Sabtu, Desember 14, 2024

Trump, Media, dan Era Influencer

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Hidup dengan media itu merepotkan, tetapi hidup tanpa media pun terasa mustahil—itulah cerminan hubungan Donald Trump dengan media arus utama, sebuah relasi yang penuh ketegangan dan konflik sejak ia menjabat sebagai presiden AS untuk pertama kalinya. Namun, meskipun hubungannya dengan media memang selalu rumit, obsesi anti-media Trump yang terbaru ini benar-benar membuat banyak pihak tercengang.

Setelah kembali terpilih sebagai presiden, Trump tampaknya bertekad untuk mengguncang tradisi lama di Gedung Putih, khususnya dalam hal media. Rencana tersebut terungkap melalui pernyataan putra sulungnya, Donald Trump Jr., yang dikenal sebagai sosok vokal dengan pendapat-pendapat kontroversial. Layaknya banyak pria kulit putih yang merasa punya opini setengah matang, Trump Jr. juga memiliki platform podcast untuk menyuarakan pandangannya. Lewat platform itulah, ia kembali menjadi sorotan dengan klaimnya bahwa ayahnya ingin melarang akses media arus utama ke ruang pengarahan pers Gedung Putih.

Rencana ini bukan sekadar mengatur ulang akses, tetapi menggantikan para jurnalis profesional dengan podcaster, yang dinilai lebih simpatik terhadap pandangan Trump. Dengan kata lain, era reporter berpengalaman bisa saja berakhir, digantikan oleh gelombang baru influencer yang lebih condong mendukung narasi yang diinginkan Trump. Jika benar terlaksana, langkah ini akan menjadi perubahan besar dalam cara komunikasi kepresidenan di Amerika Serikat, sekaligus mempertegas pendekatan Trump yang sering kali berani, kontroversial, dan tak terduga.

Selamat tinggal jurnalis, dan selamat datang influencer yang lebih bersimpati. Perubahan ini tampaknya menjadi visi besar Donald Trump, terutama karena kelompok influencer ini dianggap telah membantu membangun kembali pijakannya, sementara media arus utama AS justru dianggap berkhianat. Media tersebut, meskipun menyadari bahwa Joe Biden tidak cukup layak untuk mencalonkan diri kembali, memilih untuk menutup mata hingga detik-detik terakhir. Lebih jauh, dalam periode setelah itu, liputan mereka justru lebih banyak menguntungkan Kamala Harris. Ini tentu tidak membantu citra mereka, apalagi setelah hasil pemilu yang kontroversial semakin menyingkap celah besar dalam netralitas mereka. Kini, Trump tampaknya bertekad menuntut balas atas apa yang ia pandang sebagai pengkhianatan.

Namun, pertanyaannya, apakah ini alasan yang cukup untuk memusuhi media? Apakah membatasi akses mereka ke pusat kekuasaan adalah langkah yang bijaksana? Jawabannya tidak. Banayak jurnalis bukan berada sebagai pembela media arus utama AS—terutama mengingat banyak kelemahan dan bias mereka yang tidak dapat diabaikan. Namun, langkah ini sangat mengkhawatirkan karena membawa kita ke permasalahan yang jauh lebih besar. Ketika seorang pemimpin negara secara terbuka menyatakan bahwa media sosial dapat menggantikan media arus utama, dan influencer dapat mengambil alih peran jurnalis, kita sedang menyaksikan pergeseran besar dalam ekosistem informasi. Pergeseran ini bukan sekadar soal perubahan media, tetapi juga soal bagaimana kebenaran dan kepercayaan diproduksi, didistribusikan, dan diterima oleh masyarakat luas.

Seiring waktu, kepercayaan publik Amerika terhadap media arus utama terus merosot tajam. Pada tahun 1976, sekitar 72% orang Amerika masih menaruh kepercayaan pada media. Namun, hari ini, angkanya anjlok menjadi hanya 31%. Tren ini bukan hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga menjadi fenomena global. Di Eropa, misalnya, hanya 29% orang yang mempercayai media swasta. Di Inggris, angkanya sedikit lebih tinggi, yaitu 36%. Sementara itu, di India, tingkat kepercayaan mencapai 41%, meskipun tetap tergolong rendah.

