Jumat, Maret 29, 2024

Tsamara Yes, Jadi Menteri No! [Sebuah Tanggapan]

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Sungguh menarik membaca ulasan Ibrahim Ali-Fauzi tentang kiprah Tsamara Amany. Memang, sejauh ini Presiden Joko Widodo seperti memberi peluang besar bagi para milenial untuk duduk di jabatan politis yang tak tanggung-tanggung, yaitu sebagai menteri.

Semangat Jokowi untuk memberi peluang besar ini pantas diapresiasi. Semakin pantas pula jika kelak Jokowi tak hanya berwacana, tetapi langsung memberi jabatan itu kepada para milenial (apalagi kalau di bawah umur 30 tahun). Katakanlah pemberian ini sebagai proyek coba-coba. Meski demikian, proyek coba-coba tak selalu berakhir buruk, bukan?

Atau, supaya tak berlabel proyek coba-coba, bukankah banyak stok generasi milenial kita yang sudah sukses di ranahnya masing-masing: bisnis, bahkan politik? Ajaibnya lagi, kesuksesan mereka diperoleh dengan cara yang tak biasa. Bahkan bisnis mereka sangat jauh di luar dugaan kaum awam.

Karena itulah ada pada suatu masa mereka disebut sebagai orang gila dan ide mereka sebagai kebodohan. Namun, waktu kemudian membuktikan bahwa tak selamanya kebodohan adalah kebodohan. Justru kadang kebodohan hanya cara bagi kita untuk bersembunyi dari ide-ide cerdas.

Hanya karena kita tak bisa mencerna ide itu, maka kita menyelamatkan diri dengan menyebutnya sebagai kebodohan. Sama pada masa Copernicus. Karena idenya yang menyebut bumi hanya bagian kecil dari langit, semua orang menghujatnya sebagai orang bodoh.

Kurang lebih hal demikian juga yang pernah dialami oleh generasi milenial kita. Namun, siapa sangka secara ajaib kebodohan itu menjadi sebuah kemudahan yang istimewa di era ini. Achmad Zaky, misalnya. Di awal merintis usahanya, orang-orang pada sinis. Perjalanannya benar-benar tak mulus. Namun, kini, siapa yang tak kenal pemilik Bukalapak ini?

Masih banyak nama lain. Di bidang politik, sekelompok anak muda gotong royong membangun Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Belum berhasil memang. Tetapi, umur partai ini masih sangat muda. Jadi, kita belum bisa menghakimi partai ini sebagai partai gagal. Siapa yang bisa menyangkal bahwa jangan-jangan di kemudian hari partai ini akan besar? Potensi itu ada.

Ya, memang, sejauh ini trik mereka dalam mendapatkan para kader dan simpatisan bisa dianggap sepele dan lebay oleh partai-partai tua. Tetapi, sepele dan lebay di masa ini bukan jadi jaminan disepelekan di masa depan, bukan?

Nah, tujuan saya menyodorkan fakta ini sederhana: Pak Jokowi, jangan anggap sepele generasi milenial. Idenya barangkali saat ini bisa kita ledek sebagai kebodohan yang hakiki. Tetapi, ingat, jangan-jangan kita menyebut ide itu bodoh hanya karena kita tak bisa mencernanya dengan baik, bukan?

Bukan Meledek Tsamara

Baiklah, saya anggap Pak Jokowi sudah mulai yakin bahwa generasi milenial itu bisa diandalkan. Setelah itu apa? Mari kita bahas siapa tokoh yang bisa diandalkan itu. Kebetulan sekali Ibrahim Ali-Fauzi menyodorkan tokoh milenial yang keterkenalannya bagaikan selebriti: Tsamara Amany.

Saya tak sedang meledek Tsamara di sini. Namun, pertanyaan ini harus saya ajukan: cocokkah Tsamara jadi menteri? Kalau cocok, apa dasarnya? Sukses apa, misalnya, yang sudah ia suguhkan? Apakah modal ratusan ribu suara pada Pemilu 2019 lalu bisa jadi bukti sahih bahwa ia sudah piawai dalam politik?

Ya, menteri tak harus dijabat oleh sosok yang berhasil dalam politik. Ada Susi Pudjiastuti, misalnya. Ada Sri Mulyani Indrawati. Ada Ignasius Jonan. Mereka ini bukan politisi. Tetapi, siapa pun tak meragukan lagi kemilaunya kinerja mereka di bidang yang sesuai dengan kementerian mereka.

