Selasa, Oktober 8, 2024

Tristram Shandy: Cederanya Maskulinitas

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Tristram Shandy (1759-1767), lengkapnya The Life and Opinions of Tristram Shandy, Gentleman, boleh jadi adalah novel paling maskulin yang pernah ditulis Laurence Sterne (1713-1768). Ia adalah seorang pendeta paruh baya yang sudah lama menikah dan tidak bahagia ketika dia memulai novelnya. Dia tidak tertarik dengan dilema pernikahan anak muda. Novelnya bisa dibilang lucu, tetapi sepenuhnya menghilangkan struktur komik (kelucuan) karena dipinjam dari lakon—tidak ada akhir yang bahagia, dilambangkan dengan serangkaian pernikahan, dan yang benar-benar menarik bukanlah pernikahan dan uang tetapi interaksi antara pikiran individu dan keadaannya.

Sumber novel ini adalah khotbah, risalah ilmiah dan filosofis, sejarah militer, anekdot, dan percakapan. Ia disusun dan dibuat sebagai karya berseri sejak terbitan pertama, seperti serangkaian khotbah. Ia sebuah sensasi yang diperjuangkan dengan kerja keras oleh Sterne sepanjang hidupnya untuk bertahan. Novel ini mendapatkan apresiasi dari para kritikus dan penulis abad ke-20 yang sangat menghargai sisi kerumitan dan kesadaran diri yang terkandung dalam novel ini.

Catatan penjelasan dalam edisi Penguin mencapai 130 halaman dengan ketikan huruf kecil, dan itu pun tidak cukup. Pembaca mungkin tidak sepenuhnya memahami novel ini. Ini karena novel tersebut tidak hanya sarat dengan referensi yang tidak jelas dan ditulis dengan gaya nonlinier yang tinggi dan bahkan agresif, tetapi juga sarat dengan halaman-halaman kosong, kiasan yang tidak jelas dan informasi tersirat yang dinyatakan melalui rangkaian tanda bintang (asterisk). Rasa malu menjadi tema krusial dalam karya sastra ini.

Novel ini dibuka dengan konsep tentang Tristram dan sejumlah lelucon atau tragedi. Hal-hal itu di antaranya saat ayah Tristram (Walter) mengalami puncak kegembiraan, sikap ibunya yang mengingatkan Tristram agar jangan lupa memutar jarum jam. Ini mengalihkan perhatian Tristam dan menyebarkan “roh-roh binatang yang bertugas untuk mengawal dan pergi bersama dengan Homunculus, dan membawanya ke tempat yang aman.”

Walter, Toby (saudara Walter), dan Trim (teman Toby) adalah karakter-karakter dalam novel. Walter adalah seorang filsuf, autodidak dengan banyak gagasan dan eksentrik. Toby adalah seorang veteran kampanye awal abad ke-19 di benua Eropa dan menderita luka misterius dengan luka di selangkangannya. Trim juga adalah seorang veteran yang terluka.

Kedua bersaudara itu (Walter dan Toby) tinggal berdekatan satu sama lain. Sementara Toby dan Trim sibuk mereproduksi miniatur di gelanggang bowling milik Toby dan membaca kisah pertempuran dan pengepungan di surat kabar. Meskipun ketiganya dan tokoh laki-laki lainnya (Dr. Slop dan Yorick sang Kurator) menganggap diri mereka golongan ‘duniawi’ dan terkini, pada kenyataannya mereka adalah tokoh-tokoh polos yang radikal dan tidak gampang digoda atau dibeli. Sikap mereka kontras dengan karakter perempuan, semisal Ny. Shandy, Susannah, seorang bidan, dan janda Wadman, yang mengabaikan pentingnya gagasan dan lebih mendukung hal-hal praktis.

Tristram dirusak oleh empat peristiwa penting: pertanyaan ibunya yang tidak tepat, hidungnya diremukkan saat lahir, kegagalan Susannah untuk menyebutkan nama yang tepat (“Trismegistus” alih-alih Tristram) saat pembaptisan, dan saran Susannah bahwa daripada buang air kecil di pispot, anak kecil buang air kecil ke luar jendela saja.

