Minggu, November 24, 2024

Sejak Kapan Kajian Pernikahan Menjadi Tren di Masjid Kampus?

Kalis Mardiasih
Kalis Mardiasih
Periset dan anggota tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian.
- Advertisement -

Bagi saya sebelum masuk universitas, kader-kader militan mesjid kampus yang rajin menyambangi SMA saya untuk memberi kajian (liqa) adalah semacam role model. Dari mereka saya mendengar sebuah buku berjudul Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus yang terdengar begitu eksotis sekaligus heroik.

Kelak, saya benar-benar tinggal selama bertahun-tahun di sebuah asrama yang berisi aktivis masjid kampus dan membaca buku tersebut. Betapa merinding saya membaca gagasan tentang masjid yang bukan sekadar pusat ibadah ritual (mahdlah), tetapi juga memiliki warisan kultural sebagai pusat ibadah sosial. Masjid adalah pusat pembangunan kesadaran yang punya potensi sebagai pusat dan penggerak aktivitas umat.

Namun, itu kata buku. Di keseharian, ketika berkunjung ke kos seorang teman muslimah, ia sedang sangat serius membaca buku-buku bertema pernikahan karya Salim A. Fillah atau Mohammad Fauzil Adhim. Saya baru tersadar bahkan sudah membaca buku-buku itu sejak SMA. Kader pengajar liqa masjid sekolahku meletakkan buku-buku itu di perpustakaan musala.

Terkadang memang ada materi pergerakan mahasiswa. Meskipun belakangan saya tersadar bahwa masing-masing komunitas memiliki sejarah masing-masing yang ia puja sendiri, bahkan rela menjadi bodoh untuk mengagungkan satu versi sejarah. Anak masjid kampus mengagumi sejarah reformasi 1998 versi ketokohan Amien Rais meski sesungguhnya pemerintahan Soeharto tetap tumbang dengan atau tanpa Amien Rais. Reformasi 1998 adalah satuan dari gelombang-gelombang kecil yang terus bergerak di berbagai kota, terlalu banyak elemen yang punya peran dan akan sangat picik untuk menggelarkan Bapak Reformasi kepada satu nama saja.

Tetapi kajian semacam itu terasa sedikit sekali. Para senior rajin mengajak ke Islamic Book Fair lalu pulang dengan buku-buku bertema pernikahan. Sebetulnya, bukan salah mereka, tetapi memang buku-buku semacam itu yang nangkring rapi di rak-rak Islamic Book Fair.

Ketika para senior muslimah itu menginjak semester lima, tiba-tiba aku mendengar kabar bahwa dua-tiga nama menikah. Desas-desus terdengar, bahwa beruntung sekali senior yang seorang sekretaris organisasi, akhirnya berpasangan dengan akhi A yang seorang Ketua komisariat. Mereka diibaratkan bagai Azzam dan Anna Althafunnisa dalam serial Ketika Cinta Bertasbih.

Ketika itu, menikah cepat dianggap sangat keren dan prestasi. Dalam hatiku, apa kader-kader yang hanya kroco alias staf jika kelak berjodoh dengan orang di luar organisasi lalu enggak keren? Ada-ada saja.

Jangan percaya buku atau seminar motivasi pernikahan yang bilang bahwa menikah tidak menghalangi aktivitas bla-bla-bla. Sebab para senior muslimah yang tiba-tiba berumah tangga otomatis hilang juga dari peredaran organisasi. Namanya orang berumah tangga, apalagi sebelum mapan, pastilah akhirnya berjuang untuk memenuhi kebutuhan, belum lagi kemudian anak pertama lahir, lalu menyusul anak kedua.

Untunglah kehilangan role model ternyata enggak buruk-buruk amat. Saya kabur dari masjid kampus dan berkenalan dengan organisasi mahasiswa liberal yang dulu masuk dalam daftar organisasi sesat menurut masjid kampus. Yah, minimal di organisasi sesat itu saya berjumpa dengan Kuliah Tauhid karya Muhammad Imaduddin Abdulrahim dan Pergolakan Pemikiran Islam-nya Ahmad Wahib.

