro Madu
Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Peminat studi ASEAN, Asia Tenggara, Politik Luar Negeri & Diplomasi Indonesia, dan kaitan internet-hubungan internasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.