Sayangnya, selempang jendela jatuh pada saat itu sehingga menyebabkan kegiatan sunat yang tidak terduga. Tapi yang meremukkan Tristram bukan oleh kejadian-kejadian itu saja, tapi juga oleh keyakinan Walter bahwa kejadian-kejadian tersebut membentuk karakter dan nasib anak. Itulah kenapa novel berulang kali menyajikan dilema ini: apakah peristiwa itu sendiri atau interpretasinya yang menentukan hasilnya?

Paman Toby kian menjadi tokoh sentral. Volume terakhir novel ini memperlihatkan bagaimana dia menggoda tetangganya, janda Wadman.  Janda Wadman sebetulnya mencintai Toby. Tetapi sebelum menerima lamaran Toby, dia ingin mengetahui sifat dan efek dari luka di selangkangnya. Toby tidak banyak berhubungan dengan wanita sehingga tidak begitu memahami fakta kehidupan. Ketika Trim mengungkapkan kepada Toby apa yang ingin diketahui janda itu dan mengapa, dia diliputi, meskipun begitu halus, oleh rasa malu yang fatal atas cintanya kepada wanita itu.

Rasa malu sebagai tema dalam karya Sterne ini sangat terkait dengan tampilan maskulinitas yang terbuka. Toby dan Trim adalah peminat atau penghobi perang. Mereka kerapkali melakukan aktivitas yang sangat merugikan diri sendiri. Saat berlangsungnya pertemuan ketika para pendeta memperdebatkan suatu doktrin, sebuah kacang kastanye panggang yang panas jatuh ke salah satu dari mereka.

Orang-orang menghubungkan cedera Toby dengan kejahatan yang dilakukan Yorick. Belakangan, saat Trim tengah bersenang-senang dengan seorang juru masak yang bekerja untuk janda Wadman di salah satu jembatan model milik Toby, jembatan tersebut runtuh dan kembali melukai lutut Trim.

Semua tokoh pria dalam novel Sterne ini hidup di dunia di mana aktivitas pria dikelilingi bahaya cedera atau rasa malu yang konstan dan langsung terhadap maskulinitas itu sendiri. Wanita dinilai mengabaikan atau tidak memiliki kecerdasan untuk mengerti semua ini. Upaya Walter untuk mencegah bahaya ini sia-sia. Dia kehilangan putra sulungnya (Bobby) dan nasib aneh (tidak sepenuhnya terungkap) menimpa putra bungsunya (Tristram), terlepas dari sistem yang sudah dipikirnya masak-masak, yang meliputi pembentukan “Tristra-pedia,” pekerjaannya dalam mendidik putranya, yang begitu mengalihkan perhatiannya dari Tristram sendiri sehingga putranya itu dibiarkan terlalu lama di tangan para wanita.

Kecerobohan juga tampak nyata seiring dengan rasa malu dalam novel ini. Tapi ini merujuk kepada kecerobohan dalam lingkup privasi dan kekuatan sindiran alih-alih berbicara tentang kekotoran budaya yang norak, realistis, dan terbuka ala Fielding, Defoe dan Richardson.

Masing-masing dari penulis besar abad ke-18 ini mengangkat seksualitas terbuka pada masa itu dan membahasnya dengan cara yang berbeda. Bagi Defoe masalahnya adalah rasa bersalah, untuk Fielding menyangkut pembusukan sosial dan buat Richardson terbuhul erat dengan nilai individu yang berseberangan dengan kekuatan sosial. Adapun Stern menyorot pengalaman rasa malu yang tak terhindarkan dan tak terhapuskan.

Tristram Shandy juga mengingatkan kita bahwa novel itu tidak diciptakan sebagai karya menarik. Dalam beberapa hal novel ini bahkan tidak diciptakan sebagai sebuah novel, karena Sterne menulis jilid-jilid selanjutnya yang berada di luar rencana awal sebagai cara untuk memperpanjang kesuksesannya. Alur terkesan minimal dan gaya penulisan menjadi prinsip pengorganisasian tulisan. Dan suspense hanyalah sebuah kelebihan novel, bukan unsur yang diperlukan.

Tristram Shandy seringkali memesona dan bahkan mendalam. Saat membacanya, pembaca mungkin sama sekali tidak peduli bahwa novel ini tidak diceritakan secara meyakinkan sebagai sebuah cerita. Membaca Tristram Shandy terasa seperti menguping sensibilitas yang amat unik dengan cara yang akrab dan mesra.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.