Jumat, Maret 29, 2024

Trump Versus Hillary di Mata Indonesia

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
trump-hillary
Donald Trump dan Hillary Clinton

Akhirnya Hillary Clinton menjadi presumptive candidate untuk Partai Demokrat. Presiden Barack Obama sudah mengutarakan pidato persetujuannya yang diunggah di dunia maya. Hanya satu orang yang dapat mencegah Hillary untuk menjadi presiden perempuan pertama di Amerika Serikat (AS), yaitu Donald Trump. Sebelum menghadapi Trump, ada beberapa hal yang harus Hillary lakukan.

Banyak pendukung Senator Bernie Sanders yang sakit hati dengan Hillary. Serangkaian kampanye primary yang berlangsung berbulan-bulan ternyata telah menjadi perang kata-kata antara pendukung Hillary dan Sanders, dan menyisakan luka. Hanya, sebelum Obama berorasi mendukung Hillary, Bernie Sanders sudah dipanggil oleh sang Presiden. Setelah bertemu Obama, Sanders mengeluarkan statemen yang lebih positif terhadap Hillary.

Kabarnya, pada Konvensi Partai Demokrat nanti, ada deal antara Hillary dan Sanders. Hillary direncanakan akan memperjuangkan program-program Sanders yang pro-poor, sehingga pada pemilu dipastikan umumnya pemilih Sanders tidak akan lari ke Trump. Hillary juga akan menunjuk calon wakil presiden yang dapat dipastikan membuat Sanders dan pendukungnya nyaman.

Mempersatukan Hillary dan Sanders menjadi satu paket kelihatannya ideal untuk menyetop Trump. Namun hal ini masih harus dilihat lagi karena kita belum tahu pasti bentuk kesepakatan antara Hillary dan Sanders seperti apa.

Walaupun sudah ada kesepakatan antara Hillary dan Sanders, bukan berarti Partai Demokrat bisa santai. Partai Demokrat sudah memerintah selama dua periode di AS, dan banyak sekali ketidakpuasan terhadap mereka. Sepanjang 8 tahun pemerintahan Presiden Obama, keinginannya untuk membatasi penggunaan dan kepemilikan senjata api ternyata tidak berhasil.

Tidak hanya kekerasan senjata api semakin marak, tapi juga terjadi pertumbuhan luar biasa terhadap kelompok milisi antipemerintah federal, sampai 800 persen dibanding periode sebelumnya. Apakah agenda kelompok ini? Bagaimana pertemuan kepentingan mereka dengan kandidat presiden yang ada?

Agak berbeda dengan Front Pembela Islam (FPI) atau Laskar Jihad di Indonesia, kelompok milisi di AS tersebut tidak secara terbuka membawa bendera agama. Ideologi konservatif yang mereka anut, terutama menekankan bahwa pemerintah federal tidak boleh mengambil alih hak-hak mereka. Menurut mereka, Presiden Obama sudah bergerak terlalu jauh untuk memperkuat peran pemerintah federal, seperti kebijakan Obamacare dan pengontrolan senjata api.

Walaupun sangat absurd, di mata mereka, kebijakan Obamacare yang mewajibkan seluruh warga AS memiliki asuransi kesehatan merupakan intervensi pemerintah federal yang harus dicegah dan ditangkal. Apalagi mengontrol senjata api, yang menurut mereka melawan amandemen kedua dari konstitusi AS. Pemerintah federal juga dinilai bergerak lebih jauh, dengan melakukan patroli perbatasan dengan Meksiko. Menurut mereka, pemerintah federal tidak berbuat banyak untuk mencegah imigran gelap.

Bisa dibayangkan bahwa kelompok milisi ini memiliki agenda yang sangat tumpang tindih dengan platform kampanye Donald Trump. Mereka tentu saja tidak mau kebijakan Obama dilanjutkan, karenanya mereka akan condong kontra terhadap pencalonan Hillary Clinton. Keberadaan milisi-milisi seperti ini harus diperhitungkan. Dalam konteks ini Clinton dan timnya harus punya program yang paling tidak membuat manuver kelompok milisi menguntungkan mereka.

