#Paris, I’m sorry for what happened in Paris, but this happens every day and every moment in Palestine and Syria, and no one speaks. Demikian tulis Chantal yang mengaku tinggal di Brooklyn, New York, dalam akun twitter @OvindarChris
Mungkin agak berlebihan. Tapi memang ada teman saya yang gundah pada saat melihat sejumlah orang memasang bendera Prancis di foto profil BlackBerry dan WhatsApp, atau di akun Facebook, Twitter, dan Instagram. “Kekerasan yang terjadi seperti di Paris itu terjadi setiap hari di Palestina, Suriah, dan Irak. Mengapa mereka tidak memasang bendera negara-negara itu di foto profil,” katanya sinis.
Banyak yang “sensi” (tidak terima) dengan simpati dunia terhadap tragedi Paris. Bukan karena tidak punya rasa kemanusiaan. Apalagi karena mendukung terorisme. Lebih karena mereka merasa ada ketidakadilan. Dunia, terutama Barat yang dipelopori Amerika, dianggap tidak adil terhadap Islam. Padahal mereka yakin, para teroris itu lahir dan berkembang karena dukungan Barat juga. Dan Prancis dianggap layak menerima “hukuman” karena mendukung aksi militer Amerika di Suriah.
Tapi tidak sedikit juga di antara aktivis muslim yang serta merta mengutuk keras, sekeras kutukan orang-orang Barat terhadap terorisme. Tidak peduli siapa pelakunya. Siapa korbannya. Tindakan teror yang mengorbankan nyawa orang-orang tak berdosa adalah biadab. Harus dikutuk sekeras-kerasnya. Bukan karena pro Barat, apalagi bersimpati pada Amerika. Tapi semata-mata karena alasan kemanusiaan. Tidak ada kejahatan yang paling tinggi derajatnya di atas menghilangkan nyawa manusia yang tak berdosa. Apalagi dalam jumlah yang besar.
Bagaimanapun caranya merespons tragedi Paris yang menewaskan 129 orang dan ratusan luka-luka, yang paling penting kita tak boleh kehilangan perspektif dalam memandang tragedi kemanusiaan, juga dalam melihat Islam sebagai agama yang diyakini rahmatan lil-alamin. Banyak di antara kita, entah karena wawasannya yang sempit, atau karena kebencian terhadap Barat, telah mengabaikan prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam Islam.
Sejak dini Islam mengecam penghilangan nyawa. “Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia membunuh manusia seluruhnya” (QS, 5:32).
Bahkan dalam perang pun Rasulullah Muhammad SAW menetapkan aturan yang ketat. Tak boleh membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, orang cacat yang tak berdaya, orang yang sedang beribadah, orang yang tengah mencari nafkah, orang yang sudah menyerah, dan orang yang membaca kalimat syahadat (berislam). Tak hanya itu, menebang pohon dan membunuh binatang peliharaan pun tidak diperkenankan oleh etika perang yang diajarkan Rasulullah SAW.
Saya kira sudah sangat tepat, ketika banyak tokoh menyerukan agar tidak mengaitkan aksi terorisme dengan agama tertentu. Din Syamsuddin, Aqil Siradj, Haedar Nashir (Ketua Umum Muhammadiyah) dan bahkan Uskup Agung Jakarta Mgr Ignasius Suharyo ikut menegaskan bahwa teror yang terjadi di Paris tidak ada hubungannya dengan Islam.
Kita masih ingat, pada saat terjadi serangan teroris di New York dan Pentagon, 11 September 2001, para tokoh juga menyatakan hal yang serupa. Perdana Menteri Inggris Tony Blair (waktu itu) menegaskan 11 September tidak ada kaitannya dengan Islam. Bahkan Presiden dari negara yang nyata-nyata menjadi sasaran, George W. Bush, di depan Kongres menegaskan bahwa serangan teror 11 September jelas menyalahi ajaran-ajaran fundamental Islam.
Artinya, dalam pespektif Islam yang benar, tindakan teror sama sekali tidak ada dalam (ajaran) Islam. Karena itu, usulan guru besar UIN Jakarta, Siti Musdah Mulia, agar jumlah sekolah-sekolah Islam dikurangi untuk mengurangi terorisme sangat tidak tepat karena Islam tidak mengajarkan kekerasan.
Tapi kita juga harus menyadari sepenuhnya, seindah apa pun suatu ajaran, termasuk ajaran Islam, tidak bisa lepas dari kemungkinan deviasi atau penyimpangan pada saat bersentuhan dengan realitas. Berdirinya Negara Islam Irak dan Syria (ISIS) merupakan contoh nyata dari penyimpangan ini. Dari penamaan, organisasi kombatan ini secara tegas menggunakan Islam. Bahkan bendera yang selalu mereka kibarkan bertuliskan kalimat Tauhid (la ilaha illallah) dan Muhammad rasulullah. Secara faktual ISIS menggunakan Islam sebagai ideologi gerakan.
Ada kabar bahwa mereka (ISIS) pada awalnya dibina dan didukung kekuatan Amerika. Kalaupun kabar ini benar, sama sekali tidak menghapus fakta keterikatannya dengan Islam. Inkonsistensi dan ketidakadilan sikap Barat terhadap dunia Islam juga fakta lain yang tidak lantas membuat kita harus memaklumi, apalagi mendukung tindakan-tindakan sadis ISIS.
Harus diakui memang ada dua wajah dunia Islam yang berbeda, yakni antara yang ideal dan yang faktual. Yang pertama penuh dengan ajaran-ajaran kemuliaan, penuh sanjungan, bahkan tokoh-tokoh yang kerap diidentifikasi jauh dari sentuhan Islam pun ikut mengapresiasi ajaran Islam. Sedangkan yang kedua tidak selalu mencerminkan idealitas itu, ada sebagian yang justru mendelegitimasi Islam sebagai agama yang ramah dan menggantinya dengan amarah.
Melihat kenyataan ini, kiranya benar Farag Fauda (1945-1992), pemikir dan pegiat hak-hak asasi manusia asal Mesir, yang mengatakan bahwa Islam sesungguhnya berada di persimpangan jalan. Satu jalan sedang mengarahkan kita pada disharmoni dan konflik berdarah akibat kelalaian dan sempitnya wawasan. Sementara jalan lainnya mempertemukan Islam dengan dunia modern yang menyebutnya sebagai jalan yang sangat ramah.
Lantas, bagaimana agar Islam konsisten berada di jalan yang ramah? Kata Fauda, rute satu-satunya yang harus ditempuh adalah melalui upaya-upaya pencerahan, menyingkap terobosan-terobosan baru, dan memperluas cakrawala pemikiran. Walllahu a’lam!