Jumat, April 19, 2024

Bom Istanbul: Turki di Tengah Pusaran ISIS

Muhammad Ja'far
Muhammad Ja'far
Ketua Pusat Kajian Strategis Hubungan Indonesia-Timur Tengah
bandara-ataturk
Aparat keamanan menjaga Bandara Ataturk di Istanbul. Foto: BBC

28 Juni 2016, bom bunuh diri mengguncang Bandara Ataturk, Istanbul, Turki. 36 jiwa dinyatakan tewas. Perdana Menteri Turki Binali Yildirim menyatakan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sebagai pelakunya. Ini bom keenam kalinya yang mengguncang Turki, hanya dalam 6 bulan terakhir. Korban tewas total sudah lebih dari 100 jiwa.

Turki merupakan negara yang tepat berada di tengah-tengah pusaran ISIS. Secara geografis, Turki memiliki posisi yang strategis dan menjadi pintu masuk-keluarnya anggota ISIS. Selama ini anggota dan simpatisan ISIS dari berbagai negara terjun ke medan perang di Suriah melalui pintu Turki. Para jihadis ISIS asal Indonesia juga lewat jalur ini. Demikian juga sebaliknya: anggota ISIS keluar dari sarangnya melalui Turki juga.

Oleh karena itu, pengetatan jalur perbatasan Turki menyulitkan anggota ISIS untuk mobilisasi. Penutupan pintu perbatasan relatif mengurangi kekuatan ISIS. Namun, di sisi lain, langkah penutupan ini dilematis, karena membuat para imigran tak bisa eksodus ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Padahal, secara kemanusiaan, kondisi mereka semakin hari semakin memprihatinkan.

Di sini, terjadi tarik menarik antara kelompok yang pro-penutupan perbatasan dengan yang menolak. Beberapa negara Eropa lebih memilih opsi penutupan, karena eksodus imigran sangat menyulitkan mereka. Belum lagi ancaman keamanan yang bakal timbul jika teryata dari para imigran yang masuk ke Eropa menyusup anggota ISIS.

Sementara itu, lembaga kemanusiaan internasional cenderung mendorong Turki untuk membuka pintu perbatasannya, demi keselamatan jutaan jiwa manusia. Membuka pintu perbatasan juga lebih meringankan beban Turki, karena imigran hanya “numpang lewat” di daerahnya, tapi tidak menetap. Dengan demikian, Turki tidak harus menanggung biaya sosial dan ekonomi yang berat.

Sekadar informasi, Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menekan Ankara untuk menampung mereka dengan mendirikan tenda-tenda.

Jadi, karena posisi geografisnya yang strategis, Turki dihadapkan pada dilema. Erdogan pernah mengancam akan membuka gerbang perbatasan dan membiarkan para pencari suaka membanjiri Eropa. Ini dia lakukan ketika permintaan bantuan untuk pembiayaan pengungsi tidak direspons aktif oleh negara-negara Eropa. Turki telah menampung 2,5 juta pengungsi dari Suriah dan Irak, namun tak satu pun negara-negara koalisi, PBB, dan Uni Eropa membantu keuangan.

Erdogan merasa dibiarkan sendiri menanggung dampak ISIS. Turki menyatakan telah menghabiskan dana sebesar US$9 juta untuk pembiayaan pengungsi, terhitung sejak perang saudara di Suriah pecah. Sementara PBB baru menggelontorkan dana US$ 500 ribu bagi pengungsi.

Sebenarnya sudah ada komitmen Uni Eropa dengan Turki untuk memberikan bantuan dana sebesar 3 miliar euro (Rp 45 triliun) untuk urusan pengungsi. Namun, saat itu dana tak kunjung cair (theguardian.com, 12/2/2016)

Selain daratan, Turki juga strategis dari sisi wilayah udaranya. Beberapa serangan militer untuk melumpuhkan ISIS ditempuh lewat “meminjam” pangkalan udara Turki sebagai basisnya. Kesediaan Turki mengizinkan wilayah udaranya ini membuat ISIS marah dan menyebut Presiden Turki Tayyib Erdogan sebagai pengkhianat.