Namun ada masalah lain. Hasil polling Pew Research Center tahun 2015 di Amerika Serikat sangatlah memprihatinkan: 37% sampel menyatakan negara mereka belum siap untuk presiden perempuan, dan 38% menyatakan perempuan harus bekerja dua kali lebih keras dari lelaki untuk menggapai posisi puncak. Tim sukses Hillary Clinton harus berhati-hati menyikapi hal ini. Negara paling kuat di dunia ternyata tertinggal dalam hal emansipasi perempuan dibanding rekan-rekannya di Eropa. Ini fakta pahit yang harus disikapi secara cerdas oleh tim sukses Hillary.

Menurut Philip Cohen, profesor sosiologi Universitas Maryland, College Park, walaupun dominasi lelaki telah melemah di AS, hal itu tetap eksis, sehingga AS tetap menjadi bangsa yang patriarki.

Kelompok konservatif Bible Belt yang kuat di selatan juga harus diperhitungkan. Menurut penulis Katryn Joyce dan Jasdye, jurnalis Forward Progressive, kelompok ini sangat mendukung patriarki. Namun satu hal yang harus ditekankan bahwa ideologi konservatif mereka sama sekali tak ada hubungannya dengan agama Kristen itu sendiri, karena dapat kita lihat negara-negara Skandinavia yang merupakan basis Gereja Lutheran ternyata sangat pro-feminis.

Di negara-negara Skandinavia, sudah sangat umum perempuan menjadi kepala negara dan pemerintahan. Di sana jumlah pendeta perempuan juga sangat signifikan. Ordonasi pendeta Lutheran perempuan juga pertama kali dilakukan di negara-negara Skandinavia, baru bagian dunia lain menyusul. Di Swedia yang Lutheran, misalnya, ada kuota minimal 30% anggota parlemen harus perempuan, sesuatu yang absen di AS.

Setya Novanto dan Fadli Zon telah mengunjungi Donald Trump tempo hari. Kasus tersebut menjadi heboh karena terkait isu Freeport. Hanya saja saat itu pencalonan Donald Trump dianggap sekadar olok-olok oleh pengamat. Saat ini pencalonan Trump sudah dipastikan dan bukan olok-olok lagi karena sudah menjadi realitas politk.

Maka, bisa dipastikan tidak mungkin kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia langsung berubah drastis, siapa pun yang kelak menjadi presiden. Jika Trump menjadi presiden, sangat tidak mungkin retorika anti-Islam yang pernah disuarakan akan diimplementasikan menjadi kebijakan praktis. Sebagai seorang pebisnis yang pragmatis, sudah tentu Trump akan menggunakan kalkulasi bisnis untuk formulasi politik luar negerinya. Bukan sekedar retorika sayap kanan yang membuat kita tidak nyaman.

Jika menjadi presiden, Trump harus menyimpan keinginannya untuk melarang imigran Muslim masuk ke AS, karena hal itu akan merugikan AS sendiri. Retorika populis sayap kanan Trump selama ini dapat diduga hanya diutarakan untuk mendulang suara kelompok konservatif dan patriarkis. Ketika Trump menjadi presiden, semua akan berbeda. Trump tidak mungkin melawan seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Jika Hillary jadi presiden, sebenarnya hal itu akan lebih mudah bagi kita. Hillary pernah berkunjung ke Indonesia dalam kapasitasnya sebagai Ibu Negara dan Menteri Luar Negeri. Maka, penyesuaian terhadap kebijakannya akan lebih mudah dan cepat. Hillary sudah dipastikan akan meneruskan kebijakan Presiden Obama (Doktrin Obama) yang melakukan pendekatan konstruktif dengan musuh-musuh AS di masa lalu, seperti yang sudah mereka lakukan dengan Kuba dan Iran.

Penerapan doktrin Obama akan menguntungkan Indonesia karena pendekatan bersahabat AS akan membuat kita memiliki posisi tawar. Sebagai negara Islam terbesar di dunia, Indonesia akan terlihat “sangat atraktif” di mata doktrin Obama. Melihat akan besarnya resistensi dari kelompok konservatif terhadap Hillary, akan sangat mungkin jika akhirnya Hillary harus sedikit menggeser program-programnya “ke kanan”, dengan tetap mempertimbangkan aspirasi pengikut Sanders.

Berhubung pengalaman politik Hillary jauh di atas Trump, seharusnya Hillary yang paling mampu memanfaatkan semua jaringannya yang sudah ditanam di swasta dan pemerintahan selama ini. Demi kursi kepresidenan itu sendiri.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.