Gerakan dengan tagar #2019GantiPresiden bukan hanya di media sosial seperti Twitter dan Facebook, bukan pula sebatas kaos, ia merangsek ke ruang publik Car Free Day (CFD), ruang publik yang seharusnya terbebas dari agitasi dan kampanye politik. Dan, pada 29 April 2018, gerakan tagar itu tidak hanya terjadi di CFD Jakarta, melainkan juga di beberapa kota besar seperti Bandung dan Medan.
Tentu saja, memanfaatkan ruang netral untuk pelbagai aktivitas publik ini bukanlah sebuah gerakan yang lepas dari campur tangan partai politik. Tidak ada makan siang yang gratis. Hal yang sama juga berlaku dengan gerakan tersebut yang secara serentak terjadi di beberapa kota di Indonesia.
Apakah gerakan #2019GantiPresiden salah? Tentu saja tidak. Ini karena, sejak rezim Orde Baru jatuh, kita memiliki kebebasan untuk berekspresi dan hal itu dibenarkan dan dilindungi oleh Undang-Undang. Apalagi, kita tahu, pada 2019 itu memang pemerintahan terpilih sebelumnya harus mengakhiri jabatannya. Presiden dan Wakil Presiden saat ini harus mengikuti pemilihan kembali terkait kelayakannya oleh suara masyarakat di bilik suara. Di titik ini, demokrasi, meskipun masih sebatas prosedural, terlaksana dengan baik.
Namun, yang menjadi masalah jika gerakan #2019gantiPresiden itu dilakukan melalui intimidasi dan teror di ruang publik atas pilihan masyarakat yang berbeda. Hal inilah yang terjadi dalam CFD Jakarta, dari video akun Jakartanicus di Youtube: dengan kaos bertulisankan #2019gantipresiden, segerombolan orang berkaos hitam dan putih tidak hanya menghardik, mengintimidasi, tapi juga melecehkan beberapa orang yang menggunakan kaos berbeda yang bertuliskan #DiaSibukBekerja dengan gambar seorang laki-laki yang menggulung lengan kanannya.
Sambil berteriak “Cebong!”, mereka dengan cara bergerombol juga mengeluarkan uang kertas seratus ribu rupiah sambil berusaha merayu dan mengejeknya sambil bertanya, “Dibayar berapa?”. Tidak berhenti di situ, dalam video berdurasi 2 menit 26 detik tersebut juga terlihat seorang ibu sedang berjalan dengan anaknya menggunakan kaos #DiaSibukBekerja, mereka kemudian diteriaki, “nasi bungkus, nasi bungkus!, “Cebong, cebong!”.
Kerumunan yang membentuk teror tersebut membuat sang anak menangis. Dengan suara lantang sang ibu berkata, “Kita enggak takut ya, Pi. Kita benar!” sambil menatap tajam wajah anaknya, mengusap air matanya. “Masya Allah … masya Allah, ada ibu-ibu kalian perlakukan seperti ini. Muslim apa kalian?”
Melihat video itu, saya tidak peduli kaos yang dikenakan oleh ibu tersebut, tapi saya hanya membayangkan ibu, isteri, dan anak saya. Ada amarah yang membuncah melihat seorang ibu diperlakukan semacam itu. Ada rasa jengkel dan tidak bisa terima: seorang anak harus menyaksikan intimidasi dan teror langsung orang dewasa yang harusnya menjadi contoh untuk pertumbuhannya kelak.
Sungguh, tidak hanya menyumpahi dengan kata-kata binatang, terbersit di pikiran saya untuk memberi pelajaran fisik kepada gerombolan semacam itu. Ironisnya, dari lini masa yang saya ikuti dan baca di media sosial (Facebook dan Twitter), tidak ada rasa bersalah dari mereka yang mendukung gerakan tagar tersebut, khususnya CFD di Jakarta.
Di sini, gerakan tersebut dianggap sebagai keberhasilan karena telah menjadi isu nasional. Sikap ini tidak hanya memalukan, tetapi juga mematikan urat syaraf terkait persoalan batas mana baik dan buruk. Atas nama ketidaksukaan sekaligus kebencian terhadap rezim pemerintahan sekarang, mereka melakukan tindakan brutal yang dianggap hal biasa di ruang publik, kemudian menjadikannya tontotan sambil berteriak menjelek-jelekkan dengan merekamnya melalui telepon genggam.
Tentu saja tindakan brutal di ruang publik semacam ini bukanlah yang pertama kali. Di sini, Pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan eksperimentasi berhasil dengan menggunakan ujaran kebencian, fitnah, sekaligus hasutan, tidak hanya di ranah online, melainkan juga offline. Tindakan brutalitas semacam ini, dengan kata lain, sekadar mengikuti pola Pilkada DKI 2017 yang dianggap berhasil, di mana cikal-bakalnya sudah muncul sebelumnya dalam Pilpres 2014.
Meski demikian, tidak ada satu pun yang mencoba memutus mata rantai ujaran kebencian semacam ini di ruang publik, bahkan oleh kelompok yang justru memenangkannya.
Sebenarnya, intimidasi dan teror semacam ini bisa saja dihindari kalau elite politik dari setiap partai melihat Pilkada dan Pilpres tidaklah semata-mata untuk meraih suara terbanyak dan kemudian mendapatkan kekuasaan untuk mengakumulasi ekonomi secara kemaruk. Sebaliknya, pemilihan tersebut merupakan bagian dari pesta rakyat untuk merayakan hak suaranya yang menentukan atas hak-hak selanjutnya saat memilih pemimpin yang dianggap tepat. Akibatnya, untuk memenangkan dan mendapatkan suara terbanyak, segala cara kemudian dilakukan asalkan jagoannya menang. Segala cara untuk memenangkan tersebut berakibat pada rusaknya solidaritas dan persaudaraan yang terjadi di masyarakat.
Ruang publik bukan menjadi arena segar untuk menarik napas, melainkan diisi oleh polusi kebencian, hasutan, dan hoax agar memilih calon yang diusung. Padahal, saat tali ikatan itu sudah terputus, tidak hanya merugikan orang-orang yang kalah, melainkan juga yang merasa jagoannya menang. Karena mereka hanya dijadikan jangkrik aduan di akar rumput.
Intimidasi dan teror di ruang publik karena berbeda pilihan dalam Pilpres 2019 ini harus dicegah sedini mungkin. Tidak hanya dari pemerintah Indonesia, institusi di bawahnya, elemen masyarakat sipil (LSM, Ormas, dan komunitas lainnya), semua partai politik harus memiliki sikap tegas yang sama terhadap hal tersebut. Apalagi, akumulasi kebencian Pilkada DKI Jakarta efek destruktifnya belum bisa dipulihkan hingga sekarang.
Jika ini dibiarkan, kita akan melihat kembali seorang ibu dan anak di tempat lain, hanya karena mengenakan kaos yang berbeda, dilecehkan dan dirundung di ruang publik. Padahal, dari seorang rahim ibulah kita semua dilahirkan, dididik, dan menemukan ruang kasih sayang tak terbilang. Dari seorang anak juga kita menatap masa depan, tidak hanya untuk keluarga, melainkan tunas bangsa yang akan membangun Indonesia ke depan.
Gerombolan dengan kaos bertuliskan #2019GantiPresiden2019 adalah salah satu contoh terbuka dari sekian kekerasan verbal kepada perempuan dan anak-anak yang bisa memunculkan trauma. Tindakan dan gerakan pengecut semacam ini akan terus bergulir hingga setahun ke depan, membangun teror di ruang publik, jika tidak ada satu pun dari kita memberikan efek jera.