Jumat, Oktober 3, 2025

TikTok Resmi di Tangan Amerika: Akhir dari Sebuah Pertempuran atau Awal Perang Teknologi Global?

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Setelah berbulan-bulan penuh ketegangan, drama negosiasi yang berlarut-larut, dan ancaman larangan yang sempat dilontarkan, TikTok akhirnya resmi berada dalam kendali Amerika. Ini adalah sebuah babak baru yang monumental bagi platform media sosial paling populer di dunia. Presiden Donald Trump secara resmi telah menyetujui kesepakatan yang akan mengalihkan seluruh operasional TikTok di Amerika Serikat ke tangan investor Amerika. Kesepakatan ini mengakhiri masa kepemilikan TikTok oleh raksasa teknologi Tiongkok, ByteDance, yang kini harus menyerahkan kendali penuh atas bisnisnya di AS.

Di bawah perjanjian ini, TikTok versi Amerika akan berdiri sendiri sebagai entitas terpisah. Perusahaan baru ini diperkirakan memiliki nilai fantastis, sekitar $14 miliar, dan secara resmi akan dikelola oleh sekelompok investor Amerika. Perubahan kepemilikan ini menandai momen penting dalam perang teknologi global. Dalam sebuah pernyataan yang mengejutkan, Presiden Trump mengungkapkan bahwa kesepakatan ini telah mendapat “lampu hijau” langsung dari Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Hal ini menunjukkan bahwa ada negosiasi tingkat tinggi yang berlangsung di balik layar.

“Ini sangat menarik,” ujar Trump, “Saya baru saja berbicara dengan Presiden Xi. Saya sangat menghormati dia, dan saya harap dia juga menghormati saya. Kami berbicara tentang TikTok, dan dia setuju. Ini akan dijalankan oleh investor dan perusahaan-perusahaan Amerika yang hebat, yang merupakan investor terbesar. Saya rasa tidak ada yang lebih besar dari mereka.”

Pertanyaan besar yang muncul setelah kesepakatan ini adalah: siapa pemilik baru TikTok di AS? Jawabannya mengungkap sebuah konsorsium elite bisnis Amerika, ditambah dengan sentuhan pengaruh dari Timur Tengah. Peta kepemilikan yang baru ini terlihat seperti daftar “siapa-siapa” dari dunia korporasi.

Garda terdepan dalam akuisisi ini adalah Oracle, yang dipimpin oleh sang pendiri, Larry Ellison. Perusahaan raksasa teknologi ini tidak hanya sekadar menjadi investor, melainkan akan memainkan peran krusial sebagai “penjaga gerbang” keamanan data, memastikan informasi pengguna AS tetap aman dan terlindungi dari akses asing.

Selain Oracle, ada pemain-pemain besar lain yang ikut serta. Silver Lake, sebuah kelompok ekuitas swasta yang terkenal, juga mengambil bagian. Yang menarik, kesepakatan ini juga melibatkan dana investasi dari Abu Dhabi, MGX, yang dipimpin oleh Sheikh Tahnoon bin Zayed Al Nahyan, saudara dari Presiden UEA. Dengan kepemilikan saham sebesar 15% dan satu kursi di dewan direksi, MGX memberikan sentuhan global pada susunan kepemilikan. Secara kolektif, para investor ini akan mengendalikan sekitar 45% dari perusahaan.

Namun, daftar investor tidak berhenti di situ. Nama-nama tenar seperti Michael Dell dan taipan media Rupert Murdoch juga disebutkan akan memiliki saham. Dengan semua pihak yang terlibat, para investor Amerika secara total akan memiliki kendali mayoritas, yaitu lebih dari 65% saham TikTok.

“Ini adalah langkah yang sangat positif dan bermakna,” ujar sang pemimpin, menegaskan keyakinannya terhadap kesepakatan ini. “Sekarang kita memiliki investor-investor Amerika yang mengambil alih dan mengelola platform ini. Mereka adalah sosok-sosok yang sangat berpengalaman dan canggih, termasuk nama besar seperti Larry Ellison. Saya yakin, Oracle akan memainkan peran sentral dalam memastikan keamanan, keselamatan, dan semua aspek penting lainnya. Dengan begitu, kita bisa menjamin adanya kendali yang sangat baik.”

Lantas, bagaimana dengan sisa kepemilikan sahamnya? Meskipun detailnya masih belum sepenuhnya jelas, satu hal yang pasti: ByteDance, perusahaan induk dari Tiongkok, akan tetap memiliki saham minoritas, yaitu sebesar 19,9%. Ini berarti Tiongkok akan mempertahankan kendali atas sekitar 20% dari aplikasi yang telah menjadi fenomena global ini.