Karena sudah terlanjur sesat, ya sudahlah, sekalian berkeliling dari lingkar kebudayaan satu ke lingkar kebudayaan lain.

- Advertisement -

Tentu saja saya tidak bercita-cita seperti senior saya di organisasi sesat yang berharap jadi Tan Malaka. Mereka kadang-kadang juga mencandai ungkapan yang konon berasal dari Sokrates: Menikahlah! Jika istrimu baik, kau akan bahagia. Jika istrimu buruk, kau akan jadi filsuf sepertiku.

Saya jadi penasaran, sejak kapan mulanya kajian pernikahan menjadi tren di masjid kampus?

Begini. Saya tentu merasa beruntung karena pernah menjadi korban peserta semacam sekolah pranikah yang bahkan disiapkan betul-betul kurikulumnya. Belajar menyiapkan diri untuk menikah dalam delapan kali pertemuan yang dikemas dalam kelas teori maupun simulasi. Subhanallah ….

Pembukaan sekolah pranikah itu dihadiri oleh rektor. Hahahahasyu. Entah apa hubungannya tanggung jawab rektor dengan acara sekolah pranikah. Sebagai sebuah program kerja dari salah satu unit kegiatan mahasiswa di universitas, tentu saja acara itu juga melibatkan biaya dari kampus. UKM lain, katakanlah UKM Marching Band yang latihan dari petang hingga tengah malam, jelas belaka dedikasinya untuk menambah prestasi kampus dalam persaingan nasional. Begitupula dengan UKM paduan suara, teater, pencak silat juga mapala.

Tapi sekali lagi, apa sumbangsih sekolah pranikah dengan prestasi kampus? Bahkan jika seluruh mahasiswa tiba-tiba enteng jodoh, berhasil bikin resepsi dengan tenda prasmanan aneka kudapan dan minuman lima puluh biji, membina keluarga sakinah mawaddah wa rahmah wa bisa beli rumah, sepertinya tetap enggak ada urusan yang namanya kampus sama urusan perkewongan mahasiswa. Lha wong mahasiswa hamil tiga kali berturut-turut enam semester saja tetap statusnya cuti biasa, enggak peduli apa pun alasannya. Ya namanya juga universitas, bukan klinik bersalin.

Wait, jangan sinis dulu. Saya sama sekali tidak anti sunah Rasul. Lagipula, mari kita belajar menjauhi stigma. Tidak semua orang yang tidak cepat menikah sama dengan tidak ingin menyegerakan sunah, sebab ada banyak orang yang punya tanggung jawab pribadi kepada orang tua yang sedang sakit atau merasa lebih penting untuk membiayai pendidikan adik-adiknya.

Pengalaman saya mengikuti sekolah pranikah di masjid kampus itu, tentu saja mayoritas peserta adalah perempuan. Sebagian besar materi adalah dalil perihal kewajiban istri kepada suami. Ditambah, simulasinya adalah praktik memasak bersama. Sebagai anak pedagang masakan, tentu saja saya merasa jumawa.

Kebanyakan materi acara kajian nikah juga jarang menempatkan perempuan sebagai manusia (khalifah fil ardl) setelah pernikahan, sebab fokus hanya pada dalil kewajiban istri terhadap suami, bagaimana menyenangkan suami dengan jago masak, berperangai ceria, dan sejenis itu. Tidak ada elaborasi tentang peran perempuan sebagai khalifah yang juga bertanggung jawab buat kemaslahatan masyarakat.

Bayangkan kalau materi kemaslahatan umat itu ada, lalu kajian justru berbelok membahas politik ruang hidup, isu sampah dan perubahan iklim, dan ekonomi berkeadilan. Selain pesertanya makin pusing dan mikir ulang buat nikah, pasti buku-buku dan seminar pernikahan si motivator jadi enggak laku lagi.

Kalis Mardiasih
Kalis Mardiasih
Periset dan anggota tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.