Di Indonesia, golput selain dinyatakan haram dan mendapat cemooh. Juga distempel sebagai pemalas, benalu, dan bahkan sakit jiwa! Lebih dari itu, seorang menteri sampai mengeluarkan ancaman bahwa golput dapat dipidana dengan UU ITE karena tindakannya dianggap mengacau. Termutakhir, orang yang pernah digadang untuk memimpin people power di era kekuasaan Soeharto yang tiada akhir, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, menyatakan kalo golput merupakan tindakan pengecut, tidak punya harga diri, dan tidak layak menjadi WNI.
Luar biasa. Dari seorang moralis seperti Frans Magnis, walaupun kemudian pernyataan “hinaan” tersebut dicabut karena menjadi tidak enak hati atas betapa emosionalnya dia, golput dianggap sebagai orang yang tidak bermoral. Dari menteri hukum, Wiranto, golput dikatakan sebagai kejahatan yang harus berbuah pemenjaraan. Dan akhirnya, Megawati Soekarnoputri, tokoh yang dapat dikatakan memiliki saham suara terbanyak di negeri ini, ibu dari semua wong cilik Indonesia, menyatakan bahwa golput tidak layak lagi hidup di Indonesia.
Serius, bagian terakhir itu yang paling menyakitkan. Benarkah golput sebiadab itu sehingga kewarganegaraannya dianggap tidak layak?
Mohamed Salah atau populer dengan sebutan Mo Salah, pesepakbola yang menjadi legenda hidup Mesir yang merumput di Liverpool tidak perlu menjadi capres fiktif seperti Nurhadi-Aldo untuk mampu menjadi runner up di pilpres Mesir tahun 2018. Dengan sistem contreng pulpen, cara yang lebih maju tapi justru sudah ditinggalkan Indonesia yang lebih percaya pada keampuhan paku, para pemilih membubuhkan nama Mo Salah di kertas suara.
Jumlahnya pun tidak bisa dibilang sedikit. Sekitar 7 persen dari pemilih terdaftar menuliskan untuk kemudian memberikan contrengan di depan nama Mo Salah. Itu dilakukan setelah memberikan tanda silang di depan dua nama kandidat resmi, Abdel Fattah Al-Sisi dan Moussa Mostafa Moussa. Hasil akhirnya pun sebenarnya terbilang fantastis, nyaris sempurna. 97,08 persen pemilih mengantarkan Sisi untuk memimpin mesir.
Ada fakta yang membuat miris di balik kemenangan mencengangkan tersebut. Dari sekitar 59juta pemilih yang terdaftar, hanya 41,05 persen yang berangkat ke TPS. Sudah tingkat partisipasinya terhitung sangat rendah, masih juga dikurangi rusaknya kertas suara yang didominasi suporter Mo Salah. Dalam bahasa kekinian, pemenang pilpres Mesir tahun 2018 silam adalah golput! Angkanya pun luar biasa besar, hampir mendekati 62 persen!
Apa yang sebenarnya dilakukan rakyat Mesir, negara yang pertama kali mengakui kedaulatan Indonesia tersebut?
Aksi golput yang mereka lakukan merupakan bentuk protes. Tentu ini bukan hendak memotret peristiwa tersebut secara konspiratif dan juga simplistik. Untuk lebih tau detil potret demokrasi di Mesir setidaknya dalam satu dekade ini, silahkan membaca banyak informasi yang mudah didapat.
Faktanya, rakyat memang enggan untuk memilih calon yang sejak awal sudah terlihat nyata berupaya melanggengkan kekuasaan dengan cara apa pun, termasuk membungkam lawan-lawan politiknya. Terbukti dengan Moussa yang beberapa hari menjelang pemilihan justru mengendorse para pemilih untuk memberikan suara untuk Al-Sisi.
Bukan salah demokrasinya, jika satu tahun setelahnya, parlemen mesir membuat sejumlah keputusan amandemen konstitusi yang kontroversial terkait masa jabatan presiden. Ada upaya sangat kuat untuk mendudukkan Al-Sisi menduduki kursi kepresidanan setidaknya sampai tahun 2034, dengan pelaksanaan pilpres setiap 6 tahun, dari semula 4 tahun sekali. Situasi yang terbaca sudah sejak lama tersebut, benar-benar membuat pelaksanaan demokrasi di Mesir benar-benar memasuki masa suram.
Begitulah kutukan kekuasaan bekerja, selalu ada upaya untuk mempertahankan kursi maupun upaya untuk merebutnya. Dalam pandangan yang juga tidak menyederhanakan masalah maupun penuh konspirasi, hal yang kurang lebih sama tengah terjadi di Indonesia. Belum semuram Mesir memang, tetapi infrastruktur demokrasi yang telah dibangun dan diperjuangkan sejak era reformasi terkadang, kalau enggan dikatakan sering, membuat pikiran kita tidak dapat berkembang secara optimal.
Di Indonesia, jumlah partai yang lebih dari selusin di setiap pemilu, seolah demokrasi kita tengah di era yang gilang gemilang. Seolah kita tengah di masa keemasan bahwa dengan beragam platform yang ada, rakyat Indonesia diberi kebebasan untuk melaksanakan pesta demokrasi. Tetapi faktanya tidak seperti itu.
Ambang batas pencalonan presiden yang terlalu tinggi memungkinkan partai yang menjadi peserta pemilu walau berbeda platform, dan mungkin ideologi, bermain mata tanpa kenal ruang dan waktu. Bukan saja di level daerah, tapi juga secara nasional. Tanpa merasa perlu bertanya kepada konstituennya.
Belum kita dihadapkan pada duel klasik yang seperti tidak mengenal waktu dan akhir, Jokowi vs Prabowo. Di panggung debat keduanya saling mengaku teman, jadi wajar sebenarnya kalau kita akan jalan di tempat. Pihak yang disebut pertama tidak mampu menyelesaikan serangkaian pelanggaran HAM seperti yang telah dijanjikannya. Sementara pihak kedua telah dilaporkan, dinyatakan melanggar HAM, tetapi tetap dinyatakan “layak pilih” oleh KPU.
Perihal golput, jika ditinjau dengan literatur demokrasi di mana pun merupakan hak tersebut. Karena sebagian besar penolaknya tidak akan pernah paham bahwa pelaksanaan demokrasi tidak sekedar mengandalkan retorika lesser of two evil. Secara personal orang boleh saja setuju bahwa Jokowi lesser evil.
Hanya saja narasi tersebut tetap ditolak oleh kaum golput yang sebenarnya melantangkan, “tidak memilih Jokowi, apa lagi Prabowo”. Pelabelan “Jokowi lebih baik” oleh Frans Magnis dan Wiranto dapat dimaklumi, walaupun alasannya sangat mungkin berbeda. Jika Magnis atas pertimbangan moral, maka Wiranto merasa lebih aman jika Jokowi tetap berkuasa. Siapa sih tidak mengerti soal rivalitas di tubuh angkatan darat di masa orde baru?
Megawati, orang yang dibesarkan saat demokrasi di Indonesia mendapatkan cobaan terburuknya. Justru yang paling sulit dipahami. Bagaimana dia bisa sesengak itu terhadap golput?
Dia dibesarkan oleh golput begitu orde baru tumbang. Indikasinya jelas, selama orde berkuasa, PDI selalu mendapat nomer 3 setelah Golkar dan PPP. Saat akan membesar pun, dibenturkan dan dipecah menjadi PDI dan PDI-P. Ya, PDI bagaikan partainya orang kudisan. Terpinggirkan, mewadahi orang minoritas baik agama maupun ras. Bahkan bilamana perlu, dihembuskan mewadahi para interniran paska 1965.
Kemana suara golput begitu Indonesia memasuki era reformasi, pasca Soeharto lengser?
Sebagian besar masuk PDI-P. Partai yang melabeli dirinya partai wong cilik tersebut dengan cepat menguasai suara pemilih. Pada Pemilu 1999 tersebut, PDI-P memperoleh suara sebanyak 33,74 suara. Pertama kalinya dalam sejarah PDI-P mengandaskan Golkar dan PPP. Pencapaian yang fantastis. sementara 2 tahun sebelumnya di Pemilu 1997, PDI hanya menorehkan suara sekitar 3 persen suara.
Benar, orang simpati pada kesulitan dan kesempitan yang dialaminya saat mengawal PDI. Semua orang yang ingin menegakkan marwah demokrasi mendukung perjuangannya. Dia menjadi simbol perlawanan rakyat tertindas untuk menghadapi penguasa tiran. Tidak heran kalau orang bersimpati pada partai tersebut, untuk kemudian bahu membahu memenangkannya.
Padahal modal para pendukungnya terhitung tipis dan penuh permakluman. Walau pun dia seorang ibu rumah tangga, walau pun dia tidak punya pengalaman mengelola unit pemerintahan terkecil sekali pun, dan walau pun dia hanya seorang perempuan yang kebetulan terlahir sebagai anak dari laki-laki yang pernah menjadi tokoh paling berpengaruh di Indonesia, Soekarno! Tokoh yang sampai detik ini sering “dibangkitkan” dari kubur untuk mendongkrak perolehan suara.
Jadi kalau sekarang seorang Megawati berbicara soal harga diri, orang yang sudah memutuskan golput mau ngomong apa? Siapa yang sebenarnya bermasalah dalam persoalan ini, para penyokong golput atau justru dia yang tengah bermasalah dengan dirinya. Bagaimana dia bisa mengatakan para golput tidak layak menjadi WNI? Sementara dalam setiap pidatonya menggelorakan Merdeka.
Bagaimana bisa hal keliru memahami hal mendasar dalam demokrasi kok bicara merdeka? Sementara dia dengan kesadaran penuh memberikan dukungan untuk golput di tahun 1997. Mengapa tidak memilih PPP saja misalnya, untuk membuktikan Megawati bukan pengecut? Kalau benar bahwa pemilu itu sekadar memilih lesser evil.