Kesepakatan ini jauh lebih dalam dari sekadar masalah logistik atau bisnis semata; ini adalah tentang kendali. Selama beberapa dekade terakhir, Amerika Serikat telah menjadi eksportir dominan dalam dunia media sosial, sama seperti mereka mengekspor Coca-Cola. Platform-platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, dan Snapchat semuanya lahir di California dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, membentuk lanskap digital global sesuai visi Amerika.

- Advertisement -

Gelombang dominasi media sosial Amerika tiba-tiba menghadapi tantangan tak terduga dengan kemunculan TikTok. Aplikasi yang diimpor dari Tiongkok ini dengan cepat menjadi fenomena, diunduh oleh jutaan orang Amerika. Hingga saat ini, TikTok telah menarik lebih dari 170 juta pengguna di AS, sebuah angka yang luar biasa, setara dengan hampir setengah populasi negara tersebut. Popularitasnya di kalangan generasi muda pun tak terbantahkan, dengan 63% remaja AS aktif menggunakan platform ini. Bagi Washington, fenomena ini dipandang sebagai sebuah pelanggaran serius—sebuah entitas asing kini memegang kendali atas perhatian dan interaksi digital warga negaranya.

Selain masalah pengaruh, kekhawatiran terbesar Washington terletak pada data pengguna. Seperti platform media sosial lainnya, TikTok mengumpulkan data dalam jumlah masif, termasuk lokasi, riwayat penelusuran, dan bahkan daftar kontak pengguna. Yang menjadi poin kritis adalah adanya undang-undang Tiongkok yang dapat memaksa ByteDance untuk menyerahkan data ini kepada pemerintah di Beijing. Ada kekhawatiran serius bahwa algoritma TikTok bisa dimanipulasi atau dijadikan senjata untuk tujuan politik. Meskipun TikTok berulang kali membantah tuduhan ini, pemerintah AS tetap tidak yakin. Maka, Washington mengambil sikap tegas: ByteDance diberi pilihan untuk menjual operasional TikTok di AS atau menghadapi larangan nasional sepenuhnya.

Meskipun Trump mengklaim telah mendapatkan restu dari Presiden Xi Jinping, reaksi resmi dari Beijing tidak terlalu banyak. Namun, jangan pernah salah mengartikan keheningan ini sebagai tanda menyerah. Tiongkok memiliki alasan yang kuat untuk merasa waspada dan berhati-hati. Kesepakatan ini pada dasarnya berarti sebuah raksasa teknologi dalam negeri mereka sedang “dicincang-cincang” di bawah tekanan Amerika.

Menerima kesepakatan ini sama dengan menelan pil pahit penghinaan. Di sisi lain, menolaknya akan berisiko besar, yaitu kehilangan pasar terbesar TikTok di luar Tiongkok. Untuk saat ini, Beijing tampaknya memilih untuk menahan diri, memprioritaskan kelangsungan hidup aplikasi daripada konfrontasi langsung. Namun, masalah yang lebih besar adalah preseden yang diciptakan oleh kesepakatan ini, yang bisa memiliki dampak jangka panjang pada perusahaan-perusahaan Tiongkok lainnya.

Selama puluhan tahun, ada pola yang tak terbantahkan di dunia digital: platform media sosial mana pun yang Anda gunakan, kemungkinan besar itu adalah produk Amerika. Dominasi Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube telah menjadi norma global. Namun, dominasi ini tiba-tiba terguncang oleh TikTok. Aplikasi Tiongkok ini mematahkan “mantra” tersebut, dan mendadak, aplikasi paling populer di AS bukanlah buatan Silicon Valley, melainkan berasal dari Tiongkok.

Hal ini secara fundamental mengguncang rasa kendali Washington atas ranah digital. Bagi mereka, ini bukan sekadar kompetisi bisnis, melainkan tantangan langsung terhadap hegemoni teknologi mereka. Kesepakatan ini, oleh karena itu, dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan status quo yang telah berlangsung lama. Dengan memaksa ByteDance menjual TikTok, AS mengirimkan pesan yang sangat jelas.

Namun, tindakan ini juga menimbulkan pertanyaan besar: Jika AS bisa menekan raksasa Tiongkok sebesar TikTok hingga harus menjual asetnya, apa yang akan menghentikan mereka melakukan hal yang sama terhadap penantang lain di masa depan? Pesan yang lebih luas dan penting untuk kita semua adalah: dunia mungkin bebas menggunakan aplikasi Amerika, tetapi Amerika Serikat telah menegaskan bahwa mereka tidak akan mentolerir kehadiran aplikasi asing yang berhasil mendominasi pasar mereka sendiri. Ini adalah babak baru dalam pertarungan kendali digital global.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.