Susi Pudjiastuti, misalnya, sudah berjibaku dari daratan, mulai bagaimana menghadapi preman sesungguhnya hingga preman kerah putih. Siapa meragukan Sri Mulyani dalam mengelola ekonomi? Siapa yang tak kagum pada Ignasius Jonan.

Nah, sekarang, kembali ke pokok persoalan: sukses Tsamara Amany apa? Politik belum. Karier juga. Lantas, apa? Apakah hanya karena Tsamara Amany masih berumur milenial, maka ia bisa jadi menteri? Kalau sebatas itu, tanpa malu, aku (maaf, saya pilih kata aku saja) pun bisa, kok, menyodorkan diri sebagai menteri.

Maaf, saya tak sedang menyepelekan Tsamara Amany. Bagaimanapun, ia ada salah satu sosok fenomenal. Usianya masih muda. Namun, siapa bisa meragukan keberaniannya yang menyala-nyala dan berkobar-kobar? Jenis kelaminnya perempuan. Namun, siapa pula yang bisa meragukan sikapnya yang sering kali jauh lebih jantan daripada lelaki.

Sangat terhitung perempuan yang bersikap seperti Tsamara. Masalahnya, apa cukup hanya sebatas itu? Tidak. Sama sekali tidak. Keberanian yang membabi buta tanpa perhitungan kadang akan membawa dampak buruk, kok. Berani, ya, berani.

Tetapi, dengan modal berani saja tak cukup. Kurang berani apa coba para begal, pencopet, dan perampok? Milenial, ya, milenial. Tetapi, apa itu cukup?

Ibrahim Ali-Fauzi menyebut pos Kementerian Pariwisata sebagai yang cocok untuk Tsamara. Ya, nomenklatur kementerian ini memang dekat dengan jiwa milenial yang suka melancong dan berpetualang: dari akar gunung ke puncak gunung; dari seberang pantai ke tengah laut; dari hutan alami ke hutan buatan; dari kota tua hingga kota kontemporer. Kurang-lebih seirama dengan yang tertulis dalam profil singkat Ibrahim Ali-Fauzi (baca: suka melancong!) yang saya baca.

Tetapi, menjadi menteri pariwisata tak sesederhana melancong dan berpetualang. Tugas menteri ini tak sebatas meresmikan berbagai pilot project pariwisata yang baru. Perlu ide visioner. Tsamara Amany mungkin saja punya ide. Tetapi, siapa yang sudah tahu ide itu. Dan, kembali ke pertanyaan mendasar: rekam jejak apa yang sudah berhasil ditunjukkan Tamara Amany di bidang pariwisata?

Kedua, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Benar, narasi informatika dengan perangkat teknologinya sangat dekat dengan generasi milenial. Pos ini sebaiknya jangan untuk generasi tua.

Benar sekali generasi tua sudah malas. Benar bahwa kini banyak juga generasi tua yang keranjingan gawai. Mereka bahkan terkadang lebih aktif di media sosial daripada orang muda. Tetapi, orang tua itu umumnya hanya konsumen saja, bukan? Mereka seperti hanya merayakan masa lalu mereka yang suram.

Perhatikanlah banyak orang tua yang jauh lebih rajin meng-update status daripada orang muda, bukan? Bahkan kadang setiap peristiwa mereka abadikan, lho. Bukankah itu cenderung sebagai alat mereka untuk melunasi masa lalu mereka yang suram daripada cara mereka untuk berkarya?

Maka, kadang saya merasa geli ketika orang tua melarang anaknya “nakal”, padahal orang tua justru lebih sering “nakal” di media sosial. Karena itu, pos ini kurang cocok untuk generasi tua. Pos ini sebaiknya untuk kaum melinial saja. Tetapi, jujur, saya agak meragukan Tsamara Amany bisa tampil di pos ini.

Intinya, saya benar-benar meragukan Tsamara. Hanya saja, saya paham, ketika diragukan (seperti ketika disebut bodoh seperti disebut di atas), kaum milenial cenderung justru semakin gigih. Dalam pada inilah kata diragukan sebenarnya justru sinonim dengan kata potensial.

Ah, sebagai kaum milenial yang suka tantangan, saya lebih memilih untuk meragukan Tsamara Amany saja. Semoga dia bisa menjawab tantangan ini!

Konten terkait

Jika Tsamara Jadi Menteri

Sekadar Catatan untuk Menteri Dian Sastro

Grace Natalie dan Jawaban Politik Generasi “Y”

Grace dan Eksperimen Politik PSI

Dari Aida Hadzialic hingga Grace Natalie

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.