Kamis, April 18, 2024

Tidak Usah Kaget dengan Polisi Virtual

Giri Lumakto
Giri Lumakto
Digital Ethicist, Educator | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital dan Teknologi | Alumni AAI STA Queensland Uni of Technology, 2019 | Awardee LPDP, 2016 | University of Wollongong, Australia | Mafindo Researcher | Kompasianer of The Year 2018 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | Email: lumakto.giri@gmail.com

Inisiatif polisi virtual oleh Kepolisian Republik Indonesia menuai kegaduhan. Publik merasa aktivitas mereka dibatasi. Lebih jauh, mereka merasa semakin takut untuk beropini. Walau pihak polisi menjelaskan tindakan polisi virtual ‘hanya’ akan menegur akun yang menyebar hoaks dan ujaran kebencian via DM (direct message). Kabarnya, sudah puluhan akun di-DM oleh pihak kepolisian. Selain menebar ketakutan (scare-mongering), aktivitas polisi virtual bisa jadi menjadi salah satu upaya menerapkan police state?

Menegur via DM sudah barang tentu didahului aktivitas surveillance atau pengawasan. Dan jelas dalam infrastruktur Web sendiri semua informasi keluar dan masuk diawasi. Namun tidak dengan membaca konten atau isi, seperti email. Namun platform open source seperti media sosial memungkinkan pengawasan konten. User generated content yang setiap mili-detik tercipta dibaca dengan berbagai mesin crawl. Sehingga tercipta proses agregasi dan identifikasi dari setiap konten, tweet semisal.

Mengawasi konten sudah barang tentu menjadi konsen kedua belah pihak, baik platform medsos dan users. Secara finansial konten users merepresentasi identitas, preferensi politik, agama, sampai posisi geografis untuk pengiklan. Mesin platform medsos sudah lama mengumpulkan, mengklasifikasi dan mentargetkan algoritma users dengan iklan yang sesuai. Personalisasi pengalaman istilahnya. Ada nuansa ‘mutualisme’ antara users medsos dengan platform. Namun tidak halnya dengan pihak lain, seperti kepolisian.

Sudah banyak negara menerapkan pengawasan terhadap warga negaranya. Amerika Serikat sebagai contohnya. Dan tak pelak asal-usul Web sendiri berasal dari ranah akademisi yang diadopsi ranah kemiliteran. Dimana tujuan dari pertukaran komunikasi militer bersifat rahasia untuk ranah internal. Dan bersifat intrusif bagi komunikasi mengancam keamanan negara. Pihak akademisi diwakili beberapa engineers memilih ‘jalan pedang’ dengan membuat Internet (Web) yang bersifat terbuka untuk akademisi dan publik. Walau dengan sokongan dana dari pihak swasta.

Web yang dikembangkan Tim-Berners Lee dicerabut dari model komunikasi militeristik tersebut. Walau sampai saat ini model komunikasi militeristik tetap rahasia dan intrusif. tetap ada. Web yang menjadi basis bagi platform media sosial lebih bersifat terbuka, altruistik, non-komersial, dan inovatif. Dengan kata lain, model intrusif dari pola pengawasan dari negara bisa dan tetap terjadi. Contoh nyata adalah kasus Snowden dimana pemerintah AS (dengan NSA) tetap menyangkal pengawasannya atas komunikasi publik, sampai saat ini.

Aktivitas surveillance pun berjalan pada ranah komersial (pengiklan) dan security (negara). Walau tidak banyak, dari pihak akademisi pun melakukan pengawasan untuk penelitian. Users yang merasa diuntungkan dengan akses bebas dan gratis berselancar di dunia maya dihadapkan pada ilusi belaka. Kebebasan mengakses berarti jejak digital yang akan dipintal dalam model algoritma penjualan. Vendor teknologi besar seperti Amazon, Google, dan Facebook akan terus mendulang uang. Pengiklan mendapat target konsumen yang spesifik. Negara mendapatkan data yang besar perihal tindak tanduk penduduknya di dunia maya.

Jadi polisi virtual yang digagas Kepolisian RI bukanlah hal baru. Aktivitas men-DM akun sekadar penegas bahwa negara hadir, sejak lama di dunia maya. Tindakan ‘membandel’ dari users akan mendapat teguran. Seolah mendapat surat tilang tanpa denda, DM dari kepolisian menyerukan users untuk berhati-hati. Kini, di tiap tikungan dunia maya ada mesin crawl polisi yang mendeteksi kata kunci, sentimen, dan jejaring pertemanan setiap akun. Walau pada realitasnya, ditegur satu tumbuh seribu akun baru.

Reduplikasi dan anonimitas akun menjadi fungsi Web bermata dua. Tawaran ribuan sampai jutaan followers, like, komentar, dan sundul tagar pun menjadi bisnis menggiurkan. Aktivitas positif dan negatif diterabas demi pundi rupiah. Di sisi lain, aktivisme digital menyongkong gerakan positifif sosial politik pun bisa dilakukan. Melambungkan isu perundungan, asusila, sampai tindak tirani dengan tagar dan kegaduhan menjadi jalan perjuangan perubahan sosial.

Sudah barang tentu, aktivitas di atas juga di bawah pengawasan kepolisian. Pengawasan yang rangkaian kontinuum aktivitasnya dibarengi teguran menjadi titik singgah sebelum tindak penangkapan dilakukan. Karena perihal dicokok polisi karena menyebar ujaran kebencian dan hoaks sudah banyak terjadi. Sehingga peneguran via DM menjadi parameter baru bagi kepolisian sebelum bertindak pada akhir kontinuum, penangkapan.

Giri Lumakto
Giri Lumakto
Digital Ethicist, Educator | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital dan Teknologi | Alumni AAI STA Queensland Uni of Technology, 2019 | Awardee LPDP, 2016 | University of Wollongong, Australia | Mafindo Researcher | Kompasianer of The Year 2018 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | Email: lumakto.giri@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.