Dunia sekali lagi dikejutkan dengan kasus penembakan massal. Kali ini terjadi di Orlando, Florida. Klub Pulse diserbu oleh Omar Mateen, yang bersenjata api AR-15. Korban meninggal ada 49 jiwa. Terlepas dari apa sesungguhnya motif Omar melakukan hal mengerikan itu, juga kelengahan Biro Investigasi Federal (FBI) yang melepasnya setelah dua kali mewawancarainya, ternyata Omar bisa membeli senjata AR-15 dengan mudah dan legal.
Peristiwa penembakan massal ini sudah terjadi berkali-kali di Amerika Serikat. Kita tentu masih mengingat dengan baik penembakan massal di Virginia Tech (2007). Ketika itu mahasiswa Indonesia bernama Partahi Lumbantoruan menjadi korban. Peristiwa mengerikan itu seakan sudah menjadi rutinitas di negeri Paman Sam tersebut.
Sebenarnya, konvensi Palermo, yang merupakan perjanjian internasional yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, sudah mengatur perdagangan senjata api. Hanya saja, yang diatur adalah senjata api ilegal. Yang legal tidak diatur di situ.
Yang menjadi pertanyaan kita semua, mengapa peristiwa penembakan massal mudah terjadi di AS? Mengapa senjata api sangat mudah dijual di sana?
Kita tak bisa menutup mata dengan sejarah bangsa AS yang memang berbeda dengan bangsa lain. Sewaktu imigran dari Inggris pertama kali menginjakkan kaki di Amerika Utara pada awal abad ke-17, di sana belum ada hukum, dan belum ada aparat kepolisian yang dapat melindungi mereka dari ancaman native american maupun binatang buas seperti beruang Grizzly.
Satu-satunya instrumen yang dapat diandalkan adalah membentuk milisi yang dilengkapi senjata api guna menangkal ancaman-ancaman tersebut. Milisi senjata api, yang sampai sekarang masih sangat kuat keberadaannya di AS, menjadi tulang punggung bangsa tersebut untuk memperluas wilayahnya, dari 13 koloni di pantai timur, sampai ke wild-wild west yang awalnya didominasi Meksiko.
Sejarah ekspansi tersebut diabadikan dalam novel Winnetou karangan Karl May, maupun tokoh Buffalo Bill. Agar milisi bersenjata tersebut mendapat payung hukum, Kongres AS meratifikasi Amandemen Kedua konstitusi mereka, yang mengizinkan warganya membeli dan menyimpan senjata secara legal.
Tidak hanya itu, AS juga memiliki National Rifle Association (NRA), kelompok lobi sangat kuat di Kongres. Karenanya, keinginan pemerintah Barack Obama untuk membatasi peredaran senjata api sampai saat ini tidak pernah optimal. Melihat sejarah dan politik senjata api AS yang sangat berbeda dengan bangsa lain, tentu amat sulit jika kita menilai gun culture mereka dengan standar kita sendiri.
Mencermati pola pikir ini, jika kita takut dengan ancaman perampokan bersenjata, solusinya adalah kita harus melindungi diri dengan senjata api. Konstitusi AS memberikan jaminan penuh jika kita membela diri dengan cara seperti itu.
Sejarah dan pergolakan politik kita tentu sangat berbeda dengan AS. Kita tidak mengenal gun culture maupun petualangan oportunis ala wild-wild west. Karena itu, konstitusi kita tidak mengatur hal itu secara spesifik, namun Undang-Undang Nomor 12/DRT/1951 dan Nomor 8 Tahun 1948 mengaturnya. Petunjuk teknis regulasi senjata api diserahkan kepada Surat Keputusan Kapolri, yang mengatur kaliber, eligibilitas, perizinan, dan latar belakang calon pemilik senjata.
Berdasarkan instrumen perundangan tersebut, tak mungkin semua orang bisa memiliki senjata api secara legal. Berdasarkan UU No. 12/DRT/1951, kepemilikan senjata secara ilegal diancam oleh hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara. Jadi, bisa disimpulkan, berbeda sekali dengan AS, kita mengadopsi gun control, bukan gun culture.
Biasanya, setelah melalui proses seleksi dan penapisan yang sangat ketat, yang dapat memiliki senjata api secara legal, misalnya, adalah pejabat negara maupun swasta, pengacara, dan atlet PERBAKIN, selain TNI dan Polri. Itu pun setelah senjata api digunakan, mereka harus membuat berita acara kepada kepolisian.
Kontrol senjata di Indonesia membuat kepemilikan senjata ribet, dan kegunaannya terlalu terbatas dibanding keruwetan administrasinya.
Akan tetapi, sama dengan di negara lain, senjata api dapat diperoleh di pasar gelap, dan dirakit secara gelap juga. Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Krishna Murti, senjata api rakitan di Indonesia umumnya berasal dari Lampung dan Sulawesi Selatan, dan digunakan pada musim-musim tertentu.
Senjata api rakitan ini yang digunakan oleh perampok dan pembegal, dan mereka juga dapat memberikan efek teror dalam hal tertentu. Namun, karena keandalan dan akurasi senjata rakitan tidak sebaik senjata asli, maka kepolisian selalu lebih unggul jika berhadapan dengan mereka. POLRI juga sering mengadakan razia senjata api ilegal maupun yang izinnya sudah tak berlaku lagi.
Melihat perbandingan antara kebijakan senjata api di AS dan Indonesia, kita sebenarnya bersyukur sampai sekarang tak pernah ada wacana untuk mengubah gun control menjadi gun culture. Hingga kini, walaupun terkadang dinodai oleh oknum-oknum, penegak hukum kita masih konsisten mengawasi peredaran senjata api di Tanah Air secara ketat.
Indonesia sebaiknya konsisten meniru regulasi senjata api model Eropa, di mana peredaran senjata diatur secara ketat. Sebagai contoh, Swiss mewajibkan semua warga negara prianya pada usia tertentu untuk wajib militer. Dengan demikian, semua pria dewasa di sana pernah memiliki akses ke senjata api. Hanya, karena mereka terlatih secara militer dan sangat menaati hukum, jarang terjadi penembakan massal.
Berbagai kasus penembakan massal di AS sudah membuktikan bahwa akses yang terlalu mudah kepada senjata api akan sangat memfasilitasi kejahatan skala besar (felony). Seburuk-buruknya motif kejahatan seorang kriminal, jika akses terhadap senjata api sangat dibatasi, efek buruk dari ekses kejahatannya dapat dikurangi dan dibendung secara signifikan oleh penegak hukum.