Apa yang menyebabkan kepercayaan terhadap media berita terus menurun? Penyebab utamanya adalah proliferasi berita palsu dan bias media, seperti bias liberal yang sering dikaitkan dengan media di AS. Ketika media arus utama gagal menjaga kredibilitas dan netralitas, konsekuensinya menjadi jelas. Orang-orang mulai kehilangan kepercayaan dan beralih ke sumber berita alternatif.

Dalam kekosongan ini, influencer muncul sebagai kekuatan baru dalam lanskap informasi global. Data menunjukkan bahwa hanya 33% orang yang masih mengandalkan media arus utama untuk mendapatkan berita. Sebaliknya, lebih dari 50% masyarakat kini mengakses berita mereka melalui media sosial seperti TikTok dan Instagram.

Platform-platform ini menawarkan akses yang mudah, tidak memerlukan biaya langganan, dan menyajikan berita dengan cara yang lebih menarik atau bahkan menghibur. Namun, pergeseran ini juga membawa risiko besar, karena konten di media sosial sering kali tidak diverifikasi dengan ketat seperti yang dilakukan oleh media tradisional, sehingga memperbesar peluang penyebaran informasi yang tidak akurat atau menyesatkan. Dengan semakin banyak orang yang mengandalkan platform ini untuk informasi, tantangan terhadap kredibilitas dan kepercayaan pada berita semakin kompleks.

Platform media sosial memiliki daya tarik besar. Mereka mudah diakses, biasanya bebas dari paywall, dan membuat konsumsi berita terasa hampir menyenangkan, bahkan menghibur. Tak heran jika banyak orang kini lebih memilih media sosial untuk mendapatkan informasi. Memang, ada manfaat dari kemudahan ini. Tetapi, mari kita akui, risikonya jauh lebih besar daripada manfaatnya.

- Advertisement -

Penelitian terbaru dari UNESCO memberikan gambaran yang mengkhawatirkan. Dari setiap 10 pembuat konten di media sosial, enam di antaranya tidak memverifikasi informasi yang mereka bagikan. Sebanyak enam dari sepuluh juga memilih sumber berdasarkan popularitas, bukan kredibilitas, dan hanya lima yang secara terbuka mengungkapkan siapa yang mensponsori konten mereka.

Berbeda dengan media arus utama, media sosial tidak menempatkan akurasi sebagai prioritas. Kredibilitas sumber juga sering kali diabaikan. Para influencer tidak memiliki kewajiban untuk mencantumkan informasi secara jelas atau mengungkapkan sumber pendanaan mereka. Mengapa? Karena lebih dari seperempat influencer bahkan tidak mengetahui adanya regulasi yang mengatur hal ini. Mereka yang sadar akan regulasi pun tidak merasa terikat untuk mematuhinya, karena media sosial masih seperti “Wild West”—dunia yang penuh kebebasan tanpa aturan yang jelas dan tegas.

Maka, meskipun Donald Trump mungkin membayangkan dirinya sebagai koboi baru di tengah kekacauan informasi ini, ia harus menyadari bahwa langkahnya mengganti media arus utama dengan influencer tidak membawa solusi, tetapi justru memperburuk situasi.

Ya, media arus utama memiliki banyak kelemahan yang harus diperbaiki. Ya, sistem yang ada sekarang penuh dengan cacat. Ya, ada krisis besar dalam hal kredibilitas berita. Namun, mengubah definisi tentang siapa yang layak disebut sebagai jurnalis bukanlah jawabannya. Alih-alih memperbaiki sistem, langkah seperti ini hanya akan mempercepat keruntuhan kepercayaan terhadap seluruh ekosistem informasi. Jika tidak hati-hati, kita akan terjebak dalam dunia di mana informasi kehilangan nilainya dan kebenaran menjadi semakin sulit dipilah.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.