ISIS menyerukan pendukungnya untuk menaklukkan Istanbul dengan teror. Tentu “tak ada makan siang gratis” untuk semua fasilitas militer yang dipinjamkan Erdogan. Ini dimanfaatkannya untuk menaikkan daya tawar politik Turki di hadapan negara-negara Eropa. Menaikkan marwah politik sangat penting bagi Erdogan, karena ia ingin negerinya diakui sebagai bagian dari Eropa. Ini momentum yang tepat untuk melakukan itu.

Eropa sendiri disergap dilema. Di satu sisi, Eropa saat ini sangat membutuhkan Turki untuk menanggulangi ISIS dan krisis pengungsi. Tapi, di sisi lain, secara eksistensial sulit bagi Eropa untuk merasa “satu saudara sekawasan” dengan Turki. Selama ini Eropa tidak menerima proposal Turki untuk bergabung dengan Eropa.

Sebenarnya agak ironis, ketika beberapa negara Eropa sedang ingin keluar dari Uni Eropa mengikuti jejak Inggris, Turki justru bersemangat untuk bergabung.

Persoalan lain yang juga terkait dengan dilematisnya posisi Turki di tengah pusaran ISIS adalah soal penjualan minyak di pasar gelap. Mengelola sebuah kelompok semacam ISIS tentu tak murah. Dibutuhkan biaya sangat besar untuk menggerakkan roda organisasi ini. ISIS mendapatkannya dari menjual minyak teritori yang dikuasainya ke pasar gelap. Diperkirakan ISIS meraup US$1,5 juta (Rp 19 miliar) per hari dari ekspor minyak ilegalnya.

Minyak ISIS laris manis di pasar gelap, karena harganya separuh dari normal. Dana yang diperoleh dari minyak ini seperti oksigen bagi ISIS. Jika jalur ini bisa diputus, dampaknya akan signifikan terhadap “usia hidup” ISIS.

Di sini muncul pertanyaan: melalui jalur mana ISIS mengirimkan minyak dagangannya? Rusia menuduh Turki memfasilitasi penjualan minyak ISIS ke pasar gelap. Posisi geografis Turki yang strategis memang jalur paling masuk akal bagi ISIS untuk mengirimkan minyaknya ke pembeli.

Wakil tetap Rusia di PBB , Vitaly Churkin, mengatakan mayoritas minyak ISIS dijual melalui jalur Turki. Bahkan Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan alasan penembakan pesawat tempur Rusia oleh Turki demi melindungi pasokan minyak dari ISIS ke Turki. (antaranews.com, 1/12/2015).

Tapi, Ankara membantah keras tuduhan Moskow itu. Erdogan mengecam keras tuduhan tersebut dan meminta dasar buktinya. Itulah beberapa konsekuensi politis-ekonomi-sosial yang ditanggung Turki, karena posisinya yang berada di tengah-tengah pusaran ISIS. Di satu sisi, Turki menanggung beban dan resiko.

Aksi bom bunuh diri yang massif melanda Turki selama ini merupakan bagian dari dampak yang ditanggungnya itu. Turki menjadi pelampiasan kemarahan ISIS. Selain itu, Turki juga menjadi wilayah yang paling dekat untuk dijadikan sasaran teror oleh ISIS. Namun, di sisi lain, Erdogan juga memanfaatkan momentum ini untuk menaikkan daya tawar politiknya ke Eropa. Erdogan juga menggunakan ini untuk menguatkan pengaruh politiknya di kawasan. Alhasil, berada di pusaran ISIS membuat Turki disergap dilema.

Bagaimana dengan tesis tentang identitas kebangsaan Turki? Turki berusaha untuk mengasimilasi tiga entitas: Islam, Eropa, dan Asia. Sejak lama imajinasi kebangsaan Turki adalah ingin menyatukan tiga varian tersebut. Turki sangat mendambakan untuk “menjadi” Eropa, walaupun secara geografis dan identitas sebenarnya Asia.

Turki juga sangat terobsesi untuk mengkompatibelkan Islam dan modernitas (demokrasi), meski seringkali tidak terjadi kompatibilitas antar keduanya. Turki ingin menjadi negara representasi wajah Islam yang relevan dengan realitas global. Imajinasi kebangsaan Turki sebenarnya masih dibekap dilema. Turki masih terombang-ambing tiga varian tersebut. Sama dengan dilema yang dihadapi Turki di tengah pusaran konflik ISIS saat ini.

Muhammad Ja'far
Muhammad Ja'far
Ketua Pusat Kajian Strategis Hubungan Indonesia-Timur Tengah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.