Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak gelombang pertama semakin mendekat. Persiapan penyelenggaraan terus berjalan di tengah waktu yang tak bisa menunggu. Rapatnya setiap tahapan pelaksanaan pilkada memang tanpa jeda. Sejak akhir Agustus lalu, tahapan kampanye pilkada sudah dimulai. Proses meyakinkan pemilih bagi pasangan calon ini akan terus berlangsung hingga 5 Desember 2015.
Di tengah hirup pikuk pelaksanaan pilkada, kondisi bangsa memang sedang kelam, berlatar suram. Perekonomian bangsa melemah. Salah satu yang selalu dijadikan indikator adalah semakin melempemnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Daya beli masyarakat menurun. Angka penganggguran meningkat. Pemutusan hubungan kerja (PHK) seolah sedang mewabah di beberapa sektor industri. Kondisi ini mengkhawatirkan jika belum mau disebut bahaya.
Momentum pilkada serentak yang bertemu dengan kondisi bangsa yang sedang “sakit” tentu patut diwaspadai. Kemerdekaan pemilih akan sangat diuji di tengah beban hidup yang semakin berat. Sebab, kondisi ini sangat mungkin disusupi oleh oknum calon kepala daerah dan mengambil manfaat di tengah hantaman kondisi perekonomian rakyat.
Potensi pertama adalah maraknya praktik politik uang untuk mempengaruhi pilihan pemilih. Tawaran uang dan bentuk lainnya tentu akan mudah memantik dan menggiring pemilih memilih jalan pintas ketika adanya persoalan dan kesulitan ekonomi di tengah-tengah masyarakat hari ini.
Jika kondisi ini terjadi, kualitas dan integritas pilkada akan merosot tajam. Tujuan perbaikan kualitas pilkada dari rezim yang sebelumnya hanya akan menjadi cerita kosong belaka. Pemilih tetap akan menjadi pihak yang dirugikan. Apa pun alasannya, pemilihan kepala daerah dengan didasarkan pada transaksional uang, perbaikan daerah dan kemajuan kualitas hidup masyarakat daerah tak akan pernah terwujud.
Selain praktik politik uang, di tengah olengnya kondisi perekonomian negara, pemilih akan sangat rawan untuk digiring dan dimobilisasi. Kewaspadaan terhadap hal ini berkorelasi langsung dengan keamanan dan ketertiban sepanjang pelaksanaan pilkada. Bisa dibayangkan, jika di 260-an daerah yang akan melaksanakan pilkada terjadi mobilisasi pemilih dan berujung pada bentrok fisik.
Selain potensi politik uang dan gangguan kemanan, proses pencairan dana desa sangat patut untuk diwaspadai. Terdapat 74.093 desa yang akan mendapatkan pencairan dana desa termin kedua pada pertengahan Oktober ini. Angka senilai Rp 750 juta sudah dianggarkan untuk setiap desa. Untuk termin kedua ini, pencairan akan dilakukan 40% dari total nilai dana desa. Jika dihitung, tiap-tiap desa akan mendapatkan Rp 300 juta.
Pertanyaannya, sudah sejauh mana persiapan pemerintah dengan segala perangkatnya dalam mengkoordinasi dan mengawasi proses pencairan dana desa yang akan berbenturan dengan tahapan pilkada. Dari data yang dimiliki Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terdapat 211 petahana yang mencalonkan diri kembali menjadi kepala daerah. Artinya, kewapadaan terhadap pengaruh petahana terhadap pencairan dan penggunaan dana desa harus diawasi maksimal.
Oleh sebab itu, pemerintah harus hadir untuk meredam semua potensi kerawanan. Salah besar jika pemerintah menganggap semua baik-baik saja. Pemerintah tak boleh kalah cepat dari pergerakan dan segala potensi yang dapat mengganggu pilkada serentak. Pemerintah harus memerintahkan pengawas pemilu bergerak proaktif dalam meredam praktik politik uan, dan menindak siapa pun pelakunya.
Potensi gangguan keamanan dan keteriban juga mesti menjadi fokus. Perhelatan pilkada harus dipastikan berjalan aman, tertib, dan lancar. Aparatur kemanan harus bekerja sungguh-sungguh untuk meredam segala bentuk konflik. Tantangan untuk menciptakan keamanan tentu tak bisa seperti biasa layaknya pilkada sebelumnya. Poros konflik pelaksaaan pilkada yang sangat lokal dan memiliki kearifannya sendiri tidak bisa dianggap tantangan sederhana.
Begitu juga terkait dengan pencairan dana desa. Keinginan pemerintah untuk mempermudah syarat pencairan dana desa untuk setiap kabupaten/kota tentu menjadi tantangan tambahan. Semua ide dan gagasan original terkait dengan pembangunan dan penguatan desa hanya akan jadi isapan jempol belaka, jika ditunggangi kuda troya berkelindan kepentingan dalam pemenangan pilkada.