Semakin sibuk saja pemerintah dengan Ujian Nasional (UN) yang pernah menjadi sasaran sebuah petisi penolakan. Salah satu penandatangan petisi itu adalah (kini) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. UN tidak mutlak menentukan kelulusan, tapi untuk pemetaan mutu pendidikan, katanya begitu. Tapi, siapa pun, termasuk anak-anak SMP yang sekarang sedang berjuang mati-matian, tak akan berani mengabaikan dengan pertaruhan UN.
Ironisnya, pemerintah justru memperkuat “pemberhalaan” UN dengan dua program mutakhirnya. Tahun ini UN dimeriahkan dengan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Pemerintah daerah, kepala dinas pendidikan sampai kepala sekolah dan guru sigap bergerak mewujudkannya.
Pemerintah juga menjalankan sebuah “pekerjaan besar” terkait UN, untuk mendorong kredibilitas UN sebagai instrumen paling utama (kalau bukan satu-satunya) evaluasi pendidikan. Namanya Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN), ditujukan untuk menilai tingkat kejujuran sekolah dalam pelaksanaan UN. Hasil penilaian ini pun segera disambut perguruan tinggi negeri untuk digunakan sebagai instrumen seleksi “produk” sekolah dasar dan menengah.
Sepintas, kedua hal di atas terlihat seakan-akan lompatan penting dalam segenap ikhtiar perbaikan mutu pendidikan. Namun, keduanya menyimpan unsur problematik inheren yang tidak sejalan dengan tujuan itu. Selain itu, keduanya semakin menyibukkan pemerintah dan menguras semakin besar energi serta sumber daya pendidikan untuk sesuatu yang marginal, dan bahkan cenderung destruktif.
Unsur Problematik
Mari selami keduanya dengan pikiran jernih. Tak bisa dimungkiri, sampai kapan pun UNBK hanyalah satu komponen dari salah satu instrumen yang bisa digunakan dalam konteks besar evaluasi pendidikan. Evaluasi pendidikan mencakup multidimensi dan multiaspek: mulai dari perencanaan, proses, sampai hasil (yang terbagi menjadi output dan outcome). UN hanyalah satu instrumen pengukuran hasil pada subaspek output.
Sebagai instrumen pengukuran, UN sendiri memiliki keterbatasan. Bukan hanya karena terbatasnya jumlah mata pelajaran yang diujikan, sebagai instrumen pengukuran massal yang mementingkan efisiensi, data maksimum yang bisa didapat dari UN adalah kuantitatif-numerikal.
Gambaran sederhananya, UN tidak mungkin menyentuh hal elementer yang dibutuhkan untuk melihat kualitas output dan outcome pendidikan seperti daya juang, kreativitas, daya nalar, dan sikap (attitude). Apalagi denga komputerisasi yang mementingkan efisiensi dalam evaluasi. UNBK meningkatkan poin efisiensi dalam pengukuran, tapi pada saat yang sama semakin menjauhkan kepedulian pada hal-hal elementer bekal kehidupan (life-skills).
IIUN, seberapapun canggihnya sarana, teknologi, dan ilmu statistik yang digunakan, lagi-lagi ia tetap hanya sampai pada data kuantitatif-numerikal. Terlebih lagi basis data yang digunakan bersifat sekunder, yakni pola-pola pengisian jawaban tes tulis UN. Paling banter, seandainya benar-benar kredibel, IIUN hanya menjawab masalah kecurangan dalam pelaksanaan UN, tidak akan sampai pada analisis faktor-faktor dan sumber-sumber kecurangan, apalagi kejujuran dan integritas.
IIUN yang menyandang kata mulia “integritas” menjadi problematik dan sangat berpotensi amoral, karena mengabaikan hak-hak individual anak pada sekolah yang telanjur berpredikat “integritas rendah”. Atas nama efisiensi, keadilan bisa dikesampingkan sambil menunggu (kalau tercapai) adanya kredibilitas, validitas, dan akuntabilitas alat pegukuran.
Yang lebih masuk akal, jika memang ada kehendak untuk menyaring “integritas” sekolah, kenapa bukan implementasi serius audit delapan standar mutu pendidikan yang sudah bertahun-tahun digembar-gemborkan pemerintah?
Dalam konteks yang lebih luas, UNBK dan IIUN secara psikologis turut melanggengkan dan memperkuat rezim ujian bertaruhan tinggi (high-stake testing) yang kian ditinggalkan dalam praktik reformasi pendidikan di banyak negara. Akibatnya, UN akan terus menjadi alat pengukuran paling dominan (kalau bukan satu-satunya) kualitas pendidikan, dan bahkan menjadi tujuan pendidikan itu sendiri. Segala sumber daya tersedot untuk memastikan angka tinggi dalam UN.
Tak puas dengan menu sekolah, orangtua berlomba-lomba membeli produk bimbingan belajar. Anak-anak diteror dengan lima sampai enam kali try-out. Maka, yang benar-benar hilang dari sekolah adalah makna kata “belajar”, karena anak-anak hanya disiapkan untuk menjadi peserta ujian (test takers) terbaik.
Evaluasi Komprehensif
Semestinya tidak ada yang tersembunyi sedikit pun bahwa ingar bingar UN dengan segala kehebohannya sejatinya cuma menyangkut sebuah instrumen marginal untuk satu dari begitu banyak bagian, aspek, dan dimensi dalam evaluasi pendidikan. Seperti disebutkan di atas, evaluasi pendidikan seharusnya mencakup sejak perencanaan, proses sampai hasil.
Seandainya audit terhadap delapan standar mutu pendidikan benar-benar dilaksanakan, maka pemetaan mutu pendidikan tak akan banyak memerlukan hasil UN, UNBK, maupun IIUN. Delapan standar mutu itu adalah standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, penglolaan, pembiayaan pendidikan, dan penilaian.
Sayang, standar kompetensi lulusan tidak sekadar ditempatkan di urutan nomor satu, tapi juga menjadi fokus utama evaluasi. Penyelenggara pendidikan (guru, sekolah, kepala dinas) tidak akan merasakan kecemasan yang setara dengan kegelisahan anak-anak yang ikut UN, karena evaluasi terhadap kinerja mereka tidak high-stake. Padahal standar kompetensi lulusan adalah hasil dari tujuh standar lain.
Bila dianalogikan dengan suatu audit kinerja bisnis, evaluasi pendidikan harus mancakup pengamatan, pencatatan, dan asesmen dari hulu sampai hilir. Sedangkan UN adalah semacam mesin sortir produk sebelum pengemasan, dan itu jelas bukan representasi keseluruhan kinerja hilir, apalagi representasi evaluasi pendidikan. Paling banter, UN hanya bisa memberi dukungan untuk melihat kinerja kendali mutu (quality control), misalnya untuk menjadi salah satu data pendukung pemetaan kualitas. Sebaliknya, evaluasi pendidikan menyangkut jaminan mutu (quality assurance) yang mencakup kinerja perencanaan, kinerja proses, dan kinerja hasil.
Dengan karakter high-stake testing, UN menjadi titik berat beban anak dan sekaligus menjadi timbangan nasib masa depan. Walau secara resmi dinyatakan UN tidak mutlak menentukan kelulusan, tak ada yang berani mengabaikan arti “pertaruhannya”, entah itu orangtua, guru, sekolah, kepala dinas, bupati, gubernur, dan terutama tentu saja anak-anak sekolah.
Sebaliknya, evaluasi pendidikan seharusnya adalah evaluasi terhadap totalitas, integritas, dan akuntablitas penyelenggara pendidikan.
Di hulu pendidikan, pemerintah sebetulnya punya banyak tanggung jawab besar, yang belakangan ini semakin senyap, tergusur pesta-pora proyek dan adegan-adegan pertunjukan politik. Tak pernah bisa dibayangkan (apalagi dipelajari) apa dan bagaimana sesungguhnya hasil kajian atas kondisi dan kebutuhan untuk menghasilkan berbagai kebijakan berimplikasi luas seperti sertifikasu guru, penggantian kurikulum, penghapusan IKIP, UNBK, IIUN, dan lain-lain.
Dalam hal penggantian kurikulum, misalnya, tercatat dalam sejarah bahwa bangsa ini pernah melakukan kajian mendalam, pengujian dan eksperimen tiga tahun, melibatkan proyek-proyek percontohan di delapan kabupaten, untuk menghasilkan kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) pada 1984. Penggantian kurikulum memang tidak sepatutnya hanya hasil utak-atik konsep di belakang meja, membaca hasil tes PISA, PIRLS, TIMSS, lalu studi banding ke negara jawaranya. Dan sim salabim, satu tahun kelar.
Sah dan bagus saja, misalnya, terpukau pada kemilau prestasi Finlandia. Tapi, harus tuntas pula memandang bahwa Finlandia melakukan proses reformasi satu generasi secara berkelanjutan sejak dekade 80-an sampai sekarang (Sahlberg, 2009). Praktik yang berjalan di sana memiliki pijakan platform yang dibangun lama dengan kedisiplinan tinggi dan perencanaan serta analisis kondisi yang cermat.
Jika harus meniru Finlandia, tentu bukan dengan mencangkokkan kurikulum dan model pembelajarannya di pendidikan Indonesia, melainkan semangat, ketekunan, ketelitian dan kesabarannya dalam berubah. Latar belakang kultur, sosio-ekonomi, dan alam menentukan konten dan karena itu perencanaan proses.
Satu lagi, dalam hal penyiapan sumber daya guru, Finlandia tidak membuat program sertifikasi sepuluh hari untuk menjadikan profesi guru incaran nomor satu karena remunerasinya yang memikat. Di sana ada sistem mekanisme penyaringan terpadu yang ketat sejak jenjang sekolah menengah.
Benar kata Menteri Anies Baswedan bahwa masalah pendidikan bangsa ini bukan pada kurikulum, tapi pada guru. Tugas, tanggung jawab, dan beban guru itu besar dan mulia, bukan sekadar memastikan angka UN yang tinggi. Jika disepakati demikian, maka evaluasi kinerja guru juga seharusnya menjadi bagian elementer dan mendapat perhatian besar (bahkan seharusnya lebih besar dari UN) dalam konteks keharusan evaluasi pendidikan secara komprehensif.
Memang belum sempurna, tapi siklus kerja tahunan para guru di Sekolah Batutis Al-Ilmi di Pekayon, Bekasi, Jawa Barat, yang menerapkan Metode Sentra, misalnya, bisa memberi gambaran yang utuh bagaimana ruang lingkup pekerjaan guru terkait dengan kurikulum. Di awal tahun, mereka duduk bersama mengevaluasi kelayakan dan efektivitas konten kurikulum, cara penyajiannya, hambatan, dan kendala.
Dari situ mereka menyusun materi kurikulum, untuk diterjemahkan ke dalam rencana pembelajaran dan strategi kelas. Ada tugas evaluasi melekat bukan hanya pada keterampilan anak mengerjakan soal ujian, tapi juga pada pekerjaan mereka sendiri.
Jadi, patut ditanyakan kepada Menteri Anies apa rencana yang sudah disiapkan untuk mengevaluasi mekanisme rekrutmen guru, peningkatan mutu guru, sebelum mengevaluasi akuntabilitas para guru dan sekolah? Ya, begitu banyak hal yang lebih penting, dan hidup anak-anak memang bukan hanya untuk UN, Pak